PASANGKAYU, SULBAR EXPRESS – Pemkab Pasangkayu melalui Forum Penataan Ruang, akan melakukan rapat lanjutan mengenai pembahasan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha (PKKPR) PT Letawa.
Seauai undangan yang beredar tertanggal 23 September 2024, Forum Penataan Ruang Pemkab Pasangkayu melayangkan undangan rapat.
Dalam undangan itu tertulis: “Berdasarkan hasil peninjauan lapangan pada 14 September 2024 dengan ini kami mengundang untuk melakukan rapat lanjutan pembahasan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha (PKKPR) PT Letawa yang akan dilaksanakan pada Hari/Tanggal: Rabu 25 September 2024, pukul 09.00 Wita sampai selesai, tempat: Ruang Rapat Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang”.
Beberapa pihak berkaitan dengan hal ini turut diundang, termasuk Kepala Desa Jengeng dan Kepala Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya, Kabupaten Pasnagkayu.
Terkait hal tersebut, Kepala Desa Lariang Firman mengaku tidak setuju forum itu akan diarahkan sebagai langkah untuk menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) baru untuk PT Letawa.
“Saya tidak setuju kalau mau dikasi terbit HGU baru. Nah pertanyaan, lahan yang mereka tanamami hampir tiga puluh tahun ini apa dasarnya? Dan lagian di kawasan itu kan warga saya ada. Yang pasti saya tisak setuju kalau mau diterbitkan HGU baru,” kata Firman, Selasa malam, 23 September 2024.
Sejurus juga disampaikan Kepala Desa Jengeng Kecamatan Tikke Raya, Abdul Rahim. Ia juga tegas menyatakan menolak jika akan diusulkan penerbitan HGU baru untuk PT Letawa di wilayanya.
“Nah, selama ini, sawit yang sudah 29 tahun ditanam perusahaan, apa dasarnya? Kenapa baru sekarang mau HGU. Pokoknya saya dan warga saya akan menentang itu,” kata Abdul Rahim.
Demikian halnya tokoh masyarakat Lariang, Yani Pepy. Ia mengatakan, dengan PT Letawa bermohon perijinan ijin lokasi, ini membuktikan bahwa objek yamg di mohonkan berada di luar HGU.
“Pertanyaannya, bagaimana dengan tanaman yang sudah berumur 29 tahun diduga tidak membayar pajak, karena dasar membayar pajak tidak ada. Dan tentunya sangat merugikan masyarakat daerah Kabupaten Pasangkayu,” kata Yani.
Ia menjelaskan, izin lokasi adalah dasar utk mendapatkan lokasi yang akan dijadikan HGU. Salah satu syarat dari izin lokasi adalah status lahannya harus jelas dan tidak bersengketa.
Jika dasar lahan yang diajukan adalah pelepasan kawasan hutan, perlu dilihat lagi sampai dimana batas pelepasan kawasannya, sejak kapan terbit pelepasan kawasannya. “Dan setau saya pelepasannya di berikan jangka waktu satu tahun harus ditingkatkan jadi HGU,” ungkap mantan Ketua Komisi I DPRD Pasangkayu ini.
Yang paling penting, lanjut Yani, objek tersebut tidak berstatus kawasan hutan melainkan Area Pengguaan Lain (APL). Artinya, tidak dapat dibenarkan jika dasarnya pelepasan kawasan hutan.
“Jika ada statmen menyatakan karena pelepasan kawasan hutan dari PT Letawa, sehingga menjadi APL, itu juga tidak benar. Karena sebelum terbit pelepasan kawasan hutan PT Letawa, objek tersebut sudah menjadi APL,” paparnya.
Ia berharap agar tim dari Pemkab Pasnagkayu harus lebih teliti dan berhati-hati.
“Ingat, izin lokasi adalah dasar dari pembuatan HGU. Jangan nantinya dikemudian hari saling melempar tanggung jawab,” ujarnya.
Mengingat wilayah Pemerintahan Kecamatan Tikke Raya masih membutuhkan wilayah untuk kesejahteraan dan pembangunan, maka sebaiknya objek yang berada di luar HGU diberikan saja kepada masyarakat, melalui pemdes untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Tikke Raya. Apalagi masyarakat juga sudah menguasai objek tersebut dengan menanam kelapa sawit dan membangun beberapa pondok. (*)