Oleh Furqan Mawardi
-Dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju
-Pengasuh Pondok MBS At-Tanwir Muhammadiyah Mamuju
Dunia Pendidikan kembali goncang dengan makin maraknya aksi kekerasan yang teradi di lingkungan sekolah. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh guru ke murid, murid ke guru, Orang tua ke guru dan antara murid dan murid terus saja terjadi bahkan mengalami kenaikan yang cukup memperihatinkan. Data dari Komisi perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Angka kekerasan terhadap anak di sekolah meningkat dari 7,6 persen pada tahun 2022 menjadi 8,7 persen pada periode Januari–Agustus 2023.
Sementara itu Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus perundungan di satuan pendidikan periode Januari-September 2023 mencapai 23 kasus. Dari 23 kasus itu, dua korban di antaranya meninggal dunia usai mengalami perundungan. Satu siswa SDN di Kabupaten Sukabumi juga meninggal setelah mendapat kekerasan fisik dari teman sebaya, dan satu santri MTs di Blitar, dan semua kejadian ini terjadi di lingkungan sekah mereka masing-masing.
Demikian pula kasus guru yangmencukur rambut belasan siswi karena tak memakai ciput sesuai aturan sekolah di Lamongan. Seorang siswi SD di Gresik diduga dipalak dan dicolok matanya hingga buta oleh kakak kelas; Demikian pula seorang siswi SD di Pesanggrahan, siswa madrasah aliyah di Demak membacok gurunya karena dilarang mengikuti ujian tengah semester.
Kejadian demi kejadian yang terjadi tersebut tentu menjadikan kita mengelus dada, ada apa gerangan dengan dunia pendidikan kita saat ini?. Kenapa begitu mudahnya saling menyakiti secara fisik bahkan sampai tega menghilangkan nyawa. Kemana pendidikan budi pekerti yang selama ini telah diajarkan? Kemana pendidikan moral yang selama ini menjadi menjadi jargon? Kemana pendidikan karakter yang selama ini terus didengunkan?
Padahal kita telah memiliki beberapa aturan untuk pencegahan dan penanggulangan, sebutlah misalnya regulasi perlindungan anak di sekolah, antara lain sekolah ramah anak (SRA) yang diinisiasi oleh kementrian Perlindungan anak dan perempuan. Hingga saat ini jumlah sekolah yang menyandang predikat SRA ada sebanyak 22.170 sekolah dari total umlah sekolah sebanyak 218.600 sekolah.
Selain itu, juga ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dan yang baru diluncurkan melalui ”Merdeka Belajar Episode 25” pada Agustus 2023 adalah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Namun dari sekian aturan dan dan regulasi, faktanya dilapangan masih saja terus terjadi tindak kekerasan di lingkungana sekolah baik di tingkat Sekolah dasar, SMP maupun SMA. Sepertinya perlu kita kembali merenungi dan menengok kembali terkait ada apa dengan sistem pendidikan kita selama ini.?
Kebijakan pendidikan saat ini yang cenderung pada persoalan kognitif jelas gagal mengubah peserta didik menjadi manusia berbudi luhur dan beradab. Demikian pula pola pendidikan yang hanya berfokus pada keterampilan cenderung menghasilkan individu yang pragmatis dan tidak tanggap terhadap lingkungan.
Ada hal yang mendasar yang perlu kita pikirkan kembali. Mungkin pendidikan kita selama ini memamg demikian sehingga mengabaikan konsep adab. Teori kebaikan senagtisa tersampaikan, bahkan menjadi motto dan slogan yang diiklankan di berbagai tempat. Namun kita miskin dari suri tauladan dan contoh langsung.
Dalam pendidikan, hal yang paling fundamnetal dalam pengajaran adalah contoh yang baik yang langsung dari kehidupan. Seribu teori hampa tanpa makna bila tidak ada aksi. Inilah yang mesti menjadi fokus utama dunia pendidikan kita, bagaimana menampilkan suri telaudana dan adab yang luhur dalam lingkungn pendidikan.
Aktualisasi Pendidikan Adab.
Adab memiliki makna kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti, serta menempatkan sesuatu pada tempatnya. Segala makna ini tentu tidak boleh hanya berhenti di ranah pengetahuan dan hafalan. Namun mesti daktualkan dan dimasifkan dalam kehidupan prilaku.
Adab guru ke murid. Hal yang mendasar perlu dipahami seorang guru bahwa dengan mengajarkan ilmu merupakan sesuatu perbuatan yang sangat mulia. Ilmu yang baik akan menghasilkan kebaikan. Bagi guru yang beradab dia paham betul bahwa setiap ilmu yang diberikan ibarat dia sedang menanam kebaikan. Menanamkan kebaikan maka kelak akan memanen kebaikan pula. Namun sebaliknya ketika dia menanam sebuah keburukan maka juga yang akan dipanen adalah keburukan.
Konsep adab mesti berbasis ilahiyah, karena adab sebenarnya itu tidak lepas dari hubungan antara fikriyah dan batiniyah. Jadi guru yang beradab tentu tidak lepas dari nilai ilahiyah transedental bahwa dengan memberikan pengajaran akan berdampak pahala kebaikan untuk dirinya. Makin banyak pengajaran kebaikan yang diberikan, maka akan banyak pahala keberkahan yang diperoleh.
Guru yang sadar dengan ini, maka akan sulit untuk melakukan tindak kekerasan kepada anak didiknya. Justru yang di berikan adalah kasih sayang, perhatian, pengertian, kelemah lembutan, kerahiman, dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.
Guru yang mendidik dengan semangat adab, ketika mengajar tidak hanya mentransfer of knowledge tapi juga akan mentransfer of value. Tidak serta merta bagaimana menjadikan anak hanya cerdas dalam intelektual, namun sentuhannya mampu menjadikan peserta didik juga cerdas secara emosinal dan spiritual.
Begitupun adab murid kepada guru, hal ini juga perlu ditanamkan kepada anak didik kita, bahwa adab seorang murid kepada guru ini menjadi sebuah hal yang penting untuk mendapatkan ilmu yang barokah. Keberkahan ilmu dari guru akan memiliki efek dahsyat untuk masa depan mereka. Begitu banyak orang pintar, namun karena ilmunya tidak barokah, akhirnya kepintaranya justru tidak memapu mengantarkannya mencapai kesuksesan.
Sebuah musibah bagi orang yang berilmu namun tidak memiliki adab. Efeknya hanya digunakan untuk kemungkaran. Begitu banyak kejahatan terjadi bukan karena dilakukan oleh orang bodoh, namun justru pelakunya adalah orang pintar. Penipuan yang berkedok bantuan, kejahatan dunia maya, mereka para pelakunya adalah orang-orang hebat, pintar secara intelektual namun dia miskin secara adab.
Masalah terbesar di negara kita adalah tingginya angka korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan pemangku kepentingan di negeri ini. Pertanyaanya adalah, apakah mereka semua orang yang bodoh secara intelektual? Jawabnya pasti tidak. Mereka adalah orang-orang cerdas, pinter bahkan gelarnya mentereng. Ada yang sarjana, magister, doktor bahkan tidak kurang juga yang guru besar bergelar profesor. Namun segala kecerdasannya tidak dibarengi dengan pendidikan adab, yang mampu mengarahkanya menjadi manusia yang hanif.
Peserta didik yang dalam dirinya telah ditanamkan pendidikan adab, maka yang hadir adalah para murid yang memiliki prilaku penuh dengan kesopanan, penghargaan, penyayang serta penuh cinta kasih. Jauh dari prilaku dan tindak kekerasan, bullying dan prilaku perundungan lainnya.
Akhirnya Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dan yang baru diluncurkan melalui ”Merdeka Belajar Episode 25” pada Agustus 2023 akan lebih masif dan terlaksana dengan baik apabila ditopang oleh pendidikan adab pada setiap satuan pendidikan. (*)