USAHA yang dimulai dimulai sejak 2018, dari tahun ke tahun berhasil mendapatkan omset jutaan rupiah perbulan.
Laporan:
M. Danial
Polman, Sulbar
Berawal dari keprihatinan karena tidak sedikit pemuda meninggalkan kampung karena kesulitan lapangan kerja. Pria itu terdorong merintis usaha budidaya jamur tiram sebagai pekerjaan yang prospeknya cukup menjanjikan.
Pria itu adalah Asri Azis, warga Desa Kuajang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polman, Sulbar. Ketika memulai usahanya, banyak warga yang meragukan lantaran beranggapan jamur adalah tanaman beracun. Keraguan warga itu tidak membuat Asri tidak berkecil hati. Ia menganggapnya sebagai tantangan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai jamur tiram.
“Awalnya saat kami memperkenalkan jamur tiram, banyak yang meragukan karena beranggapan ini tanaman beracun, mana mungkin dikonsumsi, dan segala macam anggapan lain soal jamur tiram. Itu menunjukan perlunya edukasi mengenai jamur tiram,” ungkap Asri di rumahnya, Jumat sore, 4 November 2022.
Pria yang kini berusia 29 tahun menyebut yang mendorongnya melakukan budidaya jamur tiram. Pertama, untuk mendalami usaha sekaligus memanfaatkan pengetahuan sebagai lulusan fakultas pertanian. Kedua, untuk mendayagunakan potensi tenaga kerja, terutama para pemuda dan perempuan.
Dengan semangat dan tekad tersebut, Asri memulai usaha budidaya jamur tiram. Ia memanfaatkan sepetak lahan kosong di samping rumahnya di Dusun Lemo, Desa Kuajang. Biaya awal merupakan swadaya keluarganya, yang awalnya sempat meragukan juga usaha tersebut.
“Salah satu tantangan yang awalnya saya hadapi berasal dari keluarga, karena mereka sempat meragukan usaha ini. Tapi, saya berusaha meyakinkan mereka bahwa usaha ini tidak akan sia-sia, alhamdulillah hingga seperti yang kita lihat sekarang,” tutur pria beranak dua orang itu.
Usaha yang ditekuni Asri yang diberi nama “Timur Mushroom Farm” telah mendapat pengakuan berupa penghargaan sebagai juara kedua enterpreneur milenial muda (2nd winner fortepreneur 4.0) pada tahun 2021 lalu di Jakarta.
Usaha budidaya jamur tiram tergolong mudah dilakukan. Apalagi, hanya memerlukan media tanam berupa serbuk kayu gergaji yang mudah ditemukan dan kebanyakan menjasi limbah. Serbuk kayu gergaji, jelas Asri, dicampur dengan sejumlah bahan lalu dilakukan proses sterilisasi melalui penguapan.
Selanjutnya disiapkan menjadi media pembibitan, lalu dipindahkan ke ruang inkubasi. Setiap media tanam bisa berproduksi selama tiga bulan, setelah itu media tanam dimanfaatkan sebagai campuran kompos.
Terkini, rumah budidaya jamur tiram berukuran 7×8 meter yang dikelola Asri, dapat menghasilkan sedikitnya 15 kilogram jamur tiram per-hari. Dipasarkan ke sejumlah daerah seharga Rp35.000 per-kilogram.
Asri menyebut pemasaran produksinya termasuk ke Kalimantan dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Ia menyebut pemasaran dilakukan dari buku ke hilir. Artinya, selain memasarkan jamur segar atau dalam bentuk olahan, memasarkan juga bibit hingga media tanam jamur.
Meski usahanya terus berkembang dan menuai hasil yang terus meningkat, Asri tetap merendah. Ia bertekad terus meningkatkan produksi dengan memperbanyak basis bibit jamur tiram. Dengan cara tersebut, produksi bisa terus meningkat dan kontinyu.
“Omset kita masih di kisaran Rp10 juta perbulan. Dari hasil itu, kita kembali putar untuk memperbanyak basis bibit jamur tiram, karena kita berharap produksi bisa kontinyu,” tuturnya.
Dijelaskan, usaha dari hulu ke hilir dilakukan mulai dari membuat bibit, memasarkan media tanam jamur tiram segar, memasarkan produk olahan seperti nugget, krispi, kripik, sambusa dan produk lain yang bahannya dari jamur tiram. Ke depan, Asri berencana membuat pengganti micin atau penyedap rasa dari jamur tiram.
Pandemi Covid-19 yang lalu secara umum cukup dirasakan dampaknya. Namun, bagi Asri menjadi penyemangat dalam menekuni budidaya jamur tiram sebagai usaha yang berpeluang untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
Strategi yang dilakukan saat itu, antara lain melakukan edukasi kepada masyarakat dengan membuat makanan olahan, misalnya yang biasanya diisi daging ikan diganti isian jamur. Upaya tersebut cukup berhasil dan berangsur merubah anggapan keliru masyarakat tentang jamur. Mereka mulai percaya dan yakin bahwa jamur tidak beracun.
Hingga kini, Asri telah menularkan usaha budidaya jamur tiram ke berbagai tempat dengan membentuk kelompok wanita tani (KWT) binaan yang tersebar di sejumlah tempat dan bersemangat menukuni kegiatan tersebut. Sembilan KWT budidaya jamur tiram memiliki anggota sedikitnya 25 orang dan rata-rata sudah rutin berproduksi, melayani kebutuhan pasar lokal maupun luar daerah.
Dalam mengelola usahanya, Asri menyatakan membuka diri untuk bekerjasama dan berperan dalam pendayagunaan tenaga kerja untuk pemberdayaan perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Yang tidak diinginkan, kalau ada pihak yang dengan mudah atau tiba-tiba mengklaim bahwa usaha tersebut adalah binaannya. (*)