Angka Pernikahan Anak di Sulbar Tertinggi di Indonesia

  • Bagikan

MAMUJU, SULBAR EXPRESS – Tingginya angka pernikahan anak di Sulbar menempatkan Bumi Malaqbi ini di posisi pertama nasional. Harus fokus menuntaskannya. Juga butuh keterlibatan seluruh pihak.

Masalah pola asuh keluarga, perilaku remaja dan masalah perekonomian menjadi pemicu tingginya angka tersebut. Sekaligus menjadi pemicu rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulbar.

Begitu pengakuan Sekprov Sulbar Muhammad Idris di Mamuju. “Sulbar itu daya saingnya rendah, karena IPM-nya rendah, jauh dari IPM nasional. Sulbar baru berada di angka 68,3 persen. Diantara penyebab IPM rendah itu karena sejumlah masalah sosial,” ungkap Sekprov, Selasa 14 Februari 2023.

Persoalan tersebut turut menjadi penyumbang tingginya angka Stunting atau masalah pertumbuhan anak karena problem gizi.

Menurut Sekprov, stunting, tingginya angka pernikahan anak, dan anak tidak sekolah kini menjadi pekerjaan rumah besar yang butuh penanganan secara menyeluruh dan lebih fokus.

“Sulbar kembali tertinggi pertama pernikahan anak, dengan angka 17,71 persen, sementara nasional 9 persen. Begitu jauh gap antara nasional dan Sulbar,” beber Idris.

Pemerintah pun mulai menyusun bagaimana langkah strategi, dan langkah mitigasi penanganan pernikahan anak agar tidak meningkat lagi.

Salah satunya dengan menguatkan koordinasi lintas sektor, melibatkan Kanwil Kemenag, Pondok Pesantren, Diknas Provinsi, Dinas Kesehatan, hingga Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk melakukan langkah strategis menangani pernikahan dini di Sulbar.

“Mengurangi risiko agar angka ini tidak bertambah, kita sudah libatkan Kanwil Agama, Diknas, Pondok Pesantren, Baznas. Persoalan pernikahan anak ini tidak bisa ditangani oleh hanya satu pihak, harus ada keterlibatan pihak lain,” kata Idris.

Adapun rencana aksi yang akan dilakukan dalam waktu dekat, yaitu pihak Kemenag akan mengundang 438 penyuluh agama Islam untuk mengkampanyekan risiko pernikahan dini, termasuk di sekolah-sekolah akan menjadi materi pembelajaran tambahan.

“Berdasarkan undang-undang, pernikahan dini yang belum di usia 19 tahun. Jadi, kalau menikah di bawah itu maka sudah dianggap pernikahan dini. Di Sulbar itu rata-rata anak menikah di usia 15-16 tahun,” urai Sekprov.

Pemprov juga mendorong keterlibatan aktif pemerintah kabupaten untuk serius melakukan penanganan pernikahan anak di wilayah masing-masing.

“Target 2023 harus turun di angka 16 persen, 2024 di angka 14 persen, sehingga 2025 kita sudah mendekati nasional. Kalau tidak kita akan terus tertinggal,” ujarnya.

Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Djamila mengaku telah menargetkan penurunan angka perkawinan anak secara bertahap. Salah satu upaya dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada para keluarga.

Pihaknya pun, mengaku sudah melakukan berbagai langkah untuk menurunkan angka pernikahan anak, salah satunya dengan membangun kerjasama lintas instansi.

Hanya saja, Djamila mengatakan tak mengetahui pasti berapa jumlah anak usia di bawah 19 tahun yang sudah menikah di Sulbar.

“Ini yang menjadi masalah, data by name by addressnya tidak ada. Kita tidak miliki itu,” ujarnya.

Djamila meminta pemerintah kabupaten dan pemerintah desa agar berperan aktif dalam menekan angka perkawinan anak.

Analis Kebijakan Ahli Muda Bidang Bimas Islam, Kanwil Kemenag Sulbar, Juhaeri Tahir mengaku, pihaknya memiliki program dalam meningkatkan kapasitas dan pemahaman penyuluh agama Islam dan penghulu dalam mengkampanyekan larangan perkawinan anak.

“Di Sulbar ada 435 orang penyuluh agama islam dan 103 orang penghulu. Mereka sangat dekat dengan masyarakat. Saya sudah bikin khotbah seragam terkait larangan perkawinan anak,” tandasnya. (idr/chm)

  • Bagikan