Tarian Morego Suku Inde, Kekayaan Budaya Bumi Vovasanggayu

  • Bagikan
Puluhan warga Suku Inde tengah melakoni Tarian Morego. -- foto: andi safrin mahyuddin --

KEKAYAAN Budaya yang dimiliki Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulbar, tidak kalah dengan daerah lainnya di Indonesia. Suku asli daerah ini berusaha mempertahankan orisinalitas budayanya, meski terus digempur gelombang modernisasi.

Laporan:
Andi Safrin Mahyuddin

Selain potensi pariwisata dengan keindahan alamnya, budaya suku asli daerah ini juga amat patut dilestarikan. Apalagi Kabupaten Pasangkayu saat ini didiami beberapa etnis, seperti Mandar, Bugis, Jawa, Bali, NTT, hingga Toraja.

Di Pasangkayu atau kita kenal dengan sebutan Bumi Vovasanggayu, ada Suku Inde yang masih bertahan dengan adat istiadat dan budayanya. Suku Inde yang mendiami wilayah pegunungan dikenal dengan sebutan Bunggu. Sedang yang lebih dekat ke pesisir, dikenal dengan sebutan Binggi.

Dulu Suku Inde bertahan hidup dengan pola bercocok tanam. Yang mereka konsumsi selama ini adalah singkong, jagung dan sagu. Kehidupan mereka juga nomaden. Setelah panen di satu kawasan, mereka biasa berpindah tempat. Mereka juga dikenal dengan pakaian khasnya yang berasal dari kulit kayu.

Bagi warga Pasangkayu sendiri, orang Suku Inde dikenal pandai menyelinap dan bersembunyi ke balik rimbunya pemphonan. Bahkan gara-gara itu mereka dikenal punya kemampuan gaib. Apalagi mereka jarang bersentuhan dengan orang luar.

Seiring dengan kian terkikisnya hutan mereka akibat penebangan, mereka pun turun turun gunung, mulai mendirikan rumah panggung dan membuka lahan pertanian.

Mereka tinggal menetap di sejumlah wilayah, seperti Pakava, Bambaira, Sarjo, Polewali, Martasari, Tasonde, dan mulai bersosialisasi dengan masyarakat yang lain.

Bukan hanya saya saja penasaran dengan kearifan Suku Inde. Tapi banyak orang di luar sana masih penasaran dengan suku yang satu ini. Apalagi selama ini Suku Inde atau Bunggu dan Binggi hanya sering didengar orang lewat cerita atau dengan membaca tulisan di media massa.

Sore itu, Senin 25 Juli 2022, saya mendengar informasi bahwa sementara digelarnya pesta dan tarian adat Suku Inde di wilayah Tasonde. Saya bersama kawan, Bang Enis, pun menuju tempat digelarnya acara adat itu.

Tidak pikir panjang, jarum menunjukkan pukul 20.15 Wita, mengendarai mobil Suzuki Ertiga plat DD 1373 VJ, kami berangkat dengan harapan bisa melihat langsung salah satu tarian khas Suku Inde.

Menempuh jarak 25 Km dari pusat Kota Pasangkayu menuju arah Kecamatan Bambalamotu. Sebelum sampai di Bambalamot, kami ambil arah kanan ke arah gunung.

Perjalanan sudah memakan waktu 45 menit. Mobil kami pun sudah memasuki wilayah pemukiman Suku Inde yang saat ini sudah berbaur dengan suku lainnya.

Beberapa meter sebelum tempat parkiran mobil, kedua sisi jalan dipadati puluhan lapak jualan musiman, yang ternyata setelah kami tanyakan, mereka berjualan khususnya pada momen acara adat ini.

Meskipun kami terbilang terlambat, karena rangkaian awal pesta adat yakni, makan bersama di Bantaya (tempat pertemuan adat), kami tetap berinisiatif menemui salah tokoh masyarakat dan tokoh pemuda untuk bisa berbincang di sela acara.

“Waduh, kenapa terlambat pak datangnya,” kata bapak Yahya (70), salah satu warga Suku Inde, saat ditemui di kediamannya yang tidak jauh dari Bantaya di lingkungan pemukiman Suku Inde, di Dusun Tasonde, Desa Kalola, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Pasangkayu, Senin malam, 25 Juli 2022.

Ia bercerita tentang tarian tradisional. Bahwa Suku Inde mempunyai tiga jenis tarian. Yang pertama, Tarian Motaro. Tarian ini, biasanya dimainkan pada acara-acara yang sangat sakral, seperti proses penyembuhan orang sakit yang tak kunjung sembuh, proses pengobatan anak kecil.

Tarian ini, dimainkan dua sampai empat orang, dengan menggunakan parang dan tombak. Sekilas mereka seperti orang dirasuki kekuatan supranatural, mereka mengiris-iris dan menusuk badan sendiri dengan benda tajam. Tapi tak ada luka.

Yang kedua, ada tarian Morano. Tarian ini dimainkan ketika mendapat rezki yang lumayan. Seperti usai panen atau turunnya hujan disaat kemarau panjang. Kira-kira semacam bentuk rasa syukur. Tarian ini dimainkan lima hingga puluhan orang yang saling bergandengan tangan tidak ada yang putus berbentuk lingkaran mengikuti irama nyanyian adat.

Yang ketiga, ada tarian Morego. Tarian Morego ini, hampir seperti dengan Tarian Morano, hanya saja, tarian Morego ini bisa dimanfaatkan hampir semua acara.

“Hanya Tarian Morego ini di khususkan untuk anak muda, orang yang tidak berstatus menikah atau punya istri atau suami. Ada orang tua yang ikut, tetapi status sudah tidak ada ikatan perkawinan lagi. Mereka yang sudah berstatus duda atau janda,” jelas Yahya.

Menurutnya, Morego ini sudah dijadikan momen mencarian jodoh bagi anggota suku sejak dahulu hingga kini. Khususnya bagi anak muda.

Nanti bapak-bapak bisa lihat langsung, saat masih persiapan. “Kalau perlu bapak juga bisa ikut,” canda Yahya kepada kami.

Hanya saja, tarian ini sudah mulai berubah, sedikit berbeda dari zaman ke zaman, apalagi di saat ini sudah moderen. Kalau dulu tidak memakai musik, tapi langsung salah satu warga yang ikut dalam tarian itu bernyanyi dengan irama seperti rege saat ini, goyangan pun berubah-rubah mengikuti irama nyanyian.
Sekarang ini, karena sudah moderen, lagunya pakai lagu sekarang, asalkan iramanya sedikit cepat dan bikin bergoyang. Mirip-mirip rege.

“Pokoknya bapak tidak usah pulang dulu. Tunggu tarian akan segera digelar. Itu sudah banyak kaum muda mudi yang menunggu siap-siap ikut Morego,” sambung Yahya yang juga merupakan salah satu ipar dari tetuah Suku Inde, Panggo.

Makin lama perbincangan makin serius. Pertanyaan pun mulai kami lontarkan secara bergantian. Khususnya mengenai sejarah Tarian Morego. Bapak Yahya pun menjelaskan lagi.

Kata dia, adapun para sepasang anak muda yang telah mengikuti tarian Morego, jika sudah merasa cocok satu sama lain, besok pagi lansung diambil alih salah satu pemangku adat untuk segera diurus dan memanggil kedua orangtuanya dan semuanya setuju hari itu juga akan ditentukan hari perkawinan.

“Dan kalau sudah begitu, sudah diumumkan. Semua warga Suku Inde sudah mulai sibuk lagi. Mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk ritual-ritual hingga perwakilan yang sakral untuk dilakukan,” sambungnya.

Tak terasa berbincang, lagu dengan musik rege mulai terdengar dari Bantaya, itu pertanda Tarian Morego segera akan dimulai. Kami pun ijin untuk keluar dari rumah Bapak Yahya untuk mendekati lokasi tarian.

Bapak Yahya pun menemani kami hingga sama-sama menyaksikan dari dekat.

Mengawali melihat tarian tersebut, hanya ada beberapa orang saja yang ikut memainkan tarian. Mungkin tujuh sampai sepuluh orang, saling bergandengan tangan membentuk lingkaran mengikuti irama musik.

Tidak lama kemudian, satu persatu anak muda sekitaran, yang sudah lama menunggu dimulainya Morego itu. Tak masalah dari arah mana dia masuk, asalkan sudah masuk bergabung harus bisa lansung membuat sebuah lingkaran.

Malam itu, saya dan Ban Enis, serius memperhatikan teknik dan goyangan tarian mereka. Hingga tanpa sadar lokasi yang kira-kira berukuran seluas lapangan volly lingkaran tarian tersebut menjadi semakin besar. Kalau 60 hingga 80 orang ada yang sedang mengikuti tarian tersebut.

“Kalau lingkaran tarian sudah sebesar itu, beberapa penari harus bisa masuk kedalam untuk segera membuat lingkaran kecil lagi, siap tau masih ada yang mau bergabung. Bisa masuk di lingkungan dalam yang kecil, tarian pada lingkaran pun perlahan -lahah juga semakin besar. Begitu seterusnya, hingga orang yang capek bisa keluar dan kembali masuk lagi,” jelas Bapak Yahya lagi.

Sangat asik melihat, sambil menyempatkan diri mengambil gambar dari beberapa arah. Hampir tak ada rasa bosan dari lagu ke lagu, bergoyang sesuai irama. Semakin keras iramanya semakin kencang pula goyangannya.

Lagi-lagi waktu yang tak terasa, merasa sudah menikmati tarian lebih dari satu jam. Tarianya pun belum selesai. Tapi ini sudah larut malam, kami pun pamit pulang.

Tidak lupa kami mengucap terimakasih banyak atas waktu dan kesempatan Bapak Yahya dan beberapa tokoh pemuda yang terus mendampingi dan mau bercerita banyak kepada kami.

Bapak Yahya menyampaikan, tarian yang dimiliki Suku Inde ini
merupakan kekayaan daerah bahkan bangsa. Tarian ini punya makna yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Kekhasan Suku Inde

Kami masih penasan. Keesokan harinya, Selasa 26 Juli 2022, kami kembali menemui Suku Inde. Kali ini, kami menggali banyak hal. Pertama-tama soal pakaiannya.

Pakaian tarian tradisional adat Suku Inde terbuat dari kulit kayu dengan menggunakan Batu Ike mengolahnya. Dimlai mengelupas kulit kayu, lalu ditumbuk-tumbuk. Batu Ike ini juga digunakan menumbuk jagung atau padi.

Jenis kayu digunakan kulitnya adalah Kayu Malo atau Tea untuk membuat pakaian seperti baju, pengikat kepala bagi wanita atau topi buat laki-laki yang disebut Siga. Kemudian selempang disebut Sinde, sarung disebut Buya. Pakaian dalam disebut Pevo dan celana disebut Foruka.

“Proses pembuatannya, kayu dikuliti, lalu direndam tiga malam, lalu dipukul-pukul atau ditumbuk-tumbuk atau Mantutu hingga halus, kemudian dijemur sejam. Setelah itu dijahit menggunakan tali dari kayu jenis suka. Namun kini sudah menggunakan benang,” kata Jaya, salah satu tokoh adat Inde yang ditemui, di kediaman Selasa siang 26 Juli 2022.

Dijelaskan lebih detail, Batu Ike ini, gesturnya tidak keras untuk diolah kerajinan tangan, sehingga bisa digunakan membuat pernak pernik seperti gelang atau patung, tergantung dari inovasi kita membuatnya.

“Nanti Batu Ike ini mengeras dan tidak mudah pecah seperti batu pada umumnya setelah dimasak. Jadi setelah batu ike ini dibuat gelang, barulah dimasak, agar mengeras untuk dipakai,” jelasnya.

Saya pun bertanya, apakah Inde Bunggu ini adalah Suku Da’a? Jaya mengatakan, mereka bukan Suku Da’a. “Kami ini adalah Suku Inde Bunggu atau Suku Inde etnis Bunggu, sebab kami hidupnya di pegunungan, dan bukan Binggi. Sebab Binggi itu hidupnya di pesisir,” ucapnya menjelaskan.

Saat dirinya masih kepala desa, Jaya menggelar pertemuan di Kantor Desa Pakawa pada Oktober 2021 lalu. Itu dihadiri tokoh-tokoh adat Bunggu seperti Panggo dan Kepala Dusun Lala, Kristia dan lainnya.

Dalam pertemuan itu, Jaya menyampaikan, kalau orang tuanya bercerita bahwa Suku Inde Bunggu, namun di sanggah oleh Kristia mengatakan, dirinya juga diceritakan orangtuanya kalau dia adalah Suku Da’a Bunggu.

“Namun Pak Panggo membantah pernyataan Kristia dan mengatakan kalau kami ini Suku Inde Bunggu. Dan semua yang hadir menyepakatinya,” kata Jaya.

Bermitra dengan Grup PT Astra

Kemudian saya menanyakan aktivitasnya saat ini setelah dirinya tak lagi menjabat kepala desa. Jaya menyampaikan kalau saat ini ia berkebun sawit dan anggota kelompok tani Bamba Apu yang merupakan mitra program IGA PT Mamuang anak usaha PT Astra Agro Lestari.

“Banyak masyarakat Bunggu di Desa Pakawa maupun tempat lainnya mendapat bantuan program IGA dari PT Astra. Seperti Kelompok Harapan Bersama di Bamba Apu, merupakan mitra program IGA PT Pasangkayu,” papar Jaya.

Kata Jaya, saat ini mayoritas masyarakat Bunggu bertani sawit, dan kehidupannya sudah moderen dengan memiliki kendaraan.

“Jadi kami masyarakat Bunggu pada umumnya bertani sawit, dan kami jual hasilnya di pabrik PT Pasangkayu. Selain itu, di Bamba Apu ini terdapat kelompok budidaya jamur dari tangkos binaan PT Pasangkayum dan pengelolahnya dala ibu-ibu,” katanya. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version