LEGISLATOR dan Pemprov Sulbar sebaiknya tidak buru-buru menyambut gembira pengusulan Kabupaten Mamuju untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth Element (REE). Apalagi sampai berkesimpulan dini bahwa itu akan mensejahterakan masyarakat Mamuju, terutama pemukim di kawasan WIUP.
Oleh:
Jasman Rantedoda
(Jurnalis)
Sebaiknya, rencana Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut disambut dengan dialog, memperhatikan sejumlah hal. Terutama menjamin dan melindungi masyarakat lokal dari ketimpangan investasi dan ketidakadilan lingkungan.
Hal tersebut penting sebab keadilan selalu menjadi bagian dari Undang-Undang (UU) lingkungan hidup, entah sebagai tujuan maupun prinsip. UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup juga dengan tegas memuat prinsip keadilan.
Proyek pertambangan apa pun, selalu menghadirkan potensi distribusi risiko yang tidak sedikit seperti polusi, kerusakan lingkungan, tercemarnya sumber-sumber air bersih, ancaman ruang hidup masyarakat lokal dan sebagainya
Demikian halnya Tambang LTJ dengan luas WIUP LTJ yang diusulkan, diperkirakan mencapai 9.252 hektare. Wilayah seluas itu akan berakibat pada perombakan bentang alam. Tidak hanya akan berakibat pada rusaknya lingkungan hidup, melainkan juga akan berdampak pada rusaknya tata produksi dan konsumsi warga lokal. Lebih mengkhawatirkan lagi sebab usulan WIUP LTJ itu merupakan usulan yang pertama kali, di Indonesia.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasiona, hingga saat ini belum ada teknologi pengelolaan pembuangan limbah tambang yang aman terhadap kerusakan tanah dan tata air. Baik berupa waste-dump (kolam tailing), maupun submarine tailing disposal (STD) atau pembuangan tailing bawah laut.
Dengan realitas tersebut, masyarakat Mamuju patut bertanya-tanya, untuk kepentingan siapa tambang LTJ jika keselamtan warga diabaikan. Atau sah-sah saja –sebagai warga lokal– kita curiga bahwa pemerintah hanya berpihak pada investasi yang hadir untuk mengancam kelangsungan hidup warga Mamuju.
Bisa saja yang terjadi justru perusakan atau penghancuran ruang hidup yang memiskinkan warga setempat, bukan kesejahteraan sebagaimana yang kerap diiming-imingi.
Tiga Hal Mendasar
Menurut praktisi hukum lingkungan Sulbar, Dr. Rahmat Idrus, setidaknya ada tiga hal penting dan mendasar yang harus diperhatikan pemerintah terkait rencana usulan WIUP LTJ tersebut, pertama data Sumber Daya Manusia (SDM) lokal di Mamuju atau Sulbar yang ahli dibidang investasi yang sedang direncanakan.
Kedua, analisis reguasi. Apakah masyarakat sudah diproteksi melalui alas-alas hak terhadap tanahnya dan apakah penetapan WIUP LTJ tidak berbenturan dengan regulasi lain seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Perda Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan Perda tentang Rencana Energi Daerah.
“Termasuk masyarakat adat. Ada tiga yang pokok pada masyarakat adat, yaitu hutan adat, lembaga adat, dan hukum adat,” ujar Dr. Rahmat, saat dalam diskusi lepas dengan penulis, di salah satu warkop di Mamuju, Kamis malam 1 Februari.
Jika hal-hal mendasar seperti itu belum diselesaikan, jangan berharap banyak terhadap kesejahteraan yang kerap disebut-sebut bakal berdampak langsung kepada masyarakat lokal.
“Alas hak itu sangat berkaitan dengan ganti untung atau ganti rugi lahan nantinya. Jadi jangan gegabah soal LTJ ini, harus dibuka ruang-ruang dialog dengan melibatkan masyarakat yang akan terdampak langsung,” jelas Dr. Rahmat.
Berkaca pada keadaan yang hampir terjadi di seluruh dunia, antara pengerukan Sumber Daya Alam (SDA) atau pertamabangan yang melibatkan investor dan kepentingan masyarakt lokal, hampir tidak pernah bertemu. Justru yang kerap terjadi, di mana ada investasi tambang, di situ ada ketimpangan dan ketidakadilan.
Maka tidak ada kekuatan yang bisa mebendung jika tidak diproteksi lebih awal. Karena itu, efektivitas regulasi yang berkaitan dengan proteksi terhadap terjadinya eksploitasi lingkungan secara ugal-ugalan, perlu didorong lebih dini.
“Kita berharap NGO (Non-Governmental Organization, red) yang konsen pada bidang lingkungan menyuarakan itu. Kelemahan kita di Sulbar, tidak ada NGO yang konsen pada lingkungan. Tidak seperti di Sulawesi Tengah dan Selatan, di sana ada Greenpeace, Walhi dan Kontras,” bebernya.
Dialog Sebagai Solusi
Jika tambang LTJ memang baik dan bisa menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Mamuju, pemerintah –Pemprov Sulbar– seharusnya tidak ragu membuka ruang dialog.
Ruang partisipasi masyarakat lokal tidak boleh direduksi, terutama dalam pengambilan keputusan. Mereduksi hak partisipasi warga lokal tidak tepat dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk menghadirkan rasa keadilan.
Keadilan lingkungan sangat berkaitan dengan keadilan prosedural, pengambilan keputusan yang komunikatif sebab berjalin kelindan dengan keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
Pemerintah tidak boleh alergi terhadap kritik, sebab kritik adalah kontrol dan pemerintah harus mencermati setiap kritik. Kita berharap kritik itu melahirkan diskursus yang kondusif dan partisipatif bagi masyarakat lokal, terkait pengerukan bumi yang bukan hanya merupakan tempatnya berumah dan bermain.
Manusia sebagai makhluk biologis dan ekologis sangat bergantung pada lingkungan hidup, sehingga harus melihatnya sebagai sesuatu yang inheren dengan dirinya, bagian dari ekosistem universal, menjaganya bukan pilihan tetapi kewajiban.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Sebagai catatan penutup, mari kita lihat kembali konferensi Stockholm 5-16 Juni 1972. Dari sana embrio sustainable development atau pembangunan berkelanjutan itu lahir. Itu adalah konferensi pertama PBB terkait lingkungan hidup manusia atau United Nations Conference on the Human Environment.
Semangat dari pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Menekankan adanya triangulasi aspek pertumbuhan eknomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan secara setara.
Kian hari, pembangunan yang semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi kian terbukti menjadi malapetaka jika keadilan sosial dan lingkungan di ketepikan. Terlebih jika lingkungan dan sumber daya alam sekadar dipandang sebagai objek eksploitasi demi mengejar fantasi kemajuan.
Kemajuan dan kesejahteraan macama apa yang hendak dicapai jika harus ditebus dengan kematian karena dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan?
Karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya antisipasi, termasuk kehati-hatian dan langkah-langkah untuk mengantisipasi ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, olehnya berhak dilibatkan dalam setiap program/kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan hidup. (*)