Kampanye di perguruan tinggi atau di kampus kembali mengemuka setelah ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari menyatakan tidak ada larangan berkampanye di kampus. Menurutnya, undang-undang tidak melarang kampanye di kampus, sebab yang dilarang adalah menggunakan fasilitas pendidikan untuk berkampanye, bukan aktivitas kampanyenya. Meskipun penjabaran pasal 280 ayat (1) huruf (h) berbunyi “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu di larang : menggunkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.”
Dalam penjelasan atas pasal 280 ayat (1) huruf (h) bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Ditambahkan penjelasan bahwa yang di maksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/ atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
Kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Kampanye pemilu dilaksanakan secara serentak oleh peserta pemilu baik partai politik, calon anggota legislatif, hingga calon presiden dan wakil presiden. Menurut, Roger dan Storey mengemukakan bahwa kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu kepada masyarakat tentu dengan harapan dapat di pilih di hari pemungutan suara.
Salah satu perkembangan dari model kampanye adalah debat kandidat dan/atau pemaparan visi misi pasangan calon dan calon anggota legislatif, hal ini dapat diselenggarakan oleh siapapun dengan menghadirkan calon yang berkompetisi. Termasuk dilaksanakan di perguruan tinggi atau kampus.
Wilayah kampus atau perguruan tinggi dapat dikatakan ranah pendidikan tempat yang dianggap “sakral” yang tidak pernah disentuh oleh pelaksanaan kampanye politik. Kampanye sebagai kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu baik partai politik maupun kader partai.
Sejatinya, kampanye politik sebenarnya adalah upaya untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga materi-materi kampanye haruslah memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan berpendapat, dan konsep negara hukum.
Dalam pasal 267 ayat (1) UU No 07 Tahun 2017 tentang Pemilu di jelaskan “Kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik mayarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab”. UU Pemilu telah mengonstruksikan secara tepat makna kampanye pemilu sebagai bagian pendidikan politik masyarakat, Maka sejatinya, seperti kata Soedjatmoko, pendidikan menjadi sarana belajar suatu bangsa untuk memajukan peradabannya, semestinya pendidikan politik berberan penting dalam upaya tersebut.
Dengan demikian, pelaksanaan kampanye di kampus semestinya bersikap pasif artinya peserta pemilu cukup menunggu undangan dan tidak boleh secara aktif berkomunikasi ke kampus serta tidak boleh secara atraktif menyebarkan atribut partai ataupun bahan kampanye. Dengan batasan tersebut, hal yang memungkinkan dilakukan peserta pemilu di kampus selama masa kampanye adalah pertemuan tatap muka (berupa dialog maupun diskusi) dan debat kandidat dengan subtansi materi kampanye meliputi visi, misi, gagasan program kerja yang ditawarkan oleh kandidat kepada masyarakat.
Disatu sisi pelaksanaan kampanye di kampus sangat rentang di manfaatkan oleh elit politik atau kepala daerah untuk ikut mempengaruhi secara kelembagaan kampus tersebut. Ini yang perlu dikhawatirkan bersama bahwa para politisi berpotensi memanfaatkan ruang-ruang yang tidak seharusnya disentuh politik praktis.
Dengan demikian, wajar jika banyak pihak yang mengkhawatirkan jika kampanye di kampus di terapkan sebab akan berdampak negatif, misalnya kampanye dianggap berpotensi menimbulkan gangguan ketertiban kampus, dan kampanye dapat mendegradasi posisi kampus sebagai center of excellence untuk mengembangkan kajian akademis. Selain itu hal yang diantisipasi adalah timbulnya perpecahan atau berkelompok di kalangan akademisi, selain itu dapat menggangu aktivitas perkuliahan jika sampai diperlakukan kampanye terbuka. Adagium bahwa politik itu kotor, maka akan semakin menjauhkan civitas akademika dari proses politik yang sangat pragmatis.
Semestinya menghindari penyalaguaan kampus sebagai instrumen pemenangan pemilu oleh parpol. Kampanye semestinya menjadi ajang menambah informasi serta memperkuat daya literasi politik bagi kalangan kampus. Pelarangan ini semata-mata untuk menetralkan tempat-tempat tersebut dari kegiatan politik praktis.
Model kampanye dikampus sebaiknya tidak dalam bentuk kampanye terbuka dengan menghadirkan banyak massa, melainkan diposisikan sebagai uji kelayakan dan kepatutat bagi kandidat yang kemudian kampus menginformasikan ke masyarakat luas kapasitas kandidat tersebut. Penting pula diingatkan kepada elit parpol untuk tidak menjadikan kampus sebagai subordinat dan instrumen pemenangan pemilu, akan tetapi sebagai mitra pendidikan politik. (*)