MAMUJU, SULBAR EXPRESS – Usai menjaring fakta lapangan, Ombudsman RI menggelar diskusi di Kantor Perwakilan Ombudsman Sulbar, Jumat pagi, 27 September 2024.
Ombudsman RI menghadirkan para jurnalis sebagai peserta diskusi. Dalam kesempatan ini, Robert Na Endi Jaweng selaku Pimpinan Ombudsman RI menyampaikan catatan setelah melaksanakan kunjungan kerja selama dua hari pada layanan di RSUD Pasangkayu dan RSUD Mamuju Tengah (Mateng).
Disampaikan Robert, saat di Pasangkayu dan Mateng, ia memantau kesiapan layanan kesehatan. Stidaknya terdapat tiga substansi yang menjadi fokus perhatian, diantaranya pada layanan Unit Gawat Darurat (UGD), Kefarmasian, dan persiapan pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Robert secara khusus menyampaikan apresiasi atas layanan kefarmasian di RSUD Pasangkayu.
“Kaitannya dengan obat yang tidak tersedia di RSUD maka pengguna layanan dapat memperolehnya melalui Apotek mitra RSUD tanpa perlu mengeluarkan dana talangan terlebih dahulu, hal tersebut merupakan inovasi layanan yang akan memudahkan para pengguna karena umumnya yang mengakses layanan Kesehatan melalui BPJS Kesehatan tentunya masyarakat yang secara ekonomi lemah,” ujarnya.
Namun, Robert mengingatkan bahwa kerja sama RSUD Pasangkayu dengan Apotek yang menjadi mitranya sebaiknya dilakukan perikatan melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) agar memenuhi asas-asas dalam pelayanan publik. Seperti kepentingan umum, professional, dan adanya kepastian hukum terhadap Para Pihak.
Dalam kesempatan yang lain, pada kunjungan di RSUD Mateng, Ombudsman RI mendapatkan penjelasan mengenai sejumlah kendala layanan. Kepala RSUD Mateng menyampaikan bahwa peningkatan pasien per tahunnya dari 16.000 menjadi 32.000 jiwa belum dibarengi dengan peningkatan kapasitas layanan, sehingga berdampak pada sejumlah kendala layanan.
Kendala layanan dimaksud berkaitan dengan ketersediaan sumber daya manusia, kapasitas ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan kekosongan obat.
Menanggapi hal tersebut, Robert menyampaikan perlunya perbaikan dalam sejumlah tata kelola, diantaranya terkait perlunya dilakukan usulan pengadaan ASN di RSUD, dan perubahan IGD menjadi UGD untuk memenuhi peningkatan kapasitas layanan.
“Berkaitan dengan kendala layanan kefarmasian karena tidak adanya apotek yang menjadi mitra RSUD Mateng maka pemerintah kabupaten dan Pemprov Sulbar perlu membantu dan mencarikan solusi yang efektif guna memudahkan masyarakat dalam pelayanan,” ujarnya.
Robert juga menyampaikan pesan kepada investor kesehatan yang berada di wilayah Sulawesi, secara khusus untuk dapat membantu penyediaan obat sebagai bagian dari misi negara untuk keselamatan publik.
Dalam akhir kunjungan di RSUD, Robert mengingatkan agar kedua RSUD di Sulbar tersebut dapat mempersiapkan dengan baik dan melakukan perbaikan-perbaikan dalam penerapan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) karena akan diterapkan pada tanggal 1 Juli 2025 nanti.
Stunting sebagai Masalah Pelayanan Publik
Di samping kunjungan RSUD, Ombudsman RI juga menyelenggarakan diskusi publik dengan tema Optimalisasi Akses Pengaduan Masyarakat Dalam Pencegahan dan Penanganan Stunting di Kabupaten Pasangkayu.
Kegiatan dilaksanakan dengan mengundang instansi penyelengga pelayanan publik, yaitu Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A).
Dalam sambutannya Robert Na Endi Jaweng mengingatkan bahwa layanan kesehatan dan perlindungan jaminan sosial merupakan hak publik yang dijamin pemenuhannya oleh Negara.
Berdasarkan data, Sulbar termasuk dalam lima provinsi dengan prevaliensi angka stunting tertinggi, sehingga Ombudsman RI memandang bahwa stunting merupakan masalah pelayanan publik.
Merujuk pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka setidaknya terdapat tiga dimensi pelayanan publik yang perlu menjadi perhatian, yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan barang publik dan jasa publik serta tindakan administrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam pencegahan dan penanganan stunting.
Dalam paparannya, Robert menyampaikan contoh dalam lingkup pelayanan publik yang berpotensi menjadi masalah Maladministrasi.
“Dalam dimensi pelayanan barang publik, contohnya kendala dalam pengadaan dan penyaluran pemberian makanan tambahan dan suplemen ibu hamil yang tidak sesuai dengan pemenuhan gizi sehingga tidak mempunyai dampak bagi penurunan angka stunting,” sambungnya.
“Kemudian potensi maladministrasi dalam dimensi layanan jasa seperti kendala pada akses layanan kesehatan, sebagai contoh penolakan layanan Kesehatan karena BPJS Kesehatan tidak aktif,” tambah Robert.
Ombudsman RI juga menyampaikan potensi maladministrasi pada tindakan administrasi, seperti seseorang yang memenuhi kriteria sebagai penerima manfaat program keluarga harapan dengan manfaat ibu hamil dan anak balita, namun karena tidak adanya pengusulan oleh musyawarah desa. Sehingga tidak memperoleh manfaat, atau seseorang yang masih memenuhi kriteria penerima manfaat, namun dilakukan graduasi secara sepihak oleh operator desa tanpa memperoleh pemberitahuan yang jelas.
“Permasalahan dimensi layanan publik mengenai stunting tersebut menjadi penting untuk disampaikan kepada masyarakat, dengan harapan masyarakat akan lebih memahami mengenai permasalahan yang terjadi. Sehingga muncul kesadaran, dan masyarakat berani menyampaikan pengaduan kepada Ombudsman sebagai bagian dari partisipasi masyarakat,” tegas Robert.
Robert menegaskan, sebagai program strategis nasional, maka pencegahan dan penanganan stunting memerlukan kerja bersama lintas sektoral antar instansi penyelenggara pelayanan publik dan tingginya partisipasi masyarakat dalam hal akses layanan dan pengawasan pelayanan publik. (*)