Resistensi Adalah Konsekuensi, “Implementasi One Eseleon III One Innovation”

  • Bagikan
Wahyudi Iswar

RENCANA perubahan di setiap OPD lingkup Pemprov Sulbar telah menggelinding. Pekan inovasi dalam rangka implementasi Kebijakan “One Eseleon III One Innovation” mulai berjalan. Zoom meting dengan agenda utama pemaparan rencana inovasi oleh tiga sampai lima innovator bakal terus digelar setiap  pekan.

Oleh :
Wahyudi Iswar
(Analis Kebijakan Muda Diskominfo Sulbar)

Menggelitnya rencana inovasi di OPD juga berarti bahwa akan terdapat banyak proses dan tahapan pembuatan keputusan innovation. Lalu, Bagaimana perubahan terencana itu bisa terwujud? Sebuah catatan : apabila faktor faktor pendukung lebih kuat dari pada faktor-faktor penghambat.

Semangat gerakan perubahan melalui “One Eseleon III One Innovation”  secara umum dapat dipandang sebagai perubahan yang lebih bersifat direktif. Ada tantangannya tersendiri. Membuat kita melakukan hal- hal baru diluar kebiasaan selama ini. Meski perubahan mengarahkan ke menjadi lebih baik, namun tetap saja, ketidaknyamanan itu bisa terjadi.

Salah satu yang ternyata mencuat di awal Gerakan One Eselon III One Innovation adalah soal resitensi. Yang berpengertian : sikap atau tindakan yang tidak menerima, menentang, menampik, atau menghalau suatu tekanan/perintah/anjuran yang datang dari luar. Katakanlah suara wacana mempertimbangkan resistensi ini sebagai “bisikan perhatian dan kepedulian”. Pesan baiknya: bahwa perubahan harus terencana baik, efektif tapi memiliki tantangan.

Resistensi dapat berakar dari banyak sumber. Kebanyakan apa yang dinamakan “resisten”, itu karena atas dasar perbedaan informasi, persepsi yang berbeda, perbedaan kebutuhan, perbedaan kepercayaan, impak sistem dan proses informal. Hal yang dapat menguatkan agen perubahan dalam menghadapi resistensi adalah bahwa setiap orang pada hakikatnya menginginkan perubahan, Manusia maupun organisasi pasti menginginkan kearah yang lebih baik. Namun terkadang hal itu dilihat dengan cara berbeda. Sehingga dengan begitu resisten bukan berarti perubahan tidak harus dilakukan tetapi resisten itu adalah konsekuensi..

Mengenali adanya resistensi atau penolakan dari pemangku kepentingan adalah hal yang penting untuk perubahan yang efektif. Ada penolakan secara aktif atau terbuka. Keberatan atau ketidak setujuan terhadap perubahan dinyatakan secara terbuka atau langsung. Ada pula secara pasif. Biasanya muncul berupa simptom-simptom tertentu, seperti sering tidak hadir dalam rapat, tidak berpartisipasi dalam rapat, tidak memenuhi komitmen, produktivitas kerja menurun. Resistensi dapat terjadi di semua level dalam organisasi.

John Kotter mengajukan empat penyebab resistensi terhadap sebuah perubahan organisasi: (1) Kepentingan pribadi parochial (wikepedia : Parokialisme adalah pola pikir yang membuat seseorang berfokus pada bagian-bagian kecil dari suatu permasalahan dibandingkan mempertimbangkan konteksnya yang lebih luas.) (2) Kesalahpahaman dan kekurangan kepercayaan, (3) Perhitungan konsekuensi yang berbeda, (4) Toleransi yang rendah pada perubahan.

Resistensi juga potensi terjadi karena faktor lingkungan internal. Dalam organisasi masing masing memiliki kespesifikan fungsi yang dalam pengambilan keputusannya tentu  relevan dengan lingkungan spesifikasi tugasnya. Boleh jadi akan terjadi irisan atau kompetisi terkait pengambilan keputusan antar bagian yang memiliki spesifikasi tugas jika perubahan diwujudkan. Sehingga tindakan mengantisipasi perubahan-perubahan mungkin akan terjadi.

Per hari ini, telah tertanam pola yang membentuk semantapan suatu system atau prosedur dalam organisasi. Hal yang menimbulkan kelembaman (kecenderungan untuk menolak) perubahan. Pola hubungan kekuasaan dan kewenangan yang menghasilkan suatu priveleges (hak) bagi seseorang tentu juga akan menjadi faktor pemicu penolakan. Nilai berupa praktek pemberian hak privelegs dari sebuah kekuasaan dan kewenangan telah lama berlangsung dan membudaya. Sementara perubahan sering diikuti redistribusi kewenangan dan pengambilan keputusan.

Faktor lain adalah soal tujuan dan nilai. Inovasi berangkat atau dapat saja menyebabkan perubahan tujuan dan nilai. Perubahan dalam nilai-nilai akan hal yang dianggap baik dan didambakan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam tujuan-tujuan. Namun perbedaan soal nilai dan tujuan yang dianggap baik atau pantas,  tentu berpotensi berbeda. Sementara dari segi teknikal, perubahan menuntut dukungan kapasitas SDM. Perubahan hal teknis seperti dalam digitalisasi memaksa setiap ASN harus menjadi ASN digital yang beberapa orang mungkin tak bisa memenuhinya.

Terkadang perubahan oleh Inovasi menyebabkan perubahan structural atau satu sub sistem  struktural.  Rencana perubahan dapat mendesain cara-cara berbeda untuk membagi pekerjaan dan atau diciptakannya cara cara baru untuk melaksanakan kegiatan pengoordinasian, agar suatu organisasi yang ada, dapat menjadi lebih efektif, serta lebih efisien. Perubahan demikian dapat menimbulkan dampak pada seluruh system yang bisa menjadi faktor sebuah penolakan.

Dari sisi orientasi fungsional, bagian bagian organisasi memiliki karakter, tujuan pola operasi tersendiri yang sering menjadi faktor sulit untuk mempersamakan persepsi dan visi. Kelompok kelompok kerja formal maupun informal memiliki norma tersendiri yang jika berseberangan dengan inovasi tentu akan menjadi hambatan tersendiri. Kelompok dengan kohevisitas tinggi tidak akan nyaman dengan kemungkinan kemungkinan dari suatu perubahan.

Hal yang lain adalah faktor pemimpin atau manajerial. Dari beberapa prinsip manajemen perubahan suatu organisasi, salah satu poin yang utama adalah  “Dimulai dari Tingkatan Paling Atas”. Perubahan tidak akan berhasil tanpa keterlibatan pimpinan tertinggi. Komitmen dan partisipasi aktif dari pimpinan tertinggi adalah sebuah keharusan untuk mencapai tujuan perubahan. Olehnya yang paling penting juga adalah innovator mesti menggapai situasi tanpa resistensi atasan dan harus mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan atas.

Perlu ditekankan dalil bahwa sang pimpinan merupakan figure sentral dalam perubahan. Perubahan dapat timbul karena adanya penyesuaian penyesuaian dalam perilaku kepemimpinan, gaya kepemimpinan, pendekatan terhadap perencanaan dan kontrol atau tingkat partisipasi dalam pengambil keputusan. Sebagai pembuat keputusan, Ia adalah seorang agen perubahan utama dan sesungguhnya. Terlepas dari apakah terlibat secara sentral, atau sekadar hanya mengoordinasi kegiatan pengkoordinasian.

Diawal proses perubahan, memang terkadang juga ditandai dengan pesimisme. Ketika pesisme mencuat, sang innovator bisa menganggapnya sebagai suatu kondisi yang sudah diperkirakan dan normal terjadi dalam sebuah proses perubahan. Dan bila nantinya hasil perubahan yang terjadi mengarah kepada para pesimisme, maka anggaplah sebagai bagian dari resiko yang memang diperhitungkan dan tindakan perbaikan baru akan segera ditempuh.

Beberapa literatur mengulas tentang bagaimana Ketika menjumpai  resistensi. Misalnya saja sebuah referensi menyebutkan dengan : 1. Edukasi dan komunikasi 2. Partisipasi 3. Fasilitasi dan dukungan 4. Manipulasi dan kooptasi 5. Memilih orang-orang yang menerima perubahan 6. Koersi.

Ada pula pandangan mengatasi resistensi melalui : a. Mengkomunikasikan alasan-alasan rasional atas keputusan  melaksanakan inovasi; b. Melibatkan pihak yang resisten dalam proses perubahan dan proses pengambilan keputusan; c. Memfasilitasi dan memberikan dukungan melalui asistensi, pelatihan, dan sebagainya; d. Memaksa pihak yang resisten atau menolak untuk menerima perubahan, dan apabila diperlukan diberikan sanksi. Cara ini adalah hal terakhir dilakukan bila cara lain tidak berhasil.

Saran menghadapi resestensi juga ada yang dalam bentuk : a. Jangan berfokus pada resistensi atau penolakan ketika itu belum menjadi masalah; b. Fokus untuk melihat bahwa perubahan ini bisa terus berjalan; c. Berlakulah normal ketika resistensi dan penolakan terjadi; d. Fokus apa yang sudah dicapai saat ini; e. Lakukan terus apa yang telah berjalan dengan baik.

Demikianlah resistensi yang juga menjadi bagian dari manajemen perubahan. Namun terlepas dalam implementasi Gerakan One Eselon III One Innovation akan melahirkan resistensi. Gerakan ini telah menghasilkan situasi perangkat daerah yang dipenuhi tahapan tahapan manajemen perubahan. Mulai dari innovator merumuskan rencana perubahan lalu setelah itu dilanjutkan pelaksanaan atau pengelolaaan perubahan dan memperkuat hasil perubahan. Proses atau suasana seperti ini tidak hanya terasa oleh eselon III tetapi resonansi juga sampai kepada banyak ASN. Di seluruh OPD. Hal yang dapat membawa pemprov sebagai organisasi yang innovative di waktu waktu mendatang. Selamat menikmati hari. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version