PAGI masih gelap. Selepas subuh perempuan lansia (lanjut usia) itu meninggalkan rumahnya lalu berjalan kaki berkilo-kilo meter sambil memanggul sebuah bale-bale bambu. Bale-bale itu belasan kilogram beratnya, terpaksa dipikul karena kebutuhan hidup bersama keluarga.
Oleh:
M. Danial
Bale-bale disebut barum-barung dalam bahasa Mandar. Perempuan penjual barum-barang itu bernama Sinar, beralamat Kampung Tallas, Desa Samasundu, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar. Berjalan kaki menjajakan barum-barung sudah beberapa tahun dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab saling bantu dengan suaminya yang sakit-sakitan. Siwaliparri.
Perempuan 70 tahun itu menyebut harga barum-barungnya tergantung ukuran. Yang berukuran sederhana dan umum diminati pembeli 1 x 1,5 meter Rp170.000/unit.
“(Ukuran) seperti ini yang disukai pembeli selama ini (harganya) Rp170 ribu,” jelas Sinar, menunjuk barum-barung yang dijajakan. Sinar memanggulnya sampai daerah Karama, Kecamatan Tinambung, sekira enam sampai tujuh kilometer dari rumahnya di Tallas.
“Biarpun jauh saya jalan, sampai ada pembeli. Kalau dibilang berat, tidak kuat, harus berjalan kaki cukup jauh, ya begitulah. Tapi apa boleh buat sudah seperti inilah kami harus menjalani hidup,” tutur Sinar, menyemangati diri saat diajak berbincang, Rabu 8 November pagi.
Selain ke wilayah Karama, Sinar kerap menyusuri jarak yang lebih jauh sampai Pambusuang, Kecamatan Balanipa. Ia tidak berpikir jarak yang jauh sampai jualannya laku. Kalau rezekinya sedang seret alias tidak ada yang membeli, maka barangnya dibawa kembali. Kerap juga dititip di rumah orang. Kalau jualannya laku, Sinar pulang menumpang bentor (becak motor).
Pekerjaan membikin dan menjual barum-barung sudah bertahun-tahun dilakukan Sinar bersama suaminya. Namun sejak suaminya sakit-sakitan dan hanya bisa bekerja di rumah, ia mengambil alih pekerjaan menjajakan barum-barung. Sang suami yang bekerja membikin barum-barang, namun tetap dibantu Sinar. Termasuk mencari bambu yang merupakan bahan baku pembuatan barum-barung.
Pembuatan satu barum-barung biasanya dua sampai tiga hari. Mulai dari mencari bahan baku (bambu) dengan berjalan kaki ke dalam hutan yang jaraknya tiga sampai empat kilometer. Itupun menYusri jalan terjal dan menyeberangi sungai. Pembuatan satu buah barum-barung membutuhkan tiga batang bambu yang dibeli Rp15.000 sampai Rp20.000. Harus membeli juga rotan pengikat Rp10.000.
Pembuatan barum-barung sepintas sederhana. Alias tidak sulit. Namun tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan bisa dibilang tidak mudah dan berisiko. Prosesnya mulai membelah bambu, lalu dipotong-potong sesuai kebutuhan dan dibersihkan. Pekerjaan itu harus sangat hati-hati agar tangan tidak terkena sayatan parang maupun pinggiran bambu yang tajam.
Perjalanan Sinar memanggul barum-barung berulang kali harus diselingi istirahat. Kondisi fisik dan usianya membuat ayunan langkahnya sering terseok-seok, sehingga berulangkali harus berhenti memulihkan tenaga.
Saya mengikuti perjalanan Sinar memanggul barum-barung, Rabu pagi. Ia beberapa kali berhenti memulihkan tenaga, dan mengalihkan bebannya di pundaknya dari sebelah kanan ke kiri atau sebaliknya. Semata hanya itu. Duduk di atas barum-barung sambil memulihkan tenaga dan mengatur nafas. Sekedar meringankan beban sambil menyeka keringat dengan sarung yang melilit di lehernya.
Sinar terlihat gembira ketika disodori sebotol air mineral. Sekedar untuk membasahi kerongkongan. Ia tidak terlihat membawa bekal makanan atau sebotol air minum.
“Terima kasih,” ucapnya singkat lalu menenggak habis. Setelah itu dengan gesit mengangkat kembali barum-barung ke pundaknya. Melanjutkan perjalanan memanggul beban yang berat itu, sebagaimana tantangan hidup yang dihadapi sebagai tulang punggung keluarga. (*)