Menyimpan Jejak Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulbar

  • Bagikan
Abdul Malik Pattana Endeng saat menandatangi spanduk Deklarasi Galung Lombok, 10 November 1999. Namanya kini diabadikan menjadi nama jalan di depan Kantor Gubernur Sulbar. -- foto: hamzah ismail --

USIANYA baru 18 tahun, sudah bisa punya SIM, sudah meninggalkan status ABG, dan tahun depan sudah bisa nikah menurut UU. Itu kalau provinsi ini adalah seorang manusia.

Oleh:
Muhammad Ridwan Alimuddin
Pendokumentasi Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulbar

Provinsi ini memperoleh pencapaian di banyak hal, yang mungkin tidak terjadi seandainya tidak menjadi provinsi sendiri. Tapi, ada yang seharusnya diperoleh nggak bisa karena gerakannya lambat. Tidak progresif. Peningkatan infrastruktur ada, wajar karena sudah provinsi; tapi ada kemajuan yang hanya bisa didapatkan jika leadership-nya unggul. Jujur, ini yang belum kita miliki.

Tapi saya tidak akan membuat tulisan panjang mengenai apa yang terjadi di Sulawesi Barat (Sulbar) 18 tahun terakhir. Untuk merayakan provinsi kita kali ini, saya ingin berbagi tentang proses pendokumentasian jejak perjuangan Provinsi Sulbar.

Satu dekade silam, saya diminta pak Naharuddin, salah satu eksponen pejuang pembentukan Sulbar, untuk mengumpulkan dokumentasi apa saja tentang perjuangan pembentukan Sulbar. Ajakan itu langsung saya iyakan sebab sebelumnya saya sudah cicil-cicil, tinggal ditambah.

Salah satu “cicilan” yang cukup signifikan adalah ketika pak Farid Wajdi (sekarang Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulbar) mempercayakan kepada saya untuk menyimpan beberapa keping kaset mini DV yang isinya salah satu tahapan perjuangan pembentukan Sulbar.

“Kamu simpan kaset ini, kalau sama saya bisa hilang,” kata pak Farid Wajdi, yang datang ke rumah saya di Tinambung.

Waktu itu 2009, baru saja terjadi banjir besar, yang salah satu dampaknya kolom rumah orangtua pak Farid di Kandemeng kemasukan air. Beberapa benda rusak. Untung kaset disimpan dalam kaleng sehingga tidak basah.

Isi kaset kemudian saya transfer ke komputer. Isinya amat penting. Misalnya aksi di bandara; kegiatan seminar; kunjungan anggota DPR RI ke Polman, Majene dan Mamuju; halal bi halal di Makassar, dan pertengkaran para tokoh pejuang.

Tak banyak yang tahu bahwa pernah ada konflik, yang nyaris berujung perkelahian, yang melibatkan tokoh-tokoh pejuang. Seperti Darmawan Masud, Syahrir Hamdani, Naharuddin, dan lain-lain. Konflik itu menyebabkan pak Zikir Sewai menangis tersedu-sedu. Untung segera ditengahi ‘bapak bangsa Sulawesi Barat’, Husni Djamaluddin.

Sebagian dokumentasi di atas memperkaya buku yang ditulis saudara Idham Khalid Bodi yang berjudul “Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat”, terbit pertama kali pada Desember 2010.

Proses pengumpulan semakin intens saya lakukan, yang bisa katakan tak selesai-selesai hingga kini. Saya menargetkan untuk mewawancarai 150 orang, tapi yang baru terwujud separuhnya. Semua direkam audio visual untuk kemudian transkripsi. Bukan hanya itu, kalau informan memiliki dokumentasi foto, film atau dokumen, saya minta untuk direpro.
Hasilnya, usai saya print, tebalnya lebih 500 halaman. Ada ratusan foto, puluhan dokumen dan ratusan transkrip wawancara mentah, belum sensor.

Saya yang tidak terlibat dalam perjuangan pembentukan Sulbar (masa-masa perjuangan saya masih kuliah di Yogyakarta, gerakan di sana tidak semasif di Makassar dan Jakarta) merasa “agak gimana ya” mengetahui sisi-sisi lain perjuangan pembentukan provinsi ini.

Dari sekian wawancara dari informan pelaku langsung, saya mendokumentasikan beragam warna perjuangan. Dari yang heroik, humanis, hingga sisi-sisi gelap. Ya, harus diakui perjuangan pembentukan provinsi ini tidak ‘bersih-bersih amat’.

Ada informan bercerita dia harus memberi seorang anggota legislatif amplop berisi uang di kamar mandi, ada juga upaya memanipulasi statistik agar memenuhi syarat menjadi provinsi, dan juga upaya menculik seseorang karena dia ngotot ibukota harus di Mamuju.

“Pukul 23.00 saya didatangi. Saya ke luar dan ada yang mencari saya untuk menemui maraqdia Malik Pattana Endeng. Saya tanya dia di mana? Di ada di rumah bupati dan saya bilang, maaf, saya jangan dibohongi, tadi saya dari dalam dan beliau ada di Balanipa saat ini. Kembali saja, saya sudah tahu apa maumu. Pulanglah dia. Pukul 01.00 dia datang lagi, saya dipanggil dan hanya saya yang ditunggu. Terakhir pukul 02.30. Saya ke luar pakai handuk dan mengatakan, sampaikan pada orang yang menyuruhmu, besok pagi saya akan menemuinya. Saya bukan tipe manusia yang biasa diculik, saya yang biasa mengatur menculik orang. Jadi tidak usah membuatkan saya permasalahan. Pulang saja dan sampaikan besok saya akan ketemu. Pulang saja daripada kamu susah dan berbahaya. Jangan kamu pikir saya ini orang Mamuju yang kesasar datang di Majene. Setelah shalat subuh saya ke Tinambung, saya kasih tahu ke keluarga bahwa semalam ada yang seperti ini. Mereka turun satu keluarga, dan ada yang baru satu bulan keluar dari penjara. Puanna Masni di Lembang-Lembang dan lainnya. Mereka datang dan bertanya, siapa yang akan mengambil anda, Daeng? Saya bilang tidak ada, adik-adik semalam itu hanya main-main dan saya sudah tahu siapa yang menyuruh merek,” demikian kutipan wawancara saya dengan (almarhum) A. Ruchul Thahir, eksponen pejuang pembentukan Sulbar dari Mamuju tapi berasal dari Alu, Polman.

Artefak penting perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar adalah kain putih yang berisi tanda tangan, namanya Deklarasi Galung Lombok. Kain itu sekarang saya yang simpan atas amanah pak Syahrir Hamdani.
Berikut sekilas cerita tentang kejadian di Galung Lombok, hasil wawancara saya dengan pak Junaedi Latief, unsur pejuang pembentukan Sulawesi Barat dari Tinambung yang sekarang tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Salah satu pertanyaan saya adalah mengapa pak Makmun Hasanuddin mengajak orang Tinambung terlibat di awal-awal perjuangan pembentukan Sulbar di masa reformasi? Dijawab oleh Pak Junaedi Latief, “Pak Makmun melihat di sinilah rohnya”.

“Itulah pak Makmun melihat bahwa Balanipa Tinambung adalah roh perjuangan Sulbar. Semua tokohnya dari sini semua. Almarhum Kolonel purnawirawan Rauf, orang Samasundu, Pak Makmun, Riri Amin Daud, H. Abdul Malik Pattana Endeng apalagi. Memang semangat itu yang muncul,” lanjut Pak Junaedi Latief.

“Untuk lebih menggaungkan perjuangan Sulbar, muncullah ide-ide itu. Datanglah pak Syahrir, bagaimana menghimpun kekuatan untuk mengopinikan. Untuk menyemangati itu timbullah pemikiran, harus semangat Galung Lombok. Kita harus deklarasikan di Galung Lombok untuk itu. Waktu itu kita menggelar pertemuan lagi untuk mematangkan di rumah mertua pak Hamsah Ismail di Tinggas-tinggas. Di bawah kolong rumah, suka dukanya sambil minum kopi,” ungkapnya.

Lanjut Pak Junaedi Latief menjelaskan, “Kesimpulannya terbentuk panitia yang diketuai oleh Thamrin Hamzah yang rumahnya di Lekopadis. Bagaimana caranya untuk mendatangkan orang? Setelah beberapa kali rapat, akhirnya timbul kesepakatan. Agar dapat dilaksanakan di Galung Lombok, kita adakan perkemahan.
Gerakan ini di luar sistem, gerakan sporadis. Tetapi keterlibatan pak Syahrir dan pak Alimuddin Lidda, pak Nurdin, kita semua bergerak dengan beberapa tokoh masyarakat. yang mendukung juga, termasuk almarhum Kamaruddin Daud”.

“Kita mengundang semua Pramuka SD, gugusnya, untuk berkemah di sana. Yang jadi masalah bagaimana caranya agar mereka tertarik? Jadi strateginya kita siapkan konsumsi,” sebut Pak Junaedi Latief.

“Koordinator konsumsi saat itu adalah Pak Hasbi Ismail, dengan motor Honda bututnyan yang antik, dua juga luar biasa. Dengan hubungan baik dan segala pendekatan kepada masyarakat, hampir semua tokoh yang ada di Tinambung kita minta sumbangan. Ada yang menyumbang air mineral, uang, ikan dan mie instan, juga ikan asin. Semuanya diangkut ke Galung Lombok, malam-malam sambil berhujan-hujan,” kenangnya.

“Alhamdulillah berhasil, yang jauh berdatangan, dari MAN Lampa juga datang. Mereka semua berdatangan dengan semangat ingin berpisah dari Sulawesi Selatan. Karena kita juga selalu disemangati oleh Pak Alimuddin Lidda. Beliau adalah motivator hebat. Orang-orang mulai berbondong-bondong. Ketika itu kita mendatangi almarhum Pattana Endeng, supaya kekuatan kita ini lebih besar. Artinya, kalau toh ada apa-apanya, misalnya perizinan, dan sebagainya, kita punya benteng. Waktu itu kondisi kesehatan Pak Malik kurang sehat,” papar Pak Junaedi Latief.

“Tetapi karena memang impiannya harus terwujud Sulbar, yang dia ikuti tiga periode, akhirnya kita berjalan. Kita sangat bahagia Maraqdia hadir,” imbuhnya.

Juga diceritakan bagaimana menyamarkan itu kegiatan di Galung Lombok dengan kegiatan Hari Pahlawan.

“Kita memang mau deklarasi tetapi hari itu bertepatan dengan Hari Pahlawan. Semangat itu. Hanya kita masih membungkus, karena kita masih takut. Tetapi kita sudah siap untuk membentangkan kain putih untuk tanda tangan deklarasi. Pada saat bendera dibentangkan, kami sangat bersemangat. Kita akan betul-betul merdeka. Tetapi kita juga was-was, sebab ada isu bahwa akan dilarang, akan dibubarkan. Tetapi kita tetap bersemangat, insya Allah ada Maraqdia yang menjaga kita,” sebut Junaedi Latief.

“Saat acara dimulai, pembacaan undang-undang, hening cipta dan sebagainya, penaikan bendera sang merah putih. Saat kita melihat tiang bendera, ternyata talinya tidak ada. Lalu bagaimana caranya? Kita semuanya tegang. Saya sendiri yang berlari mencari tali. Tidak sampai menemukan tali, dengan heroiknya, Rundang memanjat tiang bendera, ia naik dan mengikat bendera di ujung tiang dengan sangat gagah berani,” kenang Junaedi Latif.

Demikian sekutip dua kutip wawancara saya dengan puluhan orang yang terlibat perjuangan. Bisa jadi menjadi bagian utama dalam kitab perjuangan, bisa jadi hanya sebuah catatan kaki. Antara sedih dan bersyukur, beberapa informan yang saya wawancarai saat ini sudah almarhum. Misal bapak Ma’mun Hasanuddin, bapak Gaus Bestari, ibu Rosmiani Ahmad, bapak Ruchul Tahir, bapak Alimuddin Lidda, dan lain-lain.

Perjuangan Sulbar penting didokumentasikan bukan untuk nostalgia-nostalgiaan di kalangan yang terlibat memperjuangan, tapi bagaimana sejarah pembentukan provinsi ini bisa menjadi pelajaran dalam membangun bumi malaqbiq. Saya merasa bahagia bisa terlibat, meski hanya pengumpul artefak-artefaknya. Dirgahayu Sulbar yang ke-18. (*)

  • Bagikan