SEORANG pria paruh baya berselempang sarung memunggung tas ransel. Tangan kanannya menenteng gulungan tikar dan kresek putih. Tangan kirinya menjinjing air mineral dalam sambil mengepit bantal. Kelihatan terburu-buru.
Catatan:
M. Danial
(jurnalis)
“Assalamu alaikum. Bagaimana kabarnya, pak ?” saya menyapanya seolah sudah kenal. “Waalaikum salam, baik,” jawabnya singkat.
Ia menghentikan langkahnya. Pria berambut tipis itu meletakan tentengannya. Mengeluarkan HP dari saku celananya, menerima telepon dari seseorang.
Sejurus kemudian, ia mengemasi bawaannya untuk beranjak meninggalkan lokasi pengungsian di kawasan Stadion Manakarra, Kamis pagi, 9 Juni 2022.
“Sudah mau pulang, pak ?” Ia mengangguk, sambil tersenyum tipis. “Saya pikir tidak perlu kita lama-lama di sini. Mudah-mudahan sudah aman,” kata pria yang menyebut namanya Arifin, seolah mengetahui saya akan bertanya situasi di tempat tinggalnya pascaempa magnitudo 5,8, Rabu siang 8 Juni 2022.
Katanya, pengalaman yang dilalui sebagai korban gempa magnitudo 6,2 (15 Januari 2001), banyak pelajaran yang diperoleh untuk menjaga diri bersama keluarga. Agar tidak panik berlebihan saat terjadi gempa.
“Kami alumni 6,2 (korban gempa 6,2 magnitudo), sudah ada pengalaman merasakan guncangan. Merasakan juga berhari-hari di pengungsian,” tutur pria yang mengaku bertempat tinggal di daerah Pasar Lama, Mamuju.
Istilah alumni 6,2 yang ia sebutkan, seketika mengingatkan dua kali guncangan gempa bumi dalam rentang waktu tidak lebih 12 jam pada pertengahan Januari 2021. Seketika juga saya membatin sebagai alumni 6,2, karena termasuk salah satu yang telah merasakan pengalaman bertenda sebagai pengungsi.
Pasca gempa magnitudo 5,9 dan 6,2 yang mengguncang Majene dan Mamuju pada Kamis 14 Januari siang, dan jumat 15 Januari 2021. “Kita sebagai alumni 6,2, menghadapi gempa seperti kemarin tidak perlu panik. Yang penting selalu waspada, karena (gempa) tidak ada yang bisa memprediksi,” tuturnya, lalu beranjak pergi. (*)