CATATAN masa lalu dan hingga kini tak lepas dari cerita tentang penemuan-penemuan baru. Hal yang kerap dinilai menjadi penanda akan munculnya aktivitas, perilaku, kebudayaan, tatanan atau sampai kepada lahirnya era baru.
Oleh :
Wahyudi Iswar
(Analis Kebijakan Muda Diskominfo Sulbar)
Tidak sedikit yang berdampak signifikan kepada para pemimpin, komunitas, masyarakat, negara, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Dengan itu, mengatakan penemuan baru adalah salah satu faktor terjadinya perubahan sosial bukanlah suatu hal yang ahistoris.
Penemuan baru selalu relevan dibicangkan oleh seiring meningkat dan kompleksnya kebutuhan serta masalah yang dihadapi manusia. Salah satunya terkait ruang pertukaran sosial, ekonomi dan politik kita semakin diwarnai dengan eskalasi persaingan yang meninggi dan dinamis. Pemerintah, masyarakat dan swasta akhirnya seolah terus “dipaksa” untuk selalu meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya agar tidak tergilas arus kompetisi.
Di kekinian, penemuan baru dikenal dengan nama inovasi. Istilah dari bahasa latin, innovate yang berarti berubahnya sesuatu menjadi baru. Kata inovasi (innovation dan innovate) sendiri awal mulai dikenal sebagai kosakata bahasa Inggris pada abad ke-16 dan lebih diasosiasikan secara negatif. Identik dengan aroma revolusi atau perubahan radikal, terutama terhadap kemapanan sosial politik kala itu. Penguasa serta otoritas keagamaan akhirnya cenderung menolak segala hal yang berbau inovasi.
Hingga suatu waktu, pengertian inovasi lalu bergeser menjadi makna yang lebih positif. Menemukan pengertian modernnya seperti yang termaktub dalam Oxford English Dictionary edisi tahun 1939 yaitu “the act of introducing a new product into market” (pengenalan produk atau jasa baru ke pasar). Setelah itu, kata ini berangsur mulai digunakan di kalangan luas, baik di ruang praksis maupun akademik. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, sudah pernah ada digunakan sebagai salah satu jualan politik para politisi menjelang proses pemilihan.
Di periode 1990-an, ketika reformasi pemerintahan mengalami pembelokan arah atau paradigma menuju birokrasi yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi pelanggan, digerakan oleh misi, dan desentralisasi (reinventing government). Inovasi semakin mendapat tempat oleh gaungan para pendukung gerakan reformasi atau perubahan paradigma.
Telah terkonfirmasi, bahwa kini di Korea, konsep inovasi bahkan telah “menggantikan” konsep reformasi. Lalu, keberhasilan praktek inovasi sebagaimana di Korea menunjukkan hal yang sama pada penerapannya di kanada (Robertson and Ball, 2002).
Sementara di China, inovasi telah dianggap sebagai bagian dari tradisi (Shenkar, 2006). Situasi yang sangat mendukung bagi tumbuh berkembangnya ekonomi dan teknologi China dewasa ini. Eviden dari penerapan inovasi yang tersebut diatas, menunjukan manfaat atau nilai inovasi menjadi penting untuk mencapai perubahan yang dinginkan.
Dari berbagai literatur yang ada, terdapat beragam pengertian, persfektif dan aspek penekanan dari para pakar. Salah satu gambaran menyatakan bahwa inovasi adalah kegiatan yang meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang yang sifatnya baru. Uraian yang mengarahkan kita ke pandangan inovasi sebagai sebuah kegiatan (proses) penemuan (invention). Ada pula pihak yang menyebutkan inovasi sebagai “new ideas that work”. Ngertian ini berhubungan erat dengan konsep ide-ide baru yang bermanfaat. Sebunyi dengan bahwa inovasi itu tidak akan berarti apa-apa bila tak diikuti dengan nilai kemanfaatan dari kehadirannya. Ia harus menghasilkan perbaikan yang signifikan dan dirasakan khalayak.
Sifat mendasar dari inovasi adalah ke”baru”annya (novelty). Berdimensi luas. Dapat merupakan sesuatu yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Sehingga memaknai inovasi sebagai yang hanya identik dengan teknologi saja akan jadi menyempitkan konteksnya yang sesungguhnya. Ihwal pentingnya inovasi dalam arus tantangan persaingan terutama di sektor privat (bisnis) relevan dengan survey yang dilakukan majalah Fortune pada tahun 2000. Survei dilakukan pada perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia dengan menanyakan hal yang paling penting dalam organisasi untuk bertahan. Hasilnya, tidak lain dan yang utama adalah inovasi.
Dalam perjalanannya, konsep inovasi dikembangkan pula oleh para ilmuwan dan peneliti bidang administrasi publik sebagai instrumen alternatif dan strategis dalam menghadapi persoalan- persoalan di sektor publik yang semakin kompleks. Pembahasan inovasi oleh para ahli semakin merekah ditandai dengan pengembangan konsep knowledge management (manajemen pengetahuan) untuk membentuk kompetensi utama (core competence) suatu organisasi dalam berinovasi (Senge, 1990; Muluk, 2008). Berpijak pada pentingnya menemukan, memproduksi, menshare dan memanfaatkan pengetahuan untuk inovasi.
Bagi sektor bisnis, berinovasi adalah gerak untuk bertahan (survival). Tanpa inovasi berarti bunuh diri. Konsumen, pelanggan atau pengguna layanan kabur dan berpindah ke kompetitor. Begitulah sehingga pada awalnya, konsep inovasi sebagai basis keunggulan sebuah organisasi dalam menghadapi persaingan memang lebih dulu dan sudah berkembang lebih awal di sektor bisnis dibandongkan di sektor publik.
Di Indonesia, pelayaran inovasi nasional berangkat dari dari terbitnya UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang pada intinya menyampaikan bahwa dukungan penguatan inovasi diperlukan untuk memperkuat perekonomian domestik dan daya saing global. Selanjutnya, untuk menjamin pelaksanaan dan keberlangsungannya, inovasi mesti dijalankan dalam suatu sistem.
Pelaku, kelembagaan, hubungan interaksi dan proses produktif menjadi bagian dari sistem yang mempengaruhi arah perkembangan, kecepatan dan difusi dari suatu inovasi. Di tingkat daerah dikenal dengan istilah sistem inovasi daerah (SIDa) yang merupakan bagian integral dari sistem inovasi nasional (SINas).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2O14 tentang Pemerintahan Daerah, inovasi didefinisikan sebagai semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Lalu diterjemahkan lebih detail dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 Tentang Inovasi Daerah. Disebutkan bahwa, tujuannya inovasi di daerah adalah untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, melalui: Peningkatan Pelayanan Publik; Pemberdayaan dan peran serta masyarakat; dan Peningkatan daya saing Daerah. Dapat diwujudkan dalam bentuk: Inovasi tata kelola Pemerintahan Daerah meliputi penataan tata laksana internal dalam pelaksanaan fungsi manajemen dan pengelolaan unsur manajemen. Inovasi Pelayanan Publik meliputi proses pemberian laporan barang/jasa publik, serta inovasi jenis dan bentuk barang/jasa publik. Dan Inovasi Daerah lainya, merupakan segala bentuk inovasi dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Di kurun waktu beberapa tahun terakhir, pelaksanaan inovasi daerah di Indonesia mulai berbuah dengan tingkat keberhasilan yang berbeda beda. Hal itu terjadi karena untuk mengimplementasikan praktek dan budaya inovasi memang tidak mudah. Keberhasilan yang bervariasi juga disebabkan karena daerah memiliki kesiapan daya dukung dan daya tampung yang variatif. Beberapa daerah bahkan belum melakukan langkah berarti.
Menuju Praktek dan Budaya Inovasi
Membangun inovasi di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat (Pemprov Sulbar), sepertinya bisa disederhanakan dengan pertanyaan, bagaimana treatmen Pemprov Sulbar terhadap faktor penghambat dan pendukung terwujudnya praktek inovasi, budaya inovasi serta inovasi pelayanan. Dan, seperti apa faktor yang turut berpengaruh terhadap laju inovasi diintervensi.
Namun sebelum menuju ke pertanyaan ini, ada satu hal menarik yang dapat menjadi preseden baik bagi pembangunan inovasi di Sulbar. Apalah itu? Beberapa bulan lalu, Pj Gubernur Sulbar, Prof Zudan Arif Fakrulloh telah menginstruksikan kepada jajarannya bahwa untuk di waktu mendatang, semua eselon III Pemprov Sulbar harus dapat merancang satu inovasi yang sesuai ruang lingkup tugas dan fungsinya. Istilah kerennya, “one eselon III one innovation”. Seruan Pj Gubernur ini ditafsir sejumlah ASN sebagai seolah sebagai pencanangan sebuah “Gerakan”. Menarik karena sangat startegis sekaligus juga menjadi tantangan, mengingat praktek dan budaya inovasi di Pemprov Sulbar masih dinilai belum optimal oleh sejumlah pihak.
Banyak peneliti yang telah menganalisis faktor-faktor pendorong inovasi di sektor publik. Mereka umumnya berkesimpulan bahwa seorang pemimpin (leader) dianggap masih merupakan faktor yang paling krusial dalam meningkatkan inovasi. Survey yang dilakukan oleh Yoshida dkk. (2014) di Cina dan Indonesia ditemukan bukti bahwa pemimpin yang berfilosifi melayani (servant leaderhsip), ternyata mampu meningkatkan kreativitas karyawan dan invoasi tim. Sebaliknya, di Amerika dan Jepang, Osborn dan Marion (2009) menemukan bahwa pencapaian inovasi yang rendah justru terjadi ketika kepemimpinan dalam organisasi bersifat transformasional, berbeda dengan yang ada di Jerman, Engelen dkk (2014) justru menemukan bahwa di bawah kepemimpinan transformasional, karyawan justru menunjukkan kreativitas yang lebih. Sehingga dapat disimpulkan, apapun itu jenis kepemimpinannya, seorang pemimpin menjadi kunci utama inovasi pada sebuah organisasi.
One esellon III one innovation menjadi penegas bahwa di Pemprov Sulbar, aspek kepemimpinan di level tertinggi sudah memperlihatkan hal yang positif. Pj Sulbar telah menunjukkan attension, orientasi dan visi terkait kondisi atau situasi apa yang diharapkan di masa datang terkait inovasi.
Hal ini semakin dikuatkan dengan kepemimpinan Sekprov Sulbar Muhammad Idris yang selalu menyampaikan harapannya agar setiap ASN Sulbar dapat berubah menjadi ASN yang berminset inovasi dan digital. Pj Gubernur dan Sekprov Sulbar dinilai telah menjadi inspirasi untuk menggerakkan inovasi adalah menjadi modal penting untuk perbaikan kinerja Pemprov Sulbar.
Jika kapasitas kepemimpinan dalam hal pimpinan tertinggi sudah menunjukkan hal yang positif maka selanjutnya juga perlu untuk memperhatikan unsur kapasitas inovasi pemerintah daerah lainnya seperti : kapasitas aparatur pelaksana program, anggaran, jaringan inovasi pemerintahan, baik internal maupun eksternal organisasi pemerintahan dan kapasitas regulasi tentang program inovasi urusan pelayanan publik. Bisa pula dengan mencermati 22 indikator inovasi dan 13 indikator satuan perangkat daerah (SPD) yang digunakan untuk mengukur indeks inovasi daerah.
Jumlah eselon III di Pemprov Sulbar tercatat sebanyak 208 orang, terdiri dari eselon IIIa 165 dan 43 orang eselon IIIb (Website BKD Sulbar). Dengan demikian, akan ada sebanyak 208 usulan inovasi yang bisa dinantikan pada tahun depan. Hal yang menjadi luar biasa bagi kinerja organisasi, mengingat sebuah inovasi organisasi pemerintah adalah merupakan proses dalam menciptakan, mengembangkan dan mengimplementasikan ide-ide baru yang dapat memberikan manfaat lebih baik seperti mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi, dan efektivitas kinerja dan pelayanan.
Inisiatif inovasi yang kelak diusulkan oleh penginisiatif dalam hal ini oleh ASN (eselon III) jika mengacu kepada regulasi, harus memuat paling tidak: bentuk Inovasi Daerah; rancang bangun Inovasi Daerah dan pokok perubahan yang akan dilakukan; tujuan Inovasi Daerah; manfaat yang diperoleh; waktu uji coba Inovasi Daerah; dan anggaran, jika diperlukan. Mengacu pada prinsip: a. peningkatan efisiensi; b. perbaikan efektivitas; c. perbaikan kualitas pelayanan; d. tidak ada konflik kepentingan; e. berorientasi kepada kepentingan umum; f. dilakukan secara terbuka; g. memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan h. dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri. Tiap usulan inisiatif inovasi akan melalui sejumlah tahapan yang cukup Panjang sebelum ditetapkan menjadi inovasi daerah. Mulai dari evaluasi kelayakan, uji coba hingga penilaian oleh kementerian.
Sebagai gerakan, one eselon III one innovation niscaya membutuhkan pelibatan seluruh kompenen good governance. Aksi kolaborasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha serta mitra pemerintah lainnya tentu menjadi syarat. Ditahap awal mungkin kita bisa tak harus berharap terlalu banyak. Sebagaimana sebuah ide perubahan, yang di fase awal selalu akan menjadi tahap pembangunan pondasi dan setelah clear baru akan dilanjutkan dengan percepatan pembangunan praktek dan budaya inovasi. Di awal, aksi tidak juga harus menggunakan standar, pedoman atau pendekatan sempura yang menjangkau semua. Pendekatan sederhana, mikro kontekstual ataupun parsial pun dapat dilakukan dalam menyusuri perjalanan pembangunan inonvasi daerah Sulbar.
Breakthrough one eselon III one innovation oleh Pj Gubernur, bagaimana pun meletakkan harapan dan menjadi cemeti bagi penerapan dan percepatan praktek dan budaya inovasi di lingkup Pemprov Sulbar. Bukan hanya dalam konteks untuk menghadapi penilaian kementerian soal nilai Indkes Inovasi daerah yang digelar setiap tahunnya tetapi terutama pula untuk memetik manfaat inovasi yaitu: kesejahteraan masyarakat, peningkatan layanan dan daya saing daerah. Sukses Inovasi Pemprov Sulbar. Salam. (*)