MAMUJU, SULBAR EXPRESS – Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Keadilan melakukan aksi di kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulbar.
Massa mendatangi Kejati Sulbar dengan sejumlah tuntutan, salah satunya mempertanyakan terkait penetapan tersangka kasus pengalihan hak hutan lindung yang menyeret Wakil Ketua DPRD Mamuju Andi Dodi Hermawan.
Salah satu perwakilan aksi, Sopliadi mengaku, bahwa penetapan tersangka Andi Dodi Hermawan dalam kasus alih fungsi lahan hutan lindung menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Desa Tadui, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, terkesan tebang pilih.
Selain itu dirinya juga mempertanyakan terkait perhitungan kerugian negara senilai Rp 2,8 miliar. Menurutnya itu tidak berdasar.
Hal senada juga disampaikan Andi Zulfahmi, putra dari Andi Dodi Hermawan. Ia menegaskan, seluruh proses hukum terkait penerbitan sertifikat atas lahan tersebut telah dilalui sesuai prosedur hukum.
Ia juga mempertanyakan soal perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh pihak kejaksaan, sebab menurutnya berbeda kerugian negara dan kerugian uang negara.
“Kalau bapak saya (Andi Dodi Hermawan, red) melakukan kerugian negara, kenapa negara mengeluarkan sertifikat, ini negara yang mengeluarkan,” ujarnya, saat melakukan pertemuan bersama pihak Kejati Sulbar.
Sementara Kasi Penkum Kejati Sulbar Amiruddin menjelaskan, proses hukum saat ini telah berjalan. Itu juga berdasarkan penyelidikan yang telah dilakukan.
“Ini sudah bergulir. Penyidik berangkat dari alat bukti yang ada, penyidik telah memeriksa beberapa saksi dan beberapa ahli, itu sesuai prosedur yang ada di kejaksaan,” ucap Amiruddin.
Sementara, Aspidsus Kejati Sulbar Fery Mupahir mengatakan, kasus tersebut telah diselidiki sekira hampir satu tahun sebelum menetapkan tersangka kasus alih fungsi lahan hutan lindung tersebut.
“Hampir 60 orang saksi yang sudah diperiksa, baik saksi ahli dan alat bukti yang kami miliki cukup bahwa ada dugaan tindak pidana pada penerbitan sertifikat terhadap SPBU Desa Tadui, Kecamatan Mamuju,” jelasnya.
Menurutnya, penghitungan kerugian negara Rp 2,8 miliar itu adalah perhitungan dari BPKP sebagai ahli dalam perkara tersebut.
“Bahkan Kepala BPN yang menjabat saat itu Hasanuddin sudah kita tahan. Tidak menutup kemungkinan akan ada penambahan tersangka baru,” terangnya.
Dalam perkara tersebut ia mengatakan, prosesnya Kepala BPN dan tim tidak melakukan peninjauan persertifikatan tanah, termasuk tidak melakukan koordinasi bersama pihak lingkungan hidup bahwa kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung.
“Tata cara penerbitan sertifikat sudah tidak benar, karena tidak melakukan kroscek ke lapangan. Dan sampai hari ini belum ada pencabutan, statusnya masih dalam kewasan hutan lindung,” jelasnya.
“Tersangka lain tidak menutup kemungkinan masih ada sesuai hasil penyelidikan kami,” tandasnya.
Massa pun diminta mengajukan praperadilan untuk melihat apakah yang dilakukan pihak kejaksaan salah atau tidak.
“Praperadilan menjadi langkah yang pas harus ditempuh sebagai bagian proses hukum, karena kita juga tidak yakin setiap yang diajukan oleh kejaksaan itu sesuai dengan proses yang ada,” tandansya. (idr/ham)