MAMASA, SULBAR EXPRESS – Dialog Kebudayaan bersama calon kepala daerah (cakada) Kabupaten Mamasa yang di gelar Perkumpulan Pendidikan Agraria dan HAM (Paham) bersama Kemitraan dengan dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemedikbudristek), dihadiri tiga pasangan calon bupati/wakil bupati.
Dialog yang di gelar di Hotel Sajojo Mamasa, Kamis 12 September 2024, dengan menghadirkan lima pembicara terdiri dari Welem Sambolangi selaku Calon Bupati (Paslon Welem Sambolangi dan H. Sudirman), Andi Faridha Fachri Calon Wakil Bupati (Paslon Ruslan dan Andi Faridha Fachri), David Bambalayuk (calon wakil bupati yang berpasangan dengan Robinson Paul Tarru), Yasir Sani selaku Manager Program Kemitraan, dan Ketua Umum Penghayat Kepercayaan Ada’ Mappurondo Mamasa.
Ketiga paslon menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap penghayat kepercayaan Ada’ Mapurondo dan masyarakat adat.
Andi Faridha Fachri mengatakan, keberadaan kelompok-kelompok Masyarakat Adat di Kabupaten Mamasa merupakan realitas sosiologis dan antropologis yang tidak terbantahkan. Di Kabupaten Mamasa, keberadaan kelompok Masyarakat Adat ini dapat dilihat entitas Botto, Tonda’, Tondok, Lembang atau nama lain sebagai unit sosial Masyarakat Adat.
Entitas Botto, Tonda’, Tondok, Lembang atau nama lain hingga saat ini masih dapat ditemui seperti Botto Tabulahan, Botto Aralle, Botto Mambi, Botto Rante Bulahan, Botto Bambang, Tondok Sindaga Manik Parondo Bulawan dan lain sebagainya.
Menurut Faridha, keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Mamasa yang digabungkan dengan kenyataan serupa di wilayah yang lain merupakan sumber dari kekayaan budaya Indonesia, yaitu paduan dari seluruh kekayaan di tingkat komunitas yang potensial sebagai modal dasar perkembangan kebudayaan nasional Indonesia di segala bidang kehidupan.
Konsep-konsep pemerintahan asli di Mamasa, kearifan lokal dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam, dan tradisi-tradisi yang berkembang, disadari ataupun tidak telah memberikan sumbangan yang cukup besar pada perkembangan sosial, politik, ekonomi dan hukum di Indonesia
“Masyarakat Adat Pitu Ulunna Salu Kondosapata’ Wai Sapalelean beserta wilayah adatnya masing-masing harus ditetapkan melalui Keputusan Bupati,” ujarnya.
David Bambalayuk mengatakan, masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional yang penting dalam mengelola alam dan menjaga kelestarian lingkungan. Banyak kawasan hutan yang dijaga dengan baik oleh masyarakat adat, memberikan kontribusi dalam melawan perubahan iklim.
Ia menambahkan, pemerintah memiliki peran penting dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan penghayat kepercayaan Ma’purondo, meskipun masih banyak tantangan yang harus diatasi.
“Dengan kebijakan yang tepat dan komitmen yang kuat, masyarakat adat dan penghayat kepercayaan Mappurondo dapat terus berkembang dan memainkan peran penting dalam pelestarian budaya dan lingkungan,” jelasnya.
Welem Sambolagi sebagai pembicara ketiga menyatakan, sebagai bentuk komitmen dirinya bersama calon wakilnya telah memasukkan pemajuan kebudayaan dalam visi dan misinya yaitu meningkatkan solidaritas keumatan yang mandiri. Melestarikan nilai-nilai adat, budaya, dan kearifan lokal Mamasa.
“Melalui misi tersebut kami memprogramkan untuk pemberian insentif kepada pembina keumatan, termasuk kepada penghayat kepercayaan Ada’ Mappurondo,” ungkapnya.
Ketua Umum Penghayat Kepercayaan Ada’ Mappurondo mengatakan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengalaman budi yang luhur yang ajarannya yang berasal dari kearifan lokal bangsa.
“Salah satu akar masalah penghayat kepercayaaan itu dipandang kecil karena tidak mengetahui siapa penghayat kepercayaan, sehingga ada anggapan penghayat kepercayaan di Mamasa Ada Mappurondo itu penyembah berhala, kafir. Padahal penghayat kepercayaan itu juga bertakwa dan beribada kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tegasnya.
Sementara Yasi Sani mengatakan, stigma masyarakat adat sebagai kelompok primitif, identik dengan tidak beragama, terbelakang/bodoh, perusak lingkungan, tidak peduli terhadap hak perempuan dan anak, serta tukang santet, kondisi masyarakat adat tidak mendapatkan dari akses layanan dasar, karena keberadaan mereka sering dipertanyakan sebagai WNI yang tidak memiliki KTP, masyarakat adat juga seringkali terisolasi akibat perbedaaan nilai maupun cara pandang dengan masyarakat yang hidup disekitarnya, serta kondisi lokasi geografis yang mengalami keterpencilan.
Ia menambahkan, proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas, sehingga mereka yang marjinal dan mengalami prasangkadapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan. (*)