Setelah 22 Tahun dan 16 Tahun

  • Bagikan
M. Danial

Oleh : M Danial 

TIDAK banyak yang ingat. Tepatnya banyak yang tidak tahu. Tanggal 28 September punya arti penting terkait kebebasan memperoleh informasi. Tanggal tersebut adalah Hari Hak untuk Tahu Sedunia (Right to Know Day). Yang ditetapkan di Sofia, Bulgaria pada 28 September 2002.  Deklarasi Hari Hak untuk Tahu Sedunia diinisiasi sejumlah negara termasuk Indonesia sudah 22 tahun berlalu. 

UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah 16 tahun diundangkan. Hari Hak untuk Tahu Sedunia diperingati di Indonesia sejak 2011. Biasa juga disebut Hari untuk Memperoleh Informasi. Kebebasan memperoleh informasi dijamin konstitusi RI Pasal 28F UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Keterbukaan informasi publik merupakan prinsip yang fundamental dalam sistem demokrasi modern. Pemerintah harus menyediakan akses informasi yang mudah dan transparan kepada masyarakat. Tujuannya untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, efesien, dan partisipatif.

Hingga kini implementasi keterbukaan informasi publik masih menghadapi berbagai tantangan. Terjadi di Indonesia dan di berbagai negara. Tantangan itu perlu menjadi perhatian sungguh-sungguh untuk diatasi. Untuk mewujudkan demokrasi yang lebih sehat. 

Salah satu aspek penting keterbukaan informasi publik adalah memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Ketika informasi mudah diakses secara luas, akan memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi mengikuti diskusi publik, mengkritisi kebijakan pemerintah, dan menuntut tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Agar tidak melakukan penyalahgunaan dan korupsi.

Indonesia sudah memiliki UU KIP sejak 16 tahun lalu. Namun hingga kini implementasi keterbukaan informasi publik masih menghadapi tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah budaya birokrasi yang cenderung tertutup. Enggan berbagi informasi merupakan kebiasaan, bahkan kelaziman. 

Di banyak instansi, keterbukaan informasi kerap dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas dan kekuasaan. Akibatnya informasi penting yang seharusnya menjadi milik publik tidak disampaikan dengan baik. Hal tersebut menunjukkan perlunya reformasi birokrasi lebih dimaksimalkan. Terutama untuk mengubah paradigma dan mentalitas aparat agar menjadi proaktif menyediakan informasi. 

Beberapa tahun lalu ada hal menggembirakan terkait keterbukaan informasi publik di desa. Desa-desa memajang baliho di depan kantor masing-masing memaparkan APBDesa setempat. Tercantum juga kontak person yang bisa dihubungi jika butuh penjelasan terkait APBDes. Sayangnya hal baik itu, untuk membiasakan keterbukaan informasi publik di desa hanya satu kali. Setelahnya tak terlihat lagi.

“Keterbukaan informasi di desa dengan memajang APBDesa di ruang publik sangat bagus dan perlu dibiasakan. Selain untuk menunjukan keterbukaan pemerintah desa, masyarakat desa diharap terdorong untuk mengawasi pelaksanaan anggaran desa,” komentar senada beberapa pemerhati desa.

Keterbatasan infrastruktur teknologi merupakan tantangan tersendiri, terutama di daerah-daerah terpencil. Dengan teknologi informasi di era digital sekarang lebih memungkinkan distribusi informasi yang cepat dan mudah. 

Tapi tidak semua wilayah memiliki akses yang memadai terhadap informasi. Sehingga terjadi distrubusi informasi yang tidak merata. Masih banyak orang kesulitan mendapatkan informasi publik sesuai yang dibutuhkan. Karena itulah sangat diperlukan percepatan peningkatan infrastruktur digital dan edukasi kepada masyarakat agar tidak kesulitan mengakses informasi.

Tantangan lain adalah kesadaran masyarakat sebagai warga negara mengenai hak-haknya terhadap informasi publik. Banyak warga belum memahami haknya. Di sisi lain edukasi menjadi krusial untuk memastikan bahwa masyarakat mengetahui cara mengakses informasi.

Yang menjadi hambatan adalah regulasi yang tumpang tindih, bahkan kurang jelas dalam implementasinya. Misalnya terkait informasi yang dikecualikan dengan alasan keamanan, pengecualiannya kadang diinterpretasikan terlalu luas. Sehingga membatasi akses publik terhadap informasi yang diperlukan.

Para wartawan juga kerap mengeluh karena mengalami hambatan mendapatkan informasi penting secara cepat untuk kepentingan publik. Hambatan disebabkan pemangku informasi menginterpretasikan tersendiri aturan dengan alasan yang tidak jelas dasarnya.

Penting juga menjadi perhatian batasan informasi yang tidak boleh atau dibatasi diakses. Pembatasan pun harus jelas dasarnya. Bukan disebabkan interpretasi sendiri petugas atau pemangku informasi. Demi melindungi institusinya.

Keterbukaan informasi publik untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, demokratis dan akuntabel. Tantangan terkait dengan budaya birokrasi, infrastruktur, kesadaran masyarakat, maupun regulasi harus diatasi dan diselesaikan. Sehingga terwujud sistem yang lebih terbuka dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Untuk menjadi landasan terciptanya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang lebih luas. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version