APA benang merah antara peristiwa-peristiwa nun jauh di selatan di pesisir Teluk Mandar dengan di pedalaman Ulumandaq? Di mana posisi Ulumandaq di konfederasi Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga? Ada hubungan antara Passokkorang dengan Ulumandaq?
Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin
Pertanyaan-pertanyaan di atas membuat saya penasaran, yang juga menjadi motivasi untuk melakukan perjalanan menggunakan sepeda aau jalan kaki di pedalaman Ulumandaq Februari 2024 ini. Saya datang langsung ke Ulumandaq untuk mem-”baca”-nya, membandingkan bacaan dari buku, yang harus diakui, buku yang membicarakan tentang Ulumandaq amatlah sedikit.
“Adaq Tuho di Ulunna Salu, adaq mate di Baqbana Binanga,” demikian salah satu isi perjanjian di Luyo, yang dikenal dengan istilah “Allabungang Batu di Luyo”.
Merupakan perjanjian atau kesepakatan antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga di wilaha Kerajaan Passokorang yang ditaklukkan oleh Kerajaan Balanipa di bawah kepemimpinan Tomepayung, raja kedua Balanipa.
Makna dari poin pertama ikrar tersebut di atas adalah kalau seseorang yang melanggar adat kebiasaan di Ulunna Salu seharusnya dibunuh tetapi dapat diganti dengan hewan seperti kerbau dan sebagainya, atau barang-barang lainnya, sedangkan di Baqbana Binanga harus mendapat hukuman mati.
“Adaq mate” (adat/hukum mati) dan “Adaq tuo/tuho” (adat/hukum hidup) adalah dua macam hukum yang berlaku dalam masyarakat lama di kerajaan-kerajaan di Pitu Baqbana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.
Menurut Muis Mandra dalam buku “Kerajaan Sendana” (2001) menjabarkan tentang perbedaan antara “adaq mate” dengan “ada tuo/tuho”, juga konsep yang ada pada “adaq tuo/tuho”.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Muis Mandra menulis bahwa “adaq mate” dipakai untuk menghukum siapa saja yang melanggar aturan adat/hukum sampai pada pelanggaran tingkat tertinggi atau pada tingkat tertentu, maka sah saja diberlakukan hukuman mati/bunuh. Ada hukuman mati dalam masyarakat yang berpedoman pada adaq mate ‘adat/hukum mati’. Adaq mate berlaku dalam Kerajaan Balanipa, Kerajaan Banggae, Kerajaan Pamboang, dan Kerajaan Binuang. Keempat kerajaan berada di Pitu Baqbana Binanga.
Adapun “Adaq tuo/tuho” adalah adat atau hukum dasar dahulu yang dipakai menghukum siapa saja yang melanggar aturan adat/hukum sampai pada pelanggaran tingkat tertinggi pun, hukuman dijatuhkan tidak mencapai hukuman mati/bunuh. Yang bersangkutan dihukum seberat apa pun tidak sampai pada tingkat eksekusi mati. Tidak ada hukuman mati dalam masyarakat yang berpedoman pada adaq tuho ‘adat/hukum hidup’. Si pelanggar hanya dihukum denda dan sanksi sosial lainnya. Adaq tuo/tuho berlaku di Kerajaan Sendana, Kerajaan Tappalang, Kerajaan Mamuju (ketiga kerajaan berada di Pitu Baqbana Binanga), dan dalam kerajaan-kerajaan di Pitu Ulunna Salu.
Konsep pokok adaq tuo/tuho berbunyi sebagai berikut: “Nibatta bittiq tau” (Diparang kaki manusia) – “Tappa di bittiq tedong” (Tiba di kaki kerbau) – “Nibatta bittiq tedong” (Diparang kaki kerbau) – “Tappa di bittiq bahi” (Tiba di kaki babi) – “Nibatta bittiq bahi” (Diparang kaki babi) – “Tappa di bittiq manuq” (Tiba di kaki ayam) – “Nibatta bittiq manuq” (Diparang kaki ayam) – “Tappa di paqbarang-barangang” (Tiba pada sembarang harta).
Menurut Harmegi, pranata “adaq tuho” yang ada di Pitu Ulunna Salu diterapkan di Ulumandaq (yang dari segi kewilayah masuk Kerajaan Sendana, yang menerapkan hadat “adaq mate”) oleh Marrakkasa Tomatindo di Tandeallo.
“Tomakaka inilah yang berjasa mengatur dan menetapkan kelembagaan-kelembagaan adat secara sempurna yang sampai hari ini masih utuh. Revolusi kebudayaan yang diprakarsi oleh Marrakkasa dapat ditandai dengan ditetapkannya nilai-nilai dan ukuran “sorong” dalam pernikahan (passorongang), kematian (panda tomate) dan lain-lain,” tulis Harmegi.
Ada pesan terkenal di masyarakat Ulumanda, yang dibacakan oleh Irfan (Penggiat Budaya) dalam video klip “Warisan Ada’ Tuho Ulumanda” (lagu Festival Ada’ Tuho Ulumanda 2023),“moaq muitami balimbunganna adaq tuhoko tammate mapia takkadakeq.”
Oleh Harmegi dalam tulisannya pesan tersebut diterjemahkan, “Apabila melihat rumah pemangku adaq tuho maka kematian akan menjadi kehidupan dan keburukan akan menjadi kebaikan. Pemaknaan rumah (balimbunganna adaq) diartikan sebagai tanah atau wilayah. Karena itu berada dalam tanah wilayah adaq tuho maka seseorang harus terjaga hak hidupnya.” (*) bersambung.