JAKARTA, SULBAR EXPRESS – Generasi Z, generasi yang lahir pada era digital antara tahun 1997 hingga 2012, kini menjadi sorotan utama di tengah kondisi ketenagakerjaan yang mengkhawatirkan di Indonesia.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap fakta bahwa pada Agustus 2023, terdapat 9.896.019 orang Generasi Z yang tidak bekerja, tidak kuliah, ataupun mengikuti pelatihan (NEET – not in employment, education, and training). Angka ini setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia muda di Indonesia.
Fenomena tingginya angka pengangguran di kalangan Generasi Z di Indonesia menjadi sebuah paradoks dengan citra yang kerap digambarkan bahwa mereka adalah generasi yang asik, suka bertualang, dan menikmati hidup sesuai dengan gambaran survei urban dan media.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahkan menyatakan secara gamblang dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI bahwa terdapat ketidaksesuaian (miss-match) antara output dari pendidikan vokasi dengan kebutuhan pasar kerja.
Kondisi ini bertentangan dengan survei Randstad Workmonitor tahun 2022 yang mengungkap fakta bahwa 41 persen responden Generasi Z di wilayah Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika lebih memilih menganggur daripada terjebak dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia, menyoroti pergeseran perspektif Generasi Z yang cenderung lebih mengutamakan kepuasan kerja dibandingkan jaminan gaji atau stabilitas pekerjaan.
Di tengah kondisi ketenagakerjaan yang sudah cukup berat, Generasi Z juga harus menanggung beban sebagai bagian dari sandwich generation. Survei CNBC Indonesia pada tahun 2021 menyebutkan bahwa 48,7 persen masyarakat produktif, termasuk Generasi Z, adalah generasi sandwich yang harus menanggung biaya hidup sendiri, anak (jika sudah ada), dan orang tua dalam waktu bersamaan.
Kondisi ini bahkan mendorong Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, untuk mengingatkan para orangtua agar tidak melahirkan sandwich generation dengan meminta anak menyokong perekonomian orangtua.
Harapan Gen Z miliki rumah
Kebijakan baru pemerintah yaitu Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 justru menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, terutama buruh dan pekerja. Kebijakan Tapera mengharuskan pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5 persen ditambah iuran 0,5 persen dari pemberi kerja untuk menghimpun dana pembiayaan rumah murah.
Penolakan ini tidak hanya datang dari kalangan buruh dan pekerja, tetapi juga dari pengusaha yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap potongan gaji untuk Tapera karena pekerja sudah dibebani pungutan sebesar 18,24 -19,74 persen dari penghasilan mereka, seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan sosial kesehatan, dan cadangan pesangon.
Meskipun Pemerintah menyatakan bahwa Tapera bertujuan menghimpun dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan yang layak bagi peserta dengan asas gotong royong, kebijakan ini dinilai masih memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi biaya hidup yang terus meningkat.
Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama dari Fraksi PKS mencatat bahwa kebijakan Tapera perlu memperhatikan golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah namun tetap diwajibkan mengikuti program ini.
Suryadi mengusulkan agar kelas menengah dapat dibantu membeli properti produktif seperti ruko, berdasarkan penelitian LPEM FEB UI tahun 2023 yang menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi cenderung melupakan kelas menengah. Catatan ini mengindikasikan bahwa kebijakan Tapera dinilai kurang komprehensif dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat dari berbagai golongan ekonomi.
Meskipun data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I 2024 yang positif sebesar 5,11 persen dibandingkan Triwulan IV 2023 yang tumbuh 5,04 persen–di tengah pertumbuhan ekonomi tersebut– terdapat kompleksitas yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan kondisi ketenagakerjaan dan daya beli masyarakat, khususnya bagi Generasi Z yang mendominasi angka pengangguran.
Seyogyanya, Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan Tapera serta merumuskan strategi yang lebih komprehensif untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya Generasi Z, sehingga pertumbuhan ekonomi yang positif ini dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan Tapera ini dengan mempertimbangkan aspirasi dari berbagai pihak, terutama buruh, pekerja, dan kalangan pendidik. Kebijakan ini harus disesuaikan dengan kondisi riil yang dihadapi Generasi Z saat ini, serta memperhatikan golongan kelas menengah yang juga memiliki kebutuhan akan kepemilikan properti produktif.
Selain itu, perlu ada upaya bersama untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan pelatihan kerja agar keterampilan Generasi Z dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri. Perusahaan juga perlu menyediakan lingkungan kerja yang fleksibel, suportif, dan berorientasi pada pengembangan diri.
Hanya dengan mendengarkan suara rakyat, mengambil langkah bijak, dan melakukan sinergi antarpemangku kepentingan, Pemerintah dapat memastikan bahwa Generasi Z, sebagai generasi penerus bangsa, dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih cerah.
Selain itu, Pemerintah juga perlu memberikan perhatian khusus pada sektor pendidikan, terutama bagi guru swasta dan honorer yang menjadi tulang punggung pendidikan di Indonesia. Kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mereka sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mempersiapkan Generasi Z dengan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Tanpa perhatian khusus pada sektor pendidikan, upaya untuk menyesuaikan keterampilan Generasi Z dengan kebutuhan industri akan menjadi sia-sia.
Dengan mendengarkan suara dari berbagai pihak, terutama Generasi Z sendiri, Pemerintah dapat mengambil langkah yang tepat dalam mengatasi tantangan ketenagakerjaan dan perumahan yang dialami oleh generasi ini. Keseimbangan antara kebutuhan perumahan, daya beli, dan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja harus menjadi prioritas utama dalam upaya membangun masa depan yang lebih baik bagi Generasi Z dan generasi-generasi yang akan datang.
Potongan gaji untuk Tapera hanya akan menambah beban ekonomi yang cenderung memberatkan masyarakat, terutama bagi sebagian besar Generasi Z yang masih berada di level entry-level dengan penghasilan yang relatif belum stabil.
Oleh: Devi Utami Rika Safitri
(Peneliti Center of Human and Economic Development, ITB Ahmad Dahlan Jakarta)