SUAMI Naoemi Octarina, putra Ibu Andi Nurhadi Petta Bau dan suaminya Andi Baso Sulaiman Dahlan Petta Linta, bangsawan Bugis Bone itu tidak menjadi bagian dari perbincangan kalangan elit politik Sulsel pada awalnya.
Popularitasnya tidak sehebat kakaknya Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian RI, kabinet pertama Presiden Joko Widodo dan Wapres HM. Jusuf Kalla.
Bahkan saat saya masih aktif sebagai wartawan mingguan di era 1989-2000, dan kembali aktif 2003-2009, sebagai wartawan Harian Ujungpandang Ekspres, di bawah FAJAR grup, nama Andi Sudirman Sulaiman, juga tak banyak terdengar jadi perbincangan di kalangan politisi Sulsel.
Sampai pada suatu saat namanya disebut bakal mendampingi Prof. Nurdin Abdullah, sebagai calon wakil Gubernur Sulsel 2017-2018 lalu, barulah nama dan fotonya mulai ramai.
Di masjid kawasan Panakkukang Mas 2017, sholat Jumat baru saja usai, Sukriansyah Sultan Latief, kini menjabat staf khusus Wakil Presiden RI, KH. Ma’ruf Amin, terlihat bergegas memungut sepatu, kusapa beliau yang akrab dengan panggilan pak Uki.
Hubungan kami dekat karena pak Uki, adalah pimpinan kami di FAJAR media. Di samping pak Uki, berdiri seorang pemuda, berjanggut tipis berbusana hitam, terlihat agak trendy, mengapit tas kecil di ketiaknya. Pandangan kami bertemu, hanya senyum tipis, dan kami berpisah.
Setelah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, akhirnya kuketahui pria bersama pak Uki, saat bertemu di pelataran masjid itu adalah Andi Sudirman Sulaiman. Dari perbincangan banyak orang yang gemar bergosip politik, terutama di warung kopi, Andi Sudirman mulai menarik perhatian untuk diikuti rekam jejaknya sebagai pejabat tinggi di Sulsel. Cerita-cerita tentangnya kian menarik untuk didengarkan.
Mengapa menarik? Andi Sudirman, ternyata menyimpan magnet tersendiri. Sekalipun bukan politisi, tetapi keberadaannya di samping Gubernur Prof. Nurdin Abdullah, dalam tata kelola pemerintahan juga bongkar pasang pejabat eselon di Sulsel, Andi Sudirman bukan tipe wakil yang tidak memiliki ‘giat’ terbukti ada saja cerita tentang ‘tabrakan’ Surat Keputusan (SK), dan menyisakan cerita tentang bagi-bagi porsi kekuasaan, sebagai konsekuensi komitmen Pilkada, begitu analisis pengamat sembari menghirup kopi.
Cerita lain pernah saya peroleh dari seorang mahasiswi di kelas jurnalistik yang saya ampu. Andi Sudirman, ketika usai dilantik menjadi wakil gubernur, memiliki beberapa orang kawan diskusi dari kelompok wartawan milenial. Wartawan muda dan energik itu kerap ikut bersamanya dalam kegiatan resmi. Anehnya kata mahasiswi saya itu, “Pak Wagub tidak ingin diberitakan, persentuhannya yang menurut kami justru terlihat manusiawi, seperti melayani masyarakat yang ditemuinya menyampaikan aspirasi”. Beliau bukan tipe senang mencitrakan diri di media, seperti kebanyakan pejabat publik lainnya.
Mengapa Andi Sudirman Sulaiman, karena cerita yang saya dapatkan di lebaran Idul Adha kali ini seorang honorer Pemprov Sulsel yang telah mengabdi lebih dari 11-12 tahun, tiba-tiba menerima pemberhentian kerja tanpa pesangon sedikitpun dari atasannya. Setelah setahun luntang-lantung kebingungan mencari keadilan atas nasibnya, tiba-tiba seorang pegawai FAJAR media memberinya nomor Andi Sudirman Sulaiman. Ibarat pepatah “Pucuk dicinta ulam tiba”.
Mendapatkan nomor gubernur ibarat mendapat wangsit. Namun masalahnya kini apakah nyalinya cukup untuk menghubungi bapak gubernur, yang saat masih kerja jangankan bicara, menatap wajahnya saja bikin nyalinya kendor.
Tetapi nasib baik berpihak padanya, konon Gubernur Andi Sudirman Sulaiman, kerap membaca pesan pendek di ponselnya usai sholat subuh. Maka waktu itu dipakainya untuk mengutarakan kesusahan hatinya dipecat tanpa peringatan, dan saat pandemi Covid-19 sedang mengganas.
Hanya dalam 20 menit lebih Gubernur Sulsel, melalui orang dekatnya menelpon IMR. Kepada saya IMR bercerita betapa dirinya bersyukur kepada Allah SWT, telah mengirimkan kepada masyarakat pemimpin yang amanah dan punya hati nurani.
“Saya sedih sekaligus gembira, sekalipun yang menelpon bukan gubernur, tetapi cukuplah bukti bahwa beliau seorang yang amanah,” ujar IMR, dengan mata berkaca-kaca. Saya teringat kalimat,Kita memang memerlukan pemimpin yang bisa merasa, jangan yang hanya merasa bisa. Sudiang, 20 Juli 2021. (*)
(penulis: Zulkarnain Hamson)