PASANGKAYU, SULBAR EXPRESS – Ratusan massa Aliansi Masyarakat Lariang mendatangi Gedung DPRD Kabupaten Pasangkayu, Sulbar, Kamis 3 Oktober 2024.
Mereka menuntut Pemkab Pasangkayu untuk tidak menyetujui izin PPKR yang dimohonkan oleh PT Letawa di Blok 30 Desa Lariang, Kecamatan Tikke Raya, karena lahan yang diklaim oleh PT Letawa tersebut tidak masuk kawasan HGU. Ditambah lagi areal tanah tersebut merupakan miik masyarakat Lariang.
“Kami meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Bupati Pasangkayu agar tidak menyetujui izin PPKR yang dimohonkan oleh PT Letawa sebagai dasar penerbitan HGU. Kami juga meminta pemerintah untuk menghentikan aktivitas perkebunan, memanen , merawat dan lain-lain di luar HGU milik PT Letawa sampai pihak perusahaan menunjukkan alas hak,” jelas Aswin Korlap Aksi Aliansi Masyarakat Lariang.
Aswin juga meminta BPN memunculkan titik kordinat untuk memvalidasi HGU PT Letawa. BPN harus segera mengeluarkan keputusan tanah terlantar terhadap lahan PT Letawa terkait pemukiman masyarakat Desa Lariang yang tumpang tindih dengan SHM masyarakat.
Lanjut Aswin, anggota Kepolisian dan TNI beserta pihak keamanan perusahaan PT Letawa tidak melakukan upaya intimidasi dalam bentuk apapun terhadap warga yang sedang berjuang merebut kembali hak atas tanahnya.
Kemudian pemerintah didesak mengambil alih lahan di luar HGU PT Letawa untuk fasilitas umum sebagai penyangga Ibukota Negara dan diberikan kepada masyarakat sebagai pemukiman dan peningkatan kesejahteraan.
Anggota DPRD Pasangkayu yang menerima massa aksi antara lain Saefuddin Baso, Arham Bustaman, Dasri, meminta perwakilan massa aksi berdialog dengan DPRD, pihak perusahaan, Kadis PUPR, dan BPN.
Setelah bernegosiasi, akhirnya Aliansi Masyarakat Lariang sepakat berdialog dalam Gedung DPRD Pasangkayu. Suasana sempat memanas karena massa aksi meminta agar para pihak seperti BPN untuk tidak bertele-tele memberi penjelasan.
“Bapak tidak usah bertele-tele memberi penjelasan. Perjelas saja dari klaim PT Letawa yang 50 hektar tersebut, berapa yang masuk kawasan HGU perusahaaan,” desak Akbar, salah satu korlap aksi.
Anggota DPRD yang meminpin rapat Saefuddin Baso juga mendesak pihak BPN agar singkat memberi penjelasan.
Akhirnya H. Kadir, yang mewakili Kepala Kantor ATR BPN Pasangkayu menegaskan bahwa tanah yang menjadi obyek sengketa dengan pihak perusahaan dengan masyarakat yang berada dalam kawasan HGU PT Letawa hanya 4,6 hektar, dari 49 hektar yang dimohonkan HGU.
“Hanya sekitar 4,6 hektar yang masuk kawasan HGU PT Letawa yang menjadi obyek konflik agararia anatara pihak masyarakat dengan perusahaan, sisanya di luar HGU,” beber H Kadir, yang disambut riuh massa aksi.
Sementara itu, tokoh masyarakat Lariang yang juga Mantan Kades Lariang, Yeni Pepy yang turut diundang berdialog menegaskan, secara hukum ketika proses pengajuan HGU tidak ada persetujuan dalam masa waktu satau tahun maka tanah tersebut secara status kembali ke negara. Ini pengajuan HGU sejak tahun 1996 oleh PT Letawa.
“Secara hukum bila oengajuan HGU tidak terbit, maka tanah tersebut kembali ke negara. Sejak tahun 1996 diajukan, namun tidak pernah terbit izin HGU nya. Sekarang sudah tahun 2024, saya juga meminta kepada Dinas PUPR untuk tidak PPKR PT Letawa karena jelas bisa berkonsekusi hukum di kemudian hari,” jelas Mantan Ketua Komisi I DPRD Pasangkayu ini..
Sementara itu, Anggota DPRD Pasangakayu yang menerima massa aksi berdialog, Arham Bustaman, berjanji akan segera mengusulkan ke pemerintah untuk membentuk tim terpadu untuk bekerja membantu menyelesaikan persoalan ini.
“Selaku DPRD, kami tentu memediasi dan menfasilitasi apa yang menjadi tuntutan mereka dan kami sudah pertemukan. Namun untuk penyelesaiannya tentu harus paham mekanisme yang ada di DPRD, tentu ada ruang dan waktu untuk membahas masalah ini. Kami akan usulkan ke pemkab untuk membentuk tim terpadu. Dan untuk sementara dan menjadi rekomendasi lahan yang menjadi titik sengketa sementara distatusquokan dulu. Kami harap pihak perusahaan dan masyarakat untuk sama-sama menahan diri,” pungkas kegislator yang berbasic jurnalis ini. (bnq/*)