SUATU ketika berada di antara keramaian pengunjung Pasar Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulbar. Tiba-tiba terdengar sebuah letupan. Bunyinya tidak terlalu keras, namun cukup mengagetkan. Orang-orang di sekitar saya pun terlihat kaget. Lalu semua tertawa, mengetahui letupan yang barusan terdengar adalah pembuatan camilan tradisional banno’.
Laporan:
M. Danial
Polewali Mandar
Banno’ adalah camilan tradisional yang sudah melegenda. Dikenal sejak puluhan tahun silam. Terbuat dari biji jagung atau beras. Banno’ adalah bahasa Mandar. Yang terbuat dari jagung disebut banno’ jagung, yang dari beras disebut banno’ beras.
Di daerah Jawa, banno’ dikenal dengan nama berbondong. Nama kerennya popcorn, yang sudah diproduksi dengan aneka rasa dan mengisi gerai pasar modern.
Pembuat banno’ di Pasar Wonomulyo melakukan usahanya menggunakan peralatan tradisional dengan cara tradisional pula.
Dimulai dengan memasukan bahan baku (beras atau jagung) ke dalam wadah khusus untuk dimatangkan dengan cara dipanggang menggunakan gas. Bersamaan dengan itu, wadah pemanggangan diputar terus-menerus dengan cara manual dari atas ke bawah sekira 10-15 menit.
Proses selanjutnya, pemasangan tempat penampungan berupa karung pada lubang wadah agar banno’ tidak terpencar saat diledakan. Dung!!! Jadilah banno yang siap dikunyah.
Camilan yang rasanya legit itu sudah lama dikenal sebagai makanan ringan karena memang ringan. Para penggemar banno’ mengatakan mengunyah berapa banyak pun banno’ tidak mengenyangkan.
Namun selalu menggoda, apalagi jika sudah diolah lagi menjadi pipang yang dibalut gula pasir atau gula merah cair. Dinikmati bersama kopi atau teh hangat sambil istirahat nonton TV atau bercengkerama bersama keluarga. Saya pun kerap sengaja menyediakan banno’ sebagai teman membaca.
Salah satu pembuat banno’ di Wonomulyo bernama Adam mengaku sudah belasan tahun menekuni usaha tersebut. Pria 35 tahun itu bersyukur tetap sibuk melayani banyak pelanggan di Pasar Wonomulyo setiap Rabu dan Minggu. Pada hari-hari lainnya, Adam dibantu tiga karyawan memproduksi banno’ sekaligus melayani pelanggan di rumahnya.
“Kalau hari pasar, Rabu dan Minggu saya melayani langganan di sini. Kalau hari-hari lain, saya di rumah membikin (banno’) sekaligus melayani pelanggan,” jelas warga Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Wonomulyo, Polman, beberapa hari lalu.
Adam menyebut pelanggannya berasal dari berbagai tempat di Wonomulyo dan sekitarnya. Malah ada dari luar Polman, seperti Mamasa.
Usaha pembuatan banno’ tradisional ditekuni Adam menekuni sejak 2008. Katanya, melanjutkan usaha orang tuanya. Ia menyatakan bersyukur tetap banyak yang suka banno’.
Itu terbukti dengan kesibukannya melayani langganannya setiap hari pasar Wonomulyo maupun di rumahnya. Untuk kelancaran usahanya, Adam memiliki tiga mesin banno’, dua yang dioperasikan di rumahnya.
“Saya kerja ini sejak 2008 melanjutkan usaha orang tua. Alhamdulillah sudah ada tiga mesin, satu yang dibawa ke sini (pasar), dua (mesin) di rumah karena banyak pesanan dari langganan,” jelasnya.
Adam menjelaskan pembutan banno’ di rumahnya rata-rata menghabiskan setengah kuintal beras maupun jagung. Ia dibantu dua pekerja di rumahnya, sedangkan di pasar ditemani seorang pekerja.
Mesin banno’ milik Adam menampung 2,5 liter setiap pengisian untuk diletupkan yang menghasilkan empat liter banno’. Selanjutnya dijual seharga Rp5.000 setiap tiga kantong kresek kecil.
Setiap letupan menghasilkan nilai jual banno’ Rp50.000. Pebuatan banno’ yang bahannya (beras atau jagung) disediakan pelanggan, ongkosnya Rp20.000 setiap letupan.
“Kalau bahannya (beras atau jagung) disediakan langganan atau orang lain, satu kali letusan Rp20.000,” jelasnya.
Pengoperasian mesin banno’ milik Adam menggunakan satu tabung kecil gas LPG dua kilogram untuk 24 kali letusan.
Adam menyebut usaha pembuatan banno’ tidak banyak peminatnya. Mungkin karena melihatnya sangat tradisional. Tapi bagi pria satu anak itu, diakui cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lebih dari itu, menjadi lapangan kerja tiga orang lainnya.
Seorang perajin pembuatan pipang, Setiawati merupakan salah satu pelanggan Adam membuat banno’ yang diolah menjadi pipang. Usaha yang ditekuni Setiawati sebagai pembuat pipang cukup membantu meringankan kebutuhan sehari-harinya bersama keluarga. Banno’ yang diproses menjadi pipang gula merah atau pipang gula pasir, menurut Setiawati selalu laris.
“Banno’ memang tradisional, tapi masih banyak orang suka. Apalagi yang sudah jadi pipang, selalu laris. Tapi harus banno’ dulu untuk bikin pipang. Dua-duanya selalu laris, pipang gula merah maupun gula pasir. Anak-anak, orang dewasa, orang biasa-biasa maupun orang kaya semua suka,” pungkas warga Pelitakan, tanpa menyebut penghasilan yang diperoleh melayani penjualan banno’ dan pipang ke Polewali sampai ke Mamasa. Itu menunjukan camilan tradisional yang lagendaris itu tetap laris. (*)