BADUNG, SULBAR EXPRESS – World Water Forum atau WWF menjadi pertemuan internasional terbesar yang membahas dan merumuskan kebijakan mengenai tata kelola air dan sanitasi dunia.
WWF merupakan forum air global yang diadakan setiap 3 tahun sekali untuk membahas isu-isu krusial terkait air, seperti konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam.
Pada tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah World Water Forum Ke-10 yang diselenggarakan di Bali pada 18 — 25 Mei 2024 dengan tema “Air untuk Kemakmuran Bersama” (Water for Shared Prosperity).
Selain itu, terdapat enam sub-tema utama pada forum tersebut, yakni ketahanan dan kesejahteraan air; air untuk manusia dan alam; pengurangan dan pengelolaan risiko bencana; tata kelola, kerja sama, dan diplomasi air (hydro-diplomacy); pembiayaan air berkelanjutan; dan pengetahuan dan inovasi.
Dana Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (UNICEF) menyebut tema “Air untuk Kesejahteraan Bersama” yang diusung Indonesia pada WW 2024 sejalan dengan tujuannya yang tercakup dalam beberapa fokus, antara lain, fokus dalam kebutuhan anak-anak.
Tema kesejahteraan bersama telah sejalan dengan tujuan UNICEF untuk memastikan bahwa semua anak memiliki akses untuk memperoleh kebutuhan dasar, termasuk air bersih.
Selain itu, tema yang diusung Indonesia itu pun sejalan dengan tema Hari Air Sedunia tahun ini, yakni “Air untuk Perdamaian” (Water for Peace), yang mendorong negara-negara di dunia untuk bekerja sama di bidang air guna menciptakan efek riak yang positif – menumbuhkan keharmonisan, menghasilkan kemakmuran, dan membangun ketahanan terhadap tantangan bersama.
Untuk itu, tidak heran bila Pemerintah Indonesia terus memajukan upaya hydro-diplomacy melalui penyelenggaraan WWF tahun ini.
Hydro-diplomacy adalah pendekatan diplomasi yang berfokus pada isu-isu terkait air dengan mengedepankan dialog persuasif yang solutif, termasuk untuk merespons masalah manajemen sumber daya air, pemerataan distribusi air, dan mitigasi bencana terkait air.
Hydro-diplomacy juga berfokus pada kerja sama lintas batas dan pembiayaan yang saling memberikan manfaat terkait penggunaan air.
Sejauh ini dalam melakukan upaya hydro-diplomacy, termasuk melalui penyelenggaraan WFW Ke-10, Indonesia mendorong beberapa kerja sama konkret,antara lain, mendorong negara-negara untuk berbagi dan mengadopsi praktik terbaik dalam manajemen sumber daya air dan mitigasi bencana terkait air serta membangun kapasitas dalam hal pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan inklusif.
Selain itu, Indonesia pun mendorong investasi dan teknologi baru dalam pengelolaan air yang efisien dan berkelanjutan serta memperkuat kerja sama antarnegaradalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya target ke-6 terkait air dan sanitasi.
Untuk itu, menurut Kementerian Luar Negeri RI, WWF Ke-10 dapat menjadi platform bagi negara-negara untuk mempelajari cara Indonesia memenuhi target SDGs 2030.
Pada kenyataannya, hingga 2023, pemenuhan target SDGs Indonesia telah melampaui 60 persen, sementara pemenuhan target SDGs secara global pada tahun yang sama hanya mencapai 12 persen.
Oleh karena itu, penting bagi banyak negara –terutama sesama negara berkembang– untuk mempelajari cara Indonesia bisa mencapai target SDGs tersebut di tengah berbagai krisis yang dihadapi, kemudian menjalin kerja sama erat dan tak bersyarat agar semua negara dapat kembali ke jalur menuju pencapaian target SDGs.
Selanjutnya, tujuan dari hydrodiplomacy adalah membuat air menjadi elemen universal yang menyatukan dan mempromosikan perdamaian.
Terkait tujuan itu, Indonesia berusaha memfasilitasi dialog antarnegara/antarpemerintah dengan upaya berbagi ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengalaman terkait tata kelola sumber daya air.
Upaya hydrodiplomacy Indonesia tersebut tercermin saat Pemerintah RI memimpin proses politik penyusunan naskah deklarasi tingkat menteri yang diusulkan untuk WEF Ke-10, yang telah disepakati dan akan disahkan dalam forum internasional itu pada Selasa (21/5).
Dalam proses penyusunan naskah deklarasi itu terdapat perbedaan pandangan mendasar mengenai tata kelola air yang terjadi antara negara-negara yang mengendalikan hulu sungai dengan negara hilir. Hal tersebut terkait dengan tata kelola sungai yang melintasi beberapa negara.
Terlepas dari perbedaan pandangan itu, deklarasi tersebut berhasil disempurnakan menyusul tiga kali pertemuan antarnegara yang dilaksanakan di markas UNESCO di Paris, Prancis beberapa waktu lalu.
Indonesia memimpin ketiga pertemuan yang dihadiri lebih dari 100 anggota UNESCO dan organisasi internasional lainnya itu serta melakukan konsultasi dengan banyak negara dan organisasi untuk mengatasi perbedaan dan mencapai mufakat terkait isi deklarasi tersebut.
Selain itu, naskah deklarasi tersebut pun bersifat mempromosikan perdamaian karena memuat komitmen untuk menolak penyalahgunaan air untuk perang (weaponisation of water).
MenurutDirektur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu RI Tri Tharyat, meski komitmen penolakan eksploitasi air dalam perang tersebut hanya terdiri atas satu paragraf dari keseluruhan isi naskah deklarasi, Indonesia memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk menjamin bagian tersebut dapat diterima semua negara.
Indonesia mendekati secara bilateral negara-negara yang memiliki keprihatinan atas permasalahan tersebut demi mencapai konsensus atas komitmen tersebut.
Pencapaian komitmen itu tentunya sangat penting untuk mencegah air digunakan sebagai “alat perang”, yakni dengan mendorong semua negara yang sedang terlibat dalam konflik untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan air untuk kepentingan perang.
Deklarasi tingkat menteri tersebut juga mencakup empat usulan tindak lanjut seusai gelaran WWF Ke-10 di Bali, yaitu pembentukan centre of excellence untuk ketahanan air dan iklim, penetapan Hari Danau Sedunia, pengarusutamaan isu pengelolaan air untuk negara-negara berkembang di pulau-pulau kecil, serta pembentukan Compendium of Concrete Deliverables and Actions.
Kemudian, terkait fokus hydro-diplomacy pada pembiayaan yang saling memberikan manfaat terkait penggunaan air, Pemerintah Indonesia berupaya mendorong pembentukan Dana Air Global (Global Water Fund )untuk merespons ketimpangan anggaran dan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-6, yaitu pemenuhan akses air bersih dan sanitasi bagi semua.
Saat ini, terdapat 2,2 miliar orang di dunia yang tidak dapat mengakses air bersih.
Pembentukan Global Water Fund ini sangatlah penting sebagai langkah nyata untuk mengatasi masalah air dunia karena diproyeksikan dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur air, mitigasi krisis atau bencana terkait air, adaptasi perubahan iklim, serta mekanisme pemantauan.
Upaya hydro-diplomacy yang dilakukan Indonesia untuk mendorong pembentukan dana global itu sangat diperlukan untuk mendukung kepentingan negara-negara berkembang, termasuk negara-negara kepulauan Pasifik, terutama dalam hal pengembangan akses air bersih untuk kebutuhan manusia (water development).
Presiden Fiji, Wiliame Katonivere, dalam satu wawancara khusus dengan ANTARA, mengaku bahwa Fiji belum dapat melakukan water development sendiri karena keterbatasan kapasitas negara kepulauan Pasifik itu sehingga suatu sistem pendanaan global memang dibutuhkan.
“Kami tidak bisa mengembangkannya sendiri karena kemampuan kami terbatas, tetapi dengan adanya Dana Global Air dan kami punya keahliannya– kami punya orang-orang yang berpengalaman di bidang itu–, kami bisa mengatasi masalah air. Tidak hanya di Fiji, tetapi untuk negara pulau-pulau Pasifik lainnya,” ujar Katonivere.
Walaupun demikian, upaya Indonesia untuk mendorong pembentukan Dana Air Global tentunya bukanlah suatu proses yang singkat, namun membutuhkan waktu dan dukungan yang lebih lagi dari banyak negara, terutama negara-negara donor.
Saat ini pada ajang WWF Ke-10, soal Dana Air Global itu masih pada tahap diskusi untuk mengusulkan pendiriannya, yang melibatkan banyak pihak — tidak hanya pemerintah negara-negara –, namun juga organisasi internasional, salah satunya Bank Dunia.
Pada akhirnya, Indonesia berkomitmen untuk terus berperan aktif dalam mencari solusi bagi masalah air di tingkat regional maupun global.
Indonesia juga berharap melalui upaya hydro-diplomacy yang dilakukannya dapat semakin memperkuat kolaborasi antarnegara dan memajukan agenda air global untuk kesejahteraan bersama.
Akan tetapi, hydro-diplomacy bukan hanya tugas Indonesia sendiri, melainkan upaya diplomasi yang juga perlu dijalankan oleh semua negara di dunia demi mewujudkan impian “air untuk kesejahteraan bersama”.
Oleh: Yuni Arisandy Sinaga