MAMUJU, SULBAR EXPRESS – Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Sulbar Suhardi Duka angkat suara terkait polemik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
SDK, sapaan akrab Suhardi Duka, memandang bahwa lahirnya Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk nyata dari pembangkangan konstitusi. Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengamantkan agar pemerintah untuk kembali merunut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Intinya, pemerintah harus lebih memberi porsi yang besar pada keterlibatan masyarakat di dalam menilai norma serta aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.
“Pembahasan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja oleh MK menilai bahwa inprosedural. Maka diminta supaya diproses ulang,” tegas SDK yang juga Ketua DPD Demokrat Sulbar, Selasa 3 Januari 2022.
Pemerintah, mestinya taat pada konstitusi dengan menjalankan amar putusan MK. Bukan malah membuat Perppu yang dinilai sebagai perlawanan terhadap konstitusi.
Dijelaskan, syarat lahirnya Perppu adalah adanya kegentingan yang sifatnya memaksa, mendesak. Sedang negara hari ini tidak dalam keadaan genting. SDK menyebut, ekonomi tumbuh positif dan Kamtibmas berjalan normal.
“Saya kira, alasan ekonomi, alasan sosial, alasan politik, alasan keamanan, tidak ada yang boleh dimasuki untuk menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi amat mendesak. Sedangkan landasan Perppu itu kan karena terjadinya kegentingan dalam negara. Yang genting itu Ukraina dengan Rusia. Indonesia tidak genting,” urai SDK dalam keterangannya.
Partai Demokrat pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut mengkritisi lahirnya Perppu tentang Cipta Kerja tersebut. SDK kemudian menduga Perppu tersebut lahir dari desakan oligarki.
“Dugaan saya pesanan oligarki. Karena memang Undang-Undang Cipta Kerja ini adalah beratnya kepada pengusaha. Pengusahanya itu bukan kelas menegah kecil, tapi pengusaha konglomerasi. Ini saya melihatnya seperti itu,” terang SDK.
Demokrat pun sedang menginisasi sejumlah langkah untuk tetap menyoroti lahirnya Perppu Cinta Kerja tersebut.
“Dukungan dari masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Lalu tentunya kita menggalang teman-teman anggota DPR RI supaya Perppu ini ditolak. Kita sadar bahwa negara kita tidak bisa dikuasai oleh segelintir orang saja. Indonesia adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu yang paling penting,” tandas Suhardi Duka.
Mengesampingkan Esensi Demokrasi
Jumat 30 Desember 2022, Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menegaskan, penerbitan peraturan ini didasarkan pada sejumlah alasan mendesak seperti antisipasi terhadap kondisi geopolitik dan ekonomi global.
“Pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak, yaitu misalnya dampak perang Ukraina yang secara global maupun nasional memengaruhi negara-negara lain, termasuk Indonesia mengalami ancaman inflasi, ancaman stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, serta krisis pangan,” kata Mahfud di Jakarta.
Menurut dia, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis dan penerbitan Perppu, merupakan salah satu upaya untuk dapat mengambil langkah strategis tersebut.
Menurut dia, pertimbangan aspek hukum dan peraturan perundang-undangan terkait keluarnya Perpu Cipta Kerja karena kebutuhan mendesak ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 38/PUU-VII/2009.
Namun demikian, sorotan atas penerbitan Perppu Cipta Kerja langsung deras mengalir dari para elit di pusat.
Kritikan tajam juga disuarakan oleh Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menerangkan bahwa Perppu Cipta Kerja tidak sesuai amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya.
“Selain terbatasnya pelibatan publik, sejumlah elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU selama proses revisi,” kata AHY seperti dikutip dari keterengan pers yang diterima.
Menurutnya, proses yang diambil tidak tepat dan tidak ada argumen kegentingan yang tampak dalam Perppu tersebut.
“Setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, jelas MK meminta perbaikan melalui proses legislasi yang aspiratif, partisipatif dan legitimate. Bukan justru mengganti UU melalui Perppu. Jika alasan penerbitan Perppu harus ada ihwal kegentingan memaksa, maka argumen kegentingan ini tidak tampak di Perppu ini. Bahkan, tidak tampak perbedaan signifikan antara isi Perppu ini dengan materi UU sebelumnya,” jelasnya.
AHY menegaskan, keluarnya Perppu Cipta Kerja ini adalah kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif dan tidak partisipatif.
“Lagi-lagi, esensi demokrasi diacuhkan. Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk melayani kepentingan elite. Janganlah kita menyelesaikan masalah, dengan masalah,” tegasnya. (*/chm)