KONDISI fisiknya tidak seperti orang kebanyakan. Bertubuh mungil lantaran difabel sejak lahir. Namun, melakoni peran yang tidak semua orang belum tentu siap dan sanggup lakukan. Berdiri di tengah jalan, di tengah hilir-mudik aneka jenis kendaraan.
Catatan:
M. Danial
Aktifitas itu dilakukan Asri, warga Kasambang, Kecamatan Tapalang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Menjadi relawan pengatur lalu lintas setiap hari pasar tiga kali seminggu di tiga lokasi. Pemuda 18 tahun itu sejak lahir tidak memiliki kedua pergelangan tangan. Tubuhnya ditopang paha dan lutut kanan dan tungkai tungkai kaki kiri sebatas pergelangan kaki.
Untuk bergeser dari satu tempat ke tempat lain, ia melipat lutut kirinya guna menjaga keseimbangan tubunya.
Meski mengalami keterbatasan fisik, Asri mengatakan selalu berusaha berbuat sesuai kemampuan untuk manfaat bagi orang lain. Pemikiran itu pula yang dijadikan sebagai penyemangat menjalani hidup dengan segala keterbatasan.
Salah satunya, menjadi relawan pengatur lalu lintas setiap hari pasar pada tiga lokasi di pelintasan jalan Trans Sulawesi di Kabupaten Majene dan Mamuju. Yaitu, Pasar Tapalang, Kabupaten Mamuju setiap hari Ahad, dan pasar tumpah di dua lokasi di Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. Pasar Maliaya setiap Jumat, dan pasar Deking setiap Sabtu.
Seolah tak peduli bertubuh mungil, Asri berada di antara lalu-lalang kendaraan yang melintas di depan pasar. Lengan kanan dan kirinya bergantian dikibaskan memberi isyarat kepada pengendara dari kedua arah.
Asri seolah pula tidak merasakan panas terik matahari atau polusi kendaraan yang lalu-lalang. Katanya, kerap ada pengemudi yang memaksakan kehendak menerobos kemacetan, sehingga cukup berisiko bagi orang lain. Termasuk menyerempet Asri yang berada di tengah jalan karena tidak mudah untuk segera menghindar.
“Memang cukup berisiko. Apalagi sering ada sopir yang memaksakan menerobos kemacetan. Jadinya tambah macet, padahal kita sudah berusaha mengatur supaya tidak macet,” ungkap Asri, kepada penulis di sela istirahat tugasnya di Pasar Deking, Sabtu akhir pekan lalu.
Apa yang diperoleh dari kegiatan tersebut? Asri hanya tertawa. “Yang penting kita selalu sehat,” ujarnya.
Bungsu dari dua bersaudara itu mengakui, menjadi relawan pengatur kelancaran lalu lintas bukan pekerjaan mudah. Apalagi berpanas-panas-panas di bawah terik matahari. Mungkin banyak orang yang mau melakukan, tapi belum tentu sanggup. Selain oleh aparat yang memang ditugaskan dan mendapat gaji dari karena tugasnya.
Asri yang tercatat sebagai siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Quridho Ilmi, Tapalang, mengatakan menjadi relawan adalah inisiatif sendiri.
Ia bersyukur dan bangga bisa berbuat sebatas kemampuannya sebagai difabel. Keterbatasan fisiknya, dijadikan penyemangat untuk berbuat.
Semangat pulalah yang menjadi modalnya untuk selalu percaya diri. Modal lain yang dimiliki Asri adalah seragam pramuka dengan beberapa atribut keterampilan Pramuka pada seragam kebanggaannya.
“Ini tanda-tanda saya pernah mengikuti latihan keterampilan (Pramuka) difabel,” ujarnya, mengenai atribut yang dimiliki.
“Sangat sering ada yang melecehkan saya pakai tanda-tanda seperti ini. Tapi biarlah,” cetusnya, bernada sedih.
Ia menyebut kerap mengisi waktu dengan bermain bulu tangkis. Menggunakan raket dengan kedua pergelangan tangannya.
Asri menyadari dirinya sebagai difabel, namun punya cita-cita tinggi dan mulia. Ia ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi setelah kelak tamat di SLB. Harapannya, bisa menjadikan kondisi hidup bersama orang tuanya lebih baik pula, dan selalu berbuat yang manfaat bagi orang lain.
“Saya sangat mau bisa lanjut bersekolah, kak,” ujarnya, penuh harap. Semoga ada yang peduli. (*)