Bertanya ke anak-anak muda Sulawesi Barat “Tahu apa itu Passokkorang?”, saya bisa pastikan ada dua yang dominan jawabannya: “Perusahaan yang banyak buat jalan di Sulawesi Barat” dan “Tidak tahu”.
Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin
Passokkorang adalah nama kerajaan, juga pe-Tomakaka-an, paling terkenal di Mandar sebelum abad ke-15. Pusat kerajaan ini terdapat di Mambu, Kecamatan Luyo dan sekitarnya (seperti Mapilli). Banyak yang tidak tahu bahwa lokasi Allabungang Batu di Luyo itu dilangsungkan di episentrum Kerajaan Passokkorang.
Saya beberapa kali ke situs Passokkorang, yang di situ sering ditemukan artefak-artefak masa lalu. Seperti keramik Cina yang diduga berasal dari abad ke-12 atau 13 Masehi. Ada yang utuh, ada yang pecahan-pecahan. Juga keris kecil yang dalam ensiklopedi tentang keris Jawa dipercaya sebagai jimat.
“Dulu waktu lokasi ini digarap untuk ditanami sawit dan saat dibuat jalan cor, itu para operator eskavator sering temukan benda-benda kuno. Dulu juga sering ke sini pencari “poling”,” kata petani yang tinggal di sekitar situs. “Poling” adalah istilah di Mandar untuk menyebut ‘harta karun’ atau benda kuno yang biasanya terpendam di dalam tanah. Kadang, lokasi “poling” didapat dari sebuah mimpi.
“Di Mandar kami bergabung dengan Horst Liebner yang terlibat dalam
proyek untuk meneliti sejarah awal Mandar. Bersama-sama kami
mengunjungi situs bukit Passakorang di Polewali Mandar, beberapa kilometer di sebelah barat Sungai Mapili. Passakorang adalah pusat kerajaan yang menguasai jalur perdagangan yang menuju keluar dari pegunungan utara. Itu ditaklukkan pada akhir abad keenam belas oleh tetangga baratnya, Balanipa,” tulis Ian Caldwell, arkeolog barat dalam jurnal Oxis.
Adakah hubungan Passokkorang dengan Ulumandaq?
“… berangkatlah mereka menuju hutan digiring oleh ayahnya. I Muttia menyandang sarungnya yang berisi batu-batu berwarna putih. Setelah
berjalan sehari-semalam, didepannya sudah terbentang Buttu Tondongkobiq, Buttu Tammejarra dan Buttu Tammengundur. Muali saat itu I Muttia menjatuhkan batu-batu … Tiga hari dan tiga malam mereka berjalan, selesailah ketiga gunung itu ditempuh. Mereka mulai menurun ke negeri Sepang, Palece, Petoosang, Allu kemudian menyeberang ke negeri Renggeang terus ke Tande, Baruga dan melintas melalui Abaga selanjutnya menuju ke hulu Sungai Bonehau. Sesudah beristirahat di Buttu Sandapan, mereka meneruskan perjalanannya ke negeri Sikendeng dan mereka mengakhiri perjalanannya di negeri Ulumandaq”, demikian kutipan dari buku I Muttia. I Muttia adalah tokoh cerita rakyat yang berlatar masa Passokkorang.
Berikut sinopsisnya. I Mutia berarti ‘Si Mustika’. Dia bungsu dari tujuh bersaudara semuanya laki-laki. Putra dari I Pongkasiasi ‘Si Miskin’. Menderita sejak kecil bersama orang tua dan saudara-saudaranya, sampai mereka dibuang ke tengah hutan belantara oleh bapaknya. Hal yang sangat menyakitkan hati dan pikirannya dan isterinya. Terpaksa dilakukannya atas perintah Raja Jin sebagai janji untuk keluar dari penderitaan kemiskinan mereka. Setelah mengalami beberapa rintangan, siksaan yang sangat berat, akhirnya memperoleh kesaktian. Dibebaskannya keenam saudaranya dari tahanan raksasa dan dikalahkannya Raja Raksasa yang angkara murka. Membangun kekuatan dan kerajaan di Padangkalauaq berbatasan dengan Kerajaan Passokorang yang terkenal. Sangat menghormati dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Kawin dengan Puteri Tomakaka Passokkorang bernama I Bittoeng Sambua-bua ‘Si Bintang Tunggal’.
Cuplikan di atas adalah rute perjalanan I Pongkasiasi bersama anak-anaknya, dalam“Ceritera I Muttia di Passokkorang Litaq Mandar” (1980), buku yang ditulis oleh M. T. Azis Syah berdasar tradisi lisan cerita rakyat di Passokkorang. Nah di situ ada disebut Ulumandaq. (*)
Bersambung …