JAKARTA, SULBAREXPRESS – Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengkritisi pencalonan Pilpres 2024 berpatokan dari hasil Pileg 2019. Oleh karena itu, dia tak sepakat jika Pileg dan Pilpres 2024 digelar bersamaan.
“Adalah hal yang tak masuk akal ketika hasil proses demokrasi dalam Pileg 2024, justru tidak bisa mencalonkan Presiden dalam Pilpres 2024. Yang mencerminkan demokrasi sejati, adalah ketika Presiden periode 2024-2029 mendapatkan dukungan suara faktual dari hasil Pileg 2024,” kata Fahri kepada wartawan, Sabtu 25 Juni 2022.
Fahri mengungkapkan, jeda waktu 8 bulan dari pengumuman hasil Pilpres hingga pelantikan Presiden pada Oktober 2024 akan membuyarkan konsentrasi pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya hal itu akan membuat dualisme kepemimpinan nasional
“Presiden terpilih dari Pilpres 2024, akan menjadi magnet bagi semua kekuatan politik. Sedangkan Presiden petahana akan makan hati selama 8 bulan. Sebaiknya, kita berikan kesempatan yang baik dan penuh bagi Presiden Jokowi untuk bekerja sampai masa jabatannya berakhir secara berwibawa,” ujar Fahri.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas menilai adanya jeda waktu yang panjang antara munculnya hasil Pilpres dengan pelantikan Presiden terpilih, memiliki dampak negatif. Presiden petahana, cenderung tidak bisa bekerja sama dengan Presiden terpilih. Salah satu contohnya adalah periode transisi presidensial pada akhir masa kepresidenan Herbert Hoover di Amerika Serikat, sebelum dimulainya pemerintahan Franklin D. Roosevelt.
“Setelah pemilihan, Roosevelt menolak permintaan Hoover untuk pertemuan demi menghasilkan program bersama untuk menghentikan krisis ekonomi. Hal itu membuat krisis ekonomi makin parah,” kata Sirojudin. (jpc)