JAKARTA, SULBAREXPRESS — Penolakan Ustad Abdul Somad (UAS) masuk wilayah Singapura belakangan ini tengah menjadi perbincangan hangat.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin meminta Singapura untuk bisa bersikap adil, dengan juga mengusir tersangka korupsi yang bersembunyi di Singapura.
Terlebih Indonesia dengan Singapura telah melakukan perjanjian ekstradisi. Perpanjian ini merupakan perjanjian bilateral antara Indonesia-Singapura terkait penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana oleh suatu negara, kepada negara yang meminta penyerahan.
“Kami ingin otoritas singapura bisa berlaku adil dan berkomitmen memenuhi perjanjian ekstradisi terhadap para pelaku korupsi dan asetnya yang disimpan di sana. Jangan menerapkan standar ganda dalam memperlakukan pengunjung WNI dengan penilaian yang tidak adil,” ucap Sultan kepada wartawan, Rabu 18 Mei 2022.
Bahkan, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron beberapa waktu lalu menyampaikan, Singapura menjadi negara terfavorit bagi pelaku korupsi untuk bersembunyi. Tidak hanya satu pelaku korupsi yang buron di Singapura, tapi ada beberapa orang yang hingga kini masih buron dan diduga bersembunyi di Singapura.
Berikut daftar buron koruptor yang diduga masih dan pernah bersembunyi di Singapura, dirangkum JawaPos.com (grup sulbarexpress.co.id).
- Harun Masiku
Harun Masiku adalah mantan calon legislatif PDI Perjuangan, dia merupakan tersangka kasus dugaan suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI periode 2019-2024.
Harun diduga menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar ditetapkan sebagai anggota DPR. Wahyu terbukti menerima suap Rp 600 juta dari Harun dan telah divonis 7 tahun penjara.
Informasi mengenai keberadaan Harun masih simpang siur hingga kini. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Harun pergi ke Singapura pada 6 Januari 2020.
- Paulus Tanos
Paulus Tanos merupakan tersangka kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dia merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, perusahaan yang tergabung dalam Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).
Dia diduga kabur dan tinggal di Singapura. KPK sudah beberapa kali memanggil untuk melakukan pemeriksaan namun hingga kini tak juga diindahkan.
- Bambang Sutrisno
Bambang Sutrisno adalah mantan Komisaris Bank Surya yang telah divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Desember 2003. Bambang terbukti bersalah dalam kasus penyelewengan dana BLBI yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,5 triliun.
Vonis tersebut dibacakan dengan in absentia alias tanpa kehadiran terdakwa, lantaran Bambang masih menjadi buronan sejak 2002. Hingga kini, Bambang masih menghirup udara bebas. Namun diduga Bambang berada di Singapura.
- Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim
Pasangan konglomerat tersebut merupakan tersangka korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Keduanya telah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh KPK sejak September 2019. Keduanya sempat dipanggil untuk diperiksa KPK, namun tak kunjung hadir.
Surat pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka kepada mereka telah dikirim KPK ke lima alamat berbeda di Indonesia dan Singapura. KPK juga sempat meminta bantuan CPIB Singapura dalam upaya pemanggilan terhadap mereka.
Namun pada akhirnya KPK era Firli Bahuri mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul dan Itjih. Penetapan SP3 ini dikeluarkan, karena adanya vonis lepas dari mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
- Muhammad Nazaruddin
Muhammad Nazaruddin merupakan mantan narapidana korupsi kasus pembangunan Wisma Atlet. Dia sempat menjadi tersangka KPK, yang ditetapkan pada Juni 2011.
Sebelum menyandang status sebagai tersangka, Nazaruddin sudah kabur ke Singapura. Mantan Bendahara Partai Demokrat itu kabur satu hari sebelum KPK melayangkan surat pencegahan ke luar negeri pada 23 Mei 2011.
Namun, Nazaruddin berhasil ditangkap di Cartagena de Indias, Kolombia pada 7 Agustus 2011. Nazaruddin diketahui menggunakan paspor sepupunya, Syarifuddin, untuk berpergian ke luar Indonesia setelah paspornya dicabut oleh pihak Imigrasi.
Nazaruddin dalam kasusnya divonis 7 tahun penjara oleh MA dalam perkara korupsi Wisma Atlet. Nazaruddin juga divonis 6 tahun penjara dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang.
- Djoko Soegiarto Tjandra
Djoko Tjandra merupakan buronan dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali yang kabur dan menetap di Singapura. Djoko Tjandra dijerat sebagai tersangka sejak 1999. Namun dalam beberapa kali persidangan perbuatan Djoko Tjandra dinyatakan bukan pidana, melainkan perdata.
Kemudian pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan peninjauan kembali (PK) atas pembebasan Djoko Tjandra. Sehari sebelum putusan, Djoko Tjandra terbang ke Papua Nugini pada 11 Juni 2009. Dalam PK, Djoko Tjandra divonis 2 tahun penjara oleh MA.
Setelah sekian lama kabur, akhirnya Djoko Tjandra kembali ke Indonesia untuk mengajukan PK atas vonis 2 tahunnya dan penghapusan red notice. Namun dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 Juli 2020, Djoko Tjandra tak muncul.
Pengacaranya, Anita Kolopaking menyebut Djoko Tjandra berada di Malaysia. Pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia dan kemudian diadili dalam kasus suap terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari, dan dua jenderal polisi. Dalam ruang sidang, Djoko mengungkap jika selama masa menjadi buronan, dirinya berada di Singapura, Tiongkok, Australia, dan Malaysia.
- Nunun Nurbaeti
Nunun adalah istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Dia menyandang status tersangka oleh KPK dalam kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Gultom pada 23 Mei 2011.
Selama proses persidangan dalam kasus ini, Nunun tak pernah hadir sebagai saksi. Nunun beralasan sakit, sampai akhirnya bertolak ke Singapura dengan dalih berobat.
Setelah menghilang dan menjadi buronan, Nunun akhirnya ditangkap Kepolisian Thailand di sebuah rumah di Bangkok pada Rabu, 7 Desember 2011. Penangkapan berlangsung usai otoritas keamanan negara melakukan pencarian berdasarkan foto-foto dan berkas dari KPK.
Kepolisian Thailand lantas meneruskan informasi penangkapan itu kepada Mabes Polri dan KPK. Tim dari KPK langsung berangkat ke Thailand pada Kamis, 8 Desember 2011. Dalam kasusnya. Nunun divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Mei 2012.
- Maria Pauline Lumowa
Maria Pauline Lumowa merupakan buronan kasus pembobolan kas BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari ‘orang dalam’ karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.
Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.
Selama buron, Maria sempat bolak balik Singapura-Belanda. Maria diketahui sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Pemerintah Indonesia juga sempat meminta Kerajaan Belanda untuk mengektradisi Maria namun ditolak.
Maria akhirnya ditangkap di Serbia oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla Serbia pada 16 Juli 2019. Penangkapan berdasarkan red notice yang diterbitkan Interpol pada 22 Desember 2003.
Dalam kasusnya, Maria Pauline divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Maria terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,2 triliun.
- Eddy Sindoro
Eddy Sindoro adalah tersangka kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Eddy ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Desember 2016. Eddy dijerat terkait penyuapan dalam pengurusan sejumlah perkara hukum beberapa perusahaan di bawah Lippo Group, yang ditangani di PN Jakarta Pusat.
Selama dua tahun menjadi tersangka, Eddy tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan. KPK sempat mengirimkan surat pencegahan ke luar negeri atas nama Eddy Sindoro kepada pihak Imigrasi pada 28 April 2016. Pihak Imigrasian menyatakan, Eddy memang sempat berada di Singapura.
Dalam mencari Eddy, KPK sempat meminta bantuan berbagai pihak, salah satunya Interpol. Eddy juga sempat dideportasi Malaysia ke Indonesia. Namun Eddy dibantu pengacara Lucas mampu kembali memberangkatkan Eddy ke luar negeri.
Lucas mencegah Eddy masuk kembali ke yurisdiksi Indonesia. Namun pada akhirnya Eddy menyerahkan diri pada Oktober 2018. Eddy sudah divonis 4 tahun penjara dalam perkara ini.
Gayus Tambuan merupakan tersangka kasus mafia pajak. Nama Gayus dikenal ketika Komjen (Pol) Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus menyimpan uang Rp 25 miliar di rekening banknya, dan juga uang asing senilai Rp 60 miliar serta perhiasan senilai Rp 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya.
Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Pada 19 Januari 2011 untuk pertama kalinya Gayus Tambunan menerima vonis. Hukuman pertamanya adalah vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta atau subsider 3 bulan kurungan.
Gayus juga divonis dalam beberapa kasus pajak lainnya hingga membuatnya harus menjalani hukuman selama 29 tahun di penjara. (jp)