STUDIO Radio Sawerigading di Jalan Brawijaya Wonomulyo, tidak terlalu luas. Tetapi dari bilik sekitar tiga kali empat meter itu gema perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) amat nyaring. Komite Aksi Perjuangan Pembentukan (KAPP) Sulbar sesungguhnya memiliki alat propaganda yang juga efektif: Tabloid Mandar Pos, namun frekuensi udara yang menembus huma-huma hingga pedalaman itu memiliki daya jangkau berbeda.
Oleh:
Adi Arwan Alimin
Sawerigading bukanlah radio biasa-biasa saja. Penulis sering menukilnya sebagai sentrum amat memukau di masa 1999 hingga 2004, radio ini menjadi alat bantu yang memungkinkan sejumlah perdebatan yang biasanya berupa narasi di surat kabar maujud sebagai perdebatan yang lenting. Talk show atau program Ruang Demokrasi pekanan di radio selama sekian tahun membuat isu perjuangan Sulbar selalu menjadi topik yang dinanti.
Kita tak dapat membayangkan arus informasi dua arah yang telah dibangun media massa dalam mendukung Sulbar. Bila Mandar Pos tiada, atau Sawerigading hanya sibuk dangdutan dan kirim-kiriman salam pendengar, wacana ber-Sulbar akan merayap amat lambat. Media menjadi katalisator penting bagi arus perjuangan yang dideklarasi di Galung Lombok Tinambung, 10 November 1999.
Bersyukurlah, sebab juga ada Harian Fajar, Pedoman Rakyat Makassar, Radar Mandar (sekarang Radar Sulbar), Sulbar Pos, Sandeq Pos, Tabloid Demokrasi, dan beberapa media lokal lainnya. Halaman-halaman surat kabar ini memberi ruang atau panggung meski terbatas bagi berbagai kabar yang megap-megap, tetapi itu telah lebih dari cukup. Sebab publik dapat melihat dua sisi penting saat itu, antara yang menolak dan mendukung.
Opini yang berbeda di halaman koran tentang urgensi Sulawesi Barat menitis sebagai benturan pemikiran dan penerimaan rakyat secara luas di sisi lain. Penulis sebagai reporter saat itu dalam berbagai kesempatan mengendapkan cuitan harapan atau sindiran kurang lebih sama, betapa mustahilnya.
Tema Sulbar pasti akan lebih riuh bila Facebook yang didirikan Mark Zuckerberg pada Februari 2004 telah digunakan luas di jazirah Mandar, namun layanan jejaring sosial itu belum banyak penggunanya. Radio Sawerigading awal tahun 2000-an telah memiliki jaringan internet dari fasilitasi Network-Unesco, sebelum kantor-kantor pemerintah di daerah banyak menggunakan sarana satelit itu.
Silang pendapat antar tokoh di media massa, atau di persamuhan publik mengenai Sulawesi Barat sesuatu yang kadang menggetarkan. Namun, pada sudut lain itu titik perdebatan yang sangat menguntungkan perjuangan, walau pun amat sering pula mengiris dada akibat komentar mendidih yang melukai. Diksi “golla tanjadzi”, atau “benu base” seringkali meletup sebagai pemicu debat. Itu realitas yang berkecambah.
Dalam analisis teks di kemudian hari, penolakan atas ide itu sesungguhnya menjadi bara yang terus menjaga napas para pejuang. Kini mereka yang berjuang di jalan yang amat bising itu masih ada, berdiri tegak di tengah-tengah kita. Buah perdebatan panjang yang terus dirawat itulah yang sanggup mengantar gagasan dan semangat perjuangan mampu menggapai Senayan Jakarta.
Para pendiri Sulbar tentu saja memulai pemikirannya atas debat pada dirinya sendiri. Apakah ide mereka yang tak mungkin bagi sebagian kalangan itu akan mampu diwujudkan sebagai sesuatu yang mungkin. Jadi pada dasarnya adalah perdebatan gagasan, yang mendapat respons satu sama lain.
Di bilik “Ruang Demokrasi” Radio Sawerigading setiap hari Sabtu siang kala itu, juga sering diwarnai perdebatan setiap kali akan membincang Sulbar. Kendalanya tentu saja, narasumber terbatas, dan lokomotif perjuangan yang kadang nyaring berbunyi, lalu sering pula tidak ada kabarnya begitu lama. Namun lema apapun sanggup menjadi pemantik hingga wacana ber-Sulbar selalu asyik dibincang.
Ketidakpastian ujung perjuangan Sulbar tahun 2002-2004 selalu dapat menjadi tema yang dihidupkan dalam rasio kebolehjadian, lalu beresonansi pada benak pendengar. Sulbar memuai dari palung perdebatan saling memunggungi.
Judul catatan di atas terinspirasi dari analis politik Bivitri Susanti di Kompas edisi Kamis 22 September hari ini, yang mengatakan pemikiran tidak diundang untuk dibicarakan. Melainkan harus diperjuangkan antara lain melalui perdebatan gagasan, dan persamuhan ide paling runcing sekali pun.
Sejumput ide yang pada mulanya ada di benak para pejuang Sulbar toh telah berbuah provinsi seperti saat ini. Senila niat baik untuk lempang daratan bekas Afdeling Mandar ini sebelanga harapan bagi rakyatnya di manapun.
Bila perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar dimulai dari adu konsep atau pemikiran melalui perdebatan memanjang. Layar pembangunan Sulbar dapat dipacu melalui dorongan angin perdebatan para calon pemimpin di daerah yang tahapannya berangsur dimulai. Selamat bagi HUT ke-18 Provinsi Sulbar. (*)