SEORANG pria berjalan sangat hati-hati menyusuri jalan kampung. Ia mengandalkan sebuah tongkat untuk menuntun langkah kakinya. Di belakangnya, melangkah pelan pula seorang perempuan. Ia sesekali memegang pundak pria itu. Keduanya merupakan pasangan suami-istri (pasutri) berkebutuhan khusus: tunanetra.
Laporan:
M. Danial
Pasutri penyandang disabilitas itu bernama Kunda (57 tahun) dan Sukriani (39), tinggal di rumah panggung berukuran sekira 3 x 5 meter di belakang permukiman warga Dusun Galung, Desa Tamajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar. Kedua mata Kunda sama sekali tidak bisa melihat. Adapun Sukriani, matanya hanya berfungsi melihat jarak dekat.
Kunda tidak mengetahui penyebabnya mengalami kebutaan. Katanya, menurut orang tuanya, ia bisa melihat waktu masih kecil. Setelah mengalami kebutaan, ia tidak pernah berobat karena tidak punya biaya. Sedangkan Sukriani, pernah menjalani operasi. Tapi, matanya tidak bisa berfungsi normal karena seharusnya menjalani operasi lanjutan. Urung dilakukan karena persoalan biaya juga.
“Saya sendiri tidak tahu penyebabnya. Hanya orang tua pernah bilang waktu kecil saya bisa melihat. Tapi, tidak pernah berobat karena tidak punya uang,” jelas Kunda, di rumahnya, Ahad 25 September 2022, sore.
“Kalau saya, bisa melihat jarak dekat. Tapi hanya seperti bayangan. Penglihatan kabur. Saya pernah (menjalani) operasi mata, sebelum menikah. Dianjurkan operasi lanjutan, tapi tidak ada biaya. Jadi, beginimi sampai sekarang. Apa boleh buat, terpaksa pasrah saja,” tutur Sukriani.
Sejak menikah tahun 2014, keduanya menjalani hidup penuh kasih sayang dengan segala keterbatasan.
Perkenalan Kunda – Sukriani berawal pada pertemuan di acara Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) di Polewali. Kunda menceritakan, saat bertemu Sukriani, langsung menyampaikan niat kepada untuk membangun rumah tangga. Gayung bersambut, Sukriani merespon baik.
“Ketemu pertama di acara Pertuni. Waktu itu saya langsung sampaikan niat ke dia (Sukriani) bagaimana kalau kita menikah. Alhamdulillah, dia bilang setuju kalau saya memang serius dan betul-betul akan menyayanginya,” kenang Kunda.
“Soalnya, kita sama-sama tidak sempurna,” imbuh Sukriani, sembari tersenyum.
Sukriani mengungkapkan, hubungannya dengan Kunda sempat tidak direstui orang tua dan keluarganya. Karena meragukan cara menjalani hidup berumah tangganya sebagai tunanetra. Namun, Sukriani bersikeras mengabaikan nasihat keluarganya. Selain lantaran cintanya sudah terpatri, keduanya meyakini bahwa Tuhan Maha Kuasa. Sukriani menerima pinangan Kunda untuk menikah.
Seiring waktu, keduanya menjalani hidup saling melengkapi satu-sama lain. Ikatan cinta selalu merekatkan keduanya menerima keadaan apa adanya, sekaligus sebagai penyemangat menghadapi keterbatasan yang menjadi bagian kehidupannya.
Pasutri itu sangat berharap punya keturunan. Saat pernikahannya berusia setahun, janin dalam kandungan Sukriani meninggal pada usia sembilan bulan. Beberapa tahun kemudian, Sukriani kembali membayangkan harapan segera punya anak. Namun, lagi-lagi janin dalam kandungannya meninggal lagi pada usia sekira sembilan bulan juga.
Meski hidup penuh keterbatasan dan harapan memiliki keturunan belum terwujud, keduanya mengaku tidak pernah berkecil hati. Selalu berdoa dan berusaha bekerja sebisanya untuk kebutuhan sehari-hari, tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Keduanya memelihara ayam di kolong rumahnya untuk dijual.
“Pokoknya kami bekerja sebisanya, karena kami sadar tidak sempurna. Yang penting halal. Biasa juga saya bantu-bantu tetangga yang bisa saya lakukan,” jelas Sukriani. Sedangkan Kunda, kerap mendapat panggilan menyanyi kalau ada yang bikin acara di kampungnya atau kampung tetangga. Kunda sangat gemar menyanyikan lagu Rhoma Irama dan lagu dangdut lainnya. Ia mendapat upah yang nilainya tidak seberapa, tapi ia mensyukuri untuk menambah-nambah penghasilan membeli kebutuhan sehari-hari.
Sukriani menyatakan bersyukur para tetangganya selalu peduli kehidupan keduanya. Mengaku mendapat bantuan sosial dari pemerintah, tapi jarang. Kalaupun ada, tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
“Ada bantuan dari pemerintah, tapi tidak cukup. Tapi Alhamdulillah tetangga selalu berbaik hati kerap membantu,” imbuhnya. Kunda dan Sukriani berharap bisa punya uang untuk modal usaha yang bisa dilakukan sesuai kemampuannya sebagai penyandang disabilitas tunanetra. (*)