Dinamika dan Tindakan Kolaborasi, “Pelajaran dari Penanganan 4+1 di Sulbar”

  • Bagikan
Wahyudi Iswar

KATA kolaboratif sangat familiar bagi ASN. Menjadi satu dari tujuh nilai dasar ASN dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Kata ini sering mengemuka di ruang diskusi non formal maupun pertemuan formal di Pemprov Sulbar.

Oleh :
Wahyudi Iswar
(Analis Kebijakan Muda Diskominfo Sulbar)

Yang cukup unik, kerap kali masih saja ada menyembul amatan personal dengan suara pelan ataupun lantang yang menyerukan : “Kolaborasi itu gampang diucapkan namun nyatanya sulit dilaksanakan”. Adakah keliru dari ujaran ini?

Kolaborasi kembali mengemuka pada apel virtual koordinasi Pemprov Sulbar Senin, 23 Oktober 2023. Sekretaris Provinsi Sulbar, DR. Muh. Idris saat menyampaikan amanah tentang “Keluar dari Stigma Kabupaten ke Tujuh: Terapkan Continues Improvement”. Sekprov mengurai bagaimana continues improvement sebagai pendekatan post modern administrasi publik menjadi jembatan untuk keluar dari masalah itu. Sekprov juga menyebutkan bahwa stigma itu muncul dipermukaan salah satunya oleh masih lemahnya kolaborasi.

Konsep yang juga terkait dengan kolaborasi adalah collaborative governance yang mengemuka pasca paradigma governance. Governance (Government, Private Sector, Civil Society) dirancang dan digunakan oleh negara-negara maju sekitar tahun 1980-an seiring dengan wacana dan praktek demokratisasi yang semakin maju serta respon atas efek  globalisasi.

Selanjutnya, konsep governance terbagi menjadi beberapa varian. Selain collaborative yang menonjolkan karakteristik proses kerjasama di antara actor, ada pula : good governance dengan penekanan pada prinsip-prinsip governance yang baik, network governance yang menunjukkan jejaring yang harus dijalin untuk mewujudkan governance, partnership governance  dengan keharusan kemitraan jangka panjang, New Public Governance yang memberikan penekanan  kritik New Public Management (NPM), dan sound governance  yang mengkritik bahkan membantah konsep good governance.

Munculnya collaborative governance dilatari kesadaran bahwa pemerintah atau satu badan publik tidak dapat mengandalkan hanya dengan kapasitas internal yang dimiliki. Ada keterbatasan, baik anggaran, sumber daya maupun kapasitas manajemen serta yang lainnya. Sementara, kolaborasi sendiri berasal dari kata co’labour yang berarti bekerja bersama. Muncul lebih dulu ketimbang istilah governance. Tepatnya sudah digunakan di abad ke 19 ketika industrialisasi berkembang yang menyebabkan meningkatnya pembagian kerja dan struktur organisasi. Dari sini, upaya yang dilakukan sejumlah aktor (individu atau organisasi) untuk mencapai tujuan bersama disebut dengan kolaborasi.

Proses kolaboratif dapat dilihat dengan sejauh bagaimana komponen kolaborasi bekerja. Yakni penggerakan prinsip bersama atau prinsip prinsip keterlibatan (Principled engagement), motivasi bersama (shared motivation) dan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama (capacity for joint action). Tiga hal ini sering disebut sebagai komponen dinamika kolaborasi. Dua komponen lainnya: tindakan-tindakan kolaborasi; dampak sementara serta adaptasi sementara dari proses kolaborasi.

Prinsip bersama dalam organisasi kepemerintahan mungkin sudah dapat diperoleh dari panduan perilaku kolaboratif sebagaimana yang ada dalam nilai nilai BerAKHLAK.  Panduan Perilaku itu yakni:  Memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk berkontribusi; Terbuka dalam bekerja sama untuk menghasilkan nilai tambah; Menggerakkan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk tujuan bersama. Panduan perilaku ini secara substantif dapat dijadikan panduan perilaku organisasi untuk melaksanakan kerja kerja kolaboratif lintas OPD dan unit kerja.

Upaya kolaborasi dapat dipahami sebagai implementasi paradigma New Publik Servis (NPS) dalam administrasi publik. Sebuah paradigma yang sedikit agak berbeda dengan penerapan konsep yang lebih dulu ada, New Publik Manajemen (NPM). Salah satu perbedaaan itu, NPM bersemangat pada penerapan manajemen sektor privat (bisnis) ke pemerintahan maka penerapannya lebih berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Sementara NPS lebih pada orientasi kualitas pelayanan publik. Berbeda?, iya. Tapi pada dasarnya kepuasaan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas pelayanan dan kualitas layanan dilakukakan untuk memenuhi pengguna layanan. Dalam sistem kerja birokrasi, kolaborasi menjadi lebih semakin potensial oleh adanya penyederhanan birokrasi. Penyederhanaan struktur, penyederhanaan jabatan dan penyesuaian sistem kerja menjadi jembatan menuju kerja kolaborasi yang lebih baik.

AKSI KOLABORATIF PENANGANAN 4+1

Proses kolabaratif juga ditentukan dengan isu yang akan ditangani. Semakin general suatu isu masalah semakin banyak pihak yang berpotensi dapat terlibat. Proses kolaborasi pada penangan 4+1 sangat didukung oleh karakter isu yang mana bersifat general, nyata dan sangat mendasar karena terkait pembangunan manusia .

Diluar soal isu, adalah penting untuk memperhatikan komponen-komponen kolaborasi. Untuk hal ini dapat ditemukan banyak model, kerangka atau teori bagaimana proses kolaborasi dapat terbangun. Ada yang membagi komponen itu  menjadi : Kondisi awal; Komponen Proses; Struktur dan Tata Kelola; Kontingensi dan Kendala; Hasil dan Akuntabilitas. Ada pula yang mengelompokkan komponen proses kolaborasi dengan:  1) dinamika kolaborasi, 2) tindakan-tindakan kolaborasi, dan 3) dampak sementara serta adaptasi sementara dari proses kolaborasi. Pendekatan lain dengan komponen : Starting Condition, institutional Design, Facilitatife Leadership dan proses kolaborasi

Memulai aksi kolabari, di awal awal, Pj Gubenur Sulbar, Prof. DR Zudan Arif Fakrulloh banyak melakukan silaturahmi dan kunjungan kerja, termasuk ke pemkab se Sulbar. Sebagai sebuah langkah penggerakan prinsip bersama atau prinsip prinsip keterlibatan (principled engagement) melalui dialog face to face dengan sejumlah aktor yang diharapkan terlibat. Mengartikulasikan kepentingan pemprov untuk penyelesaian masalah, menyampaikan profil masalah bersama yang dihadapi sekaligus mengapa hal itu urgen untuk ditangani sehingga dapat sepantasnya menjadi tujuan bersama.

Kolaborasi adalah consensus- oriented, maka dialogue face to face Pj Gubernur adalah juga fase peleburan masalah dalam berkomunikasi yang nantinya akan berpengaruh pada kepercayaan, tingkat perhatian, pemahaman dan persepsi yang sama, serta komitmen terhadap proses kolaborasi itu sendiri. Wal hasil, Pemkab mengartikulasikan kesiapannya mendukung pelaksanaan kegiatan penanganan 4+1 di kabupaten. 

Selain pemkab dilakukan pula pertemuan face to face dengan calon aktor kolabarasi lainnya. Pj Gubernur melakukan kunjungan ke kementerian, instansi vertical di Sulbar, forum pimpinan daerah, perguruan tinggi, perbankan, lembaga mahasiswa, ormas kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi profesi, swasta, umkm. Intinya, ingin membangun kesepahaman/pengertian bersama (share meaning) atau dalam bahasa Pj Gubernur, chemestri dan satu frekuensi dalam proses penanganan.

Kolaborasi 4+1 pun menunjukkan adanya proses atau ruang demokrasi delibratif. Menjadikan kolaborasi sebagai wadah untuk mengembangkan inovasi dan kreasi, baik dalam memunculkan ide, maupun dalam menghadapi praktek kegiatan kolaborasi di lapangan, yakni apabila ditemukan permasalahan tak terduga, maka setiap aktor dapat bertindak kreatif. Satu contoh ruang deliberatif itu adalah: di beberapa pertemuan dengan perguruan tinggi, Pj Gubernur selalu mengajak perguruan tinggi untuk berkolaborasi terutama dalam implementasi inovasi atau metode yang efektif yang berasal dari kampus. Contah lainnya, deliberative juga ditunjukkan dengan kesiapan pemprov melakukan analisis atas setiap saran dan keluhan masyarakat atas pelaksanaan program.

Setelah prinsip keterlibatan bersama, komponen berikutnya adalah motivasi bersama (shared motivation). Motivasi bersama sebagai siklus penguatan diri yang terdiri dari empat elemen saling menguntungkan diantaranya : kepercayaan bersama (mutual trust), pemahaman bersama, legitimasi internal, dan komitmen. Terbangunnya kepercayaan dan kesepahaman bersamalah yang akan mendorong terwujudnya legitimasi internal. Legitimasi internal, pemahaman bersama, dan kepercayaan bersama merupakan tiga elemen yang saling terkait erat satu sama lain dan menjadi faktor pemicu lahirnya komitmen.

Komitmen pada proses kolaborasi mampu menghilangkan penghambat yang seringkali muncul karena perbedaan karakteristik dan kepentingan antar aktor. Legitimasi dan komitmen aksi kolaborasi 4+1 tercermin dengan penetapan 4 masalah pembangunan manusia : kemiskinan ekstrem, stunting, anak putus sekolah, pernikahan dini dan + inflasi menjadi satu dari 8 program prioritas Pemprov Sulbar.

Kolaborasi butuh terciptanya mutual understanding sebagai kondisi sesama actor saling mengerti dan menghargai posisi dan kepentingan  aktor lain bahkan ketika aktor tersebut tidak sependapat. Mendorong penguatan fungsi fungsi pemerintah provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat dalam bentuk pembinaan, dan pengawasan, monev dan supervise, penyelarasan maupun koordinasi teknis terhadap pemkab adalah salah satu upaya mutual understanding. Selain itu, penting pula dibangun shared understanding berupa kondisi dimana semua stakeholders menyetujui tujuan-tujuan dan nilai- nilai yang telah disepakati bersama. Dalam hal PJ Gubernur dan Sekprov selalu menekankan agar OPD Pemprov dapat lebih memperkuat sinergi dengan pemkab.

Hal ketiga terkait komponen penggerakan keterlibatan bersama adalah determinasi. Berupa  determinasi primer dan substantif. Primer seperti keputusan keputusan procedural diwujudkan dengan penentuan model keterlibatan semua OPD Pemprov untuk melakukan tindakan konkrit dalam mengatasi 4+1, menjadwalkan diskusi atau pertemuan rutin bersama dan membentuk satuan tugas, menentukan aturan dasar, menyusun agenda dan mengorganisasikan sub-sub kelompok (posyandu dll). Tidak hanya prosedur tetapi juga determinasi substantif seperti pencapaian kesepakatan bersama (melalui Mou) dan rekomendasi tindakan kolaborasi (penyaluran bantuan, pasar murah, membangun sistem informasi data dll).

Determinasi primer diwujudkan keputusan gubernur nomor 296 tahun 2023 tertanggal 2 Juli 2023. Dalam keputusan ditetapkan lima OPD yang bertugas sebagai koordinator penanggulangan  kemiskinan ekstrim, penurunan stunting, anak tidak sekolah, pernikahan dini dan inflasi. Ditentukan pula OPD Pemprov dan Kabupaten penanggung jawab wilayah. Melakukan evaluasi dan pelaporan. Untuk selanjutnya tindakan kolaborasi menjadi tugas dan fungsi tim satgas penangan 4+1.

Dalam kerangka membangun sense of belonging masalah yang dihadapi, Pj Gubernur tak hentinya mengajak kepada PNS baik pemprov, pemkab, instansi vertical, anggota DPRD dan aktor lainnya agar dapat menjadi bapak asuh anak stunting. Kepemilikan masalah secara bersama juga dilakukan dengan pengumpulan data secara bersama. Pengumpulan data bersama dan bisa jadi ada penemuan fakta baru dapat memperkuat rasa keterlibatan semua pihak.

Hasil sementara telah diperoleh. “Small wins” yang telah diperoleh  diantaranya, angka stunting yang menjadi target sasaran satgas adalah 16.377. Hingga minggu II Agustus 2023,  telah diintervensi 9.085 anak stunting yang mana 1.054 anak keluar dari status stunting. Inflasi Sulbar juga berhasil ditekan dan tetap berada di bawah angka nasional. Per November Sulbar peringkat tiga inflasi terendah se Indonesia dengan angka 1,19. Demikian pula small wiins lainnya yang tidak dapat disebutkan di ruang ini. Selain sebagai evaluasi kinerja. Identifikasi “small-wins” akan berdampak pada kompenen motivasi.

Setelah kondisi awal kolaborasi dengan membangun dinamika dan motivasi hal selanjutnya adalah tentang komponen kapasitas untuk melakukan tindakan kolaboratif. Dibawah kepemimpin Pj dan Sekprov Sulbar, 4 komponen kapasitas tindakan kolaboratif yakni prosedur dan kesepakatan institusi, kepemimpinan, pengetahuan dan sumber daya terus dibangun selama tahapan kolaborasi.

Pj Gubernur telah mengimbau dan mengajak Pemkab dan juga Pemprov untuk melakukan revolusi APBD. Dapat dipandang sebagai Sebuah babak baru proses kolaborasi . Perencanaan ABPD 2024 diharapkan dapat lebih fokus kepada persoalan indek Pembangunan manusia. Sehingga, tahun 2024 kelak, dinamika: (penggerakan prinsip keterlibatan bersama, motivasi dan Pembangunan kapasitas tindakan kolaboratif), tindakan-tindakan kolaborasi, dan dampak sementara serta adaptasi sementara dari proses kolaborasi akan bergerak terus bergerak dinamis dan saling mempengaruhi kembali terulang.

Aksi belum selesai. Masalah dan target belum sepenuhnya dipenuhi. Per hari ini kolaborasi telah sampai pada tahap proses penyusunan petunjuk pelaksanaan (juklak) oleh masing masing OPD penanggung jawab. Melalui juklak dan rencana tahun 2024, tentu semua kita berharap persoalan masalah Pembangunan manusia dan inflasi bisa lebih menunjukkan hasil optimal. Aksi belum selesai. Masih diperlukan keterlibatan yang lebih, baik kualitas maupun kuantitas untuk hasil yang lebih maksimal. Tapi diluar hal itu, aksi kolaborasi yang dipimpin oleh Pj Gubernur sebagai pembina dan Sekprov Sulbar sebagai salah satu pengarah satgas telah memberikan pelajaran penting terkait aksi atau praktek Colllaboratif Governance. Sangat berarti. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version