MAMUJU, SULBAR EXPRESS – Kepala BPS Sulbar Tina Wahyufitri menyampaikan, ekonomi Sulbar tahun 2022 mengalami pertumbuhan sebesar 2,30 persen jika dibandingkan dengan 2021 (c-to-c).
Perekonomian Sulbar tahun 2022 yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku, mencapai Rp 54,07 triliun rupiah.
Peningkatan penciptaan nilai tambah terjadi pada sebagian besar kategori lapangan usaha. Sumber pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi pada kategori pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sementara dari sisi pengeluaran, sumber pertumbuhan ekonomi terbesar berasal dari komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Kemudian, ekonomi Sulbar triwulan IV 2022 mengalami pertumbuhan sebesar 2,53 persen jika dibanding dengan triwulan IV 2021 (y-on-y).
Selanjutnya, ekonomi Sulbar triwulan IV 2022 mengalami pertumbuhan 1,29 persen dibanding triwulan III 2022 (q-to-q).
Dan pada skala regional di kawasan Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampua), pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun 2022 terjadi di Maluku Utara yang mampu mencapai pertumbuhan sebesar 22,94 persen, disusul oleh Sulawesi Tengah (Sulteng) yang mencapai pertumbuhan 15,17 persen. Adapun Sulbar hanya mampu tumbuh sebesar 2,30 persen.
“Secara nasional pertumbuhan ekonomo Sulbar urutan ke 33. Sulbar hanya unggul dari Papua Barat,” kata Tina Wahyufitri di Kantor BPS Sulbar, Selasa 6 Februari 2023.
Ia menyampaikan, dalam pertumbuhan ekonomi 2022, ada beberapa peristiwa regional yang cukup berpengaruh, seperti PPKM semakin longgar seiring menurunnya pandemi Covid 19, hingga terselenggaranya Porprov Sulbar, Festival Sandeq, pemberangkatan Ibadah Haji, dan sejumlah event lainnya.
“Sebenarnya, sudah dua tahun ekonomi Sulbar tumbuh positif, yakni 2021 dan 2022, walaupun pertumbuhannya tidak begitu besar,” ucapnya.
Ia menjelaskan, pembatasan ekspor olahan kelapa sawit membuat perekonomian Sulbar lambat pertumbuhannya, karena daerah ini sangat dipengaruhi pertumbuhannya oleh sektor perkebunan kelapa sawit.
Koordinator Fungsi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Sulbar M. La’bi menyampaikan, ketergantungan ekonomi Sulbar memang sangat besar pada perkebunan sawit, pengolahan CPO dan turunannya.
Ia menjelaskan, sekaitan dengan pembatasan ekspor olahan sawit dan turunannya, tentunya ini berdampak pada produsen mengalami kebingungan dalam hal pemasaran. Sementara, permintaan dalam negeri juga tidak menyerap semua hasil produksi.
Sehingga terjadi penumpukan pada produsen. Itu kejadiannya di Mei 2022, bahkan ada perusahaan sawit di Sulbar yang menghentikan produksi selama sebulan. Dengan menurunnya produksi, itu secara langsung berpengaruh dalam satu triwulan, bahkan setahun. Sehingga mengalami pertumhan ekonomi mengalami kontraksi.
“Ketergantungan kita di CPO cukup besar. Karena ini sektor yang paling besar. Kakao sudah tidak lagi berpengaruh besar, seiring menurunnya produktifitas. Dan kondisi ini juga menjadi salah satu sebab pertumbuhan ekonomi Sulbar hanya 2,30 persen saja,” papar La’bi. (ham)