Pertalite dan Solar Terancam Habis pada Oktober

  • Bagikan

JAKARTA, SULBAR EXPRESS – Penetapan harga baru BBM bersubsidi belum mencapai kata final. Tarik-ulur terjadi terkait dengan bansos yang akan diberikan sebagai dampak kenaikan harga BBM.

“Kita tunggu saja. Bansosnya diminta untuk diperdalam. Anggarannya dari mana, programnya seperti apa. Ini sedang diperdalam,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Negara, Jakarta, kemarin.

Terkait dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menuturkan, berbagai indikator pembentuk subsidi terus melonjak. Indikator itu meliputi volume konsumsi BBM yang melonjak, harga minyak mentah dunia yang melambung, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus melemah.

Suharso mengingatkan, volume konsumsi BBM terus melonjak sejalan dengan tingginya aktivitas masyarakat dan konsumsi yang meningkat seiring dengan membaiknya ekonomi nasional. Puncak kenaikan konsumsi itu pun belum bisa diperkirakan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa volume konsumsi BBM memang terus meningkat. Pemerintah dan DPR sebelumnya sepakat menganggarkan subsidi untuk energi, termasuk untuk pertalite, solar, LPG, dan listrik, mencapai Rp 502 triliun. Jumlah itu didapat setelah disepakati tambahan anggaran subsidi Rp 349,9 triliun.

Namun, subsidi Rp 502 triliun tersebut berdasar perhitungan untuk perkiraan volume konsumsi pertalite mencapai 23 juta kiloliter (kl) sepanjang tahun ini. Kenyataan di lapangan, konsumsi masyarakat yang melonjak terhadap BBM bersubsidi, baik pertalite maupun solar, membuat kuota itu terancam habis pada Oktober 2022.

Merujuk data konsumsi BBM bersubsidi per Juli 2022, kuota pertalite sebesar 23 juta kl sudah dikonsumsi 16,8 juta kl. Artinya, konsumsi setiap bulan sekitar 2,4 juta kl.

“Kalau diikuti, ini akhir September subsidinya habis untuk pertalite,” jelas Sri Mulyani pada rapat kerja dengan Komite IV DPD kemarin.

Demikian pula solar subsidi. Dari kuota 14,91 juta kl sudah dikonsumsi 9,9 juta kl. Dengan begitu, sisa kuota hanya 5,01 juta kl. ”Lha kalau ngikuti tren (konsumsi BBM) ini, Oktober habis kuotanya itu. Jadi, subsidinya bukan dicabut, tetapi subsidi yang Rp 502 triliun itu habis,” paparnya.

Dengan kondisi itu, dia menegaskan bahwa pemerintah tidak mencabut subsidi. Justru anggaran subsidi itu terancam habis dalam waktu dekat jika konsumsi BBM bersubsidi tidak mampu dikendalikan.

Ani, sapaan karib Sri Mulyani, juga menyinggung aspek keadilan sosial dalam pemberian subsidi. Ironisnya, BBM bersubsidi yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat miskin justru dikonsumsi mayoritas golongan orang kaya.

Dia memerinci, dari subsidi Rp 502 triliun, yang menikmati solar paling banyak adalah empat rumah tangga tertinggi. ”Jadi, nomor satu terkaya, nomor dua terkaya, nomor tiga terkaya, nomor empat terkaya juga. Jadi, 40 persen top tertinggi,” tegasnya.

Sama halnya dengan pertalite. Sebanyak 86 persen dari total pertalite subsidi juga dikonsumsi 30 persen golongan terkaya.

Kondisi itulah yang menurut Ani perlu dipikirkan dengan baik. Pemberian subsidi dengan mekanisme terbuka seperti itu memang akan terus mengalami persoalan. ”Nambah ratusan triliun berarti nambah lebih banyak untuk yang (golongan) mampu,” ujar dia. (jpc)

  • Bagikan

Exit mobile version