Oleh: Muh. Arsyad Irawan
(Tinggal di Mamuju. Menjalani studi di Pascasarjana UGM)
KEBUTUHAN masyarakat selain pangan, sandang, dan papan juga perlu mendapat perhatian bersama. Termasuk hak dalam hukum, dan yang paling sederhana adalah perizinan.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sesuai Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diharapkan mempercepat pelayanan pada masyarakat sesuai tujuan dari peraturan presiden tersebut.
Tujuannya, memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat, memperpendek proses pelayanan, mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau. Selain itu, mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas, kepada masyarakat.
Namun, implementasinya ditemukan masih banyak yang jauh dari harapan. Mengurus izin tingkat daerah saja masih sangat sulit. Misalnya, pengurusan Izin Mndirikan Bangunan atau biasa kita kenal dengan sebutan IMB. Seyogyanya IMB ini menjadi faktor utama kepatuhan akan hukum masyarakat, sebelum membangun rumah atau tempat usaha. Ini berkaitan dengan lokasi lahan yang akan dibangun, apakah tidak melanggar RTRW Daerah yang sudah ada, termasuk Kawasan Pemukiman, Pendidikan atau hal- hal lain yang menjadi acuan IMB terbit, ternyata dari pengalaman di lapangan saat hendak mengurusnya di DPMPTSP bukanlah mempercepat izin malah harus mengurus di instansi lainnya.
Di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat misalnya, untuk mengurus IMB dan Perizinan lainnya memiliki persyaratan yang cukup banyak. Tentunya melibatkan juga banyak instansi terkait yang untuk mengurus sebuah perizinan yang dimohonkan oleh pemohon.
Sehingga sudah tidak ideal lagi dikatakan pelayanan satu pintu, sebab mayarakat masih perlu ke pintu yang lain yaitu instansi terkait yang manjadi persyaratan perizinan.
Dibandingkan dengan permohonan yang sama di kabupaten lain untuk skala Provinsi Sulawesi Barat saja sudah berbeda. Contoh IMB di Mamuju, yang membutuhkan 18 persyaratan sesuai formulir IMB yang keluarkan DPMPTSP berdasarkan Perbup Nomor 105 Tahun 2019 Persyaratan Perizinan dan Dinas PMPTSP Kabupaten Mamuju. Beda dengan untuk Perizinan IMB di Kabupaten Polewali Mandar hanya memiliki 10 syarat sesuai Perbup Polewali Mandar Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan pada DPMPTSP Kabupaten Polewali Mandar.
Artinya, di Kabupaten Mamuju ada beberapa persyaratan yang idealnya tidak perlu menjadi salah satu syarat untuk sebuah perizinan justru disyaratkan.
Salah satu syarat yang menurut penulis terkesan aneh jika memohon perizinan IMB di Kabupaten Mamuju adalah perlu mendapatkan rekomendasi dari BPJS Ketenagakerjaan, sesuai Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
BPJS sebagai lembaga penyelanggara Jaminan Sosial terdapat dua yaitu, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, secara fundamental kedua organisasi BPJS ini memiliki layanan yang berbeda, BPJS Kesehatan untuk layanan bukan penerima upah, sedangkan BPJS Ketengakerjaan adalah layanan untuk penerima upah seperti pekerja, karyarawan, dan buruh. Hanya saja, syarat ini menjadi salah satu syarat bagi perorangan bukan penerima upah dalam mengurusi perizinan.
Hal ini tampak tidak logis bagi masyarakat, apalagi bagi masyarakat miskin yang bukan pekerja yang hanya dibiayai jaminan sosial melalui BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuaran (PBI) untuk mengajukan juga Permohonan BPJS Ketenagakerjaan hanya karena harus mengurus IMB. Sehingga masyarakat wajib menjadi anggota BPJS Ketengakerjaan untuk memperoleh rekomendasi untuk perorangan.
Kebijakan tersebut mencerminkan buruknya implemantasi Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dimana semangatnya adalah memperpendek proses pelayanan, mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau. Implementasinya tidak berjalan secara optimal sesuai harapan.
Bukan hanya itu, masih banyak persyaratan lain yang perlu menjadi pertimbangkan kita semua dalam untuk mencoba mencermati segala model perizinan yang ada di daerah ini.
Pemerintah sepertinya harus duduk bersama dengan stakeholder terkait dan tetap melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola negara ataupun daerah khususnya yang berkontribusi terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sebuah produk pemerintah bisa diterima secara gamblang dan terbuka untuk masyarakat.
Terkait segala persyaratan perizinan juga mesti dilakukan evalusi dan rencana tindak lanjut sehingga dapat memberikan layanan optimal. Hal ini tentunya bersinergi dengan peraturan perundang-undangan, sehingga wujud dari peraturan tersebut sesuai jati diri produk undang-undang yang telah disepakati bersama.
Muara dari pelayanan publik kepada masyarakat smestinya tidak berorintensi terhadap hal-hal yang menciderai kepentingan masyarakat. Bukan untuk memakmurkan kelompok tertentu sehingga tercipta keadilan sosial yang hakiki. (*)