Forum Penataan Ruang Diminta Ambil Sikap Agar Konflik Agraria di Lariang Selesai

  • Bagikan
Tokoh masyarakat Lariang, Yani Pepi.

PASANGKAYU, SULBAR EXPRESS – Pemerintah daerah, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) di tingkat kabupaten/kota, memiliki kewenangan untuk memproses dan menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) berdasarkan peraturan yang berlaku.

Namun, menurut tokoh masyarakat Lariang, Yani Pepy, kewenangan ini harus dijalankan dengan mematuhi semua prosedur hukum dan persyaratan yang telah ditetapkan.

“Jika pemerintah daerah meloloskan permintaan perusahaan untuk diterbitkan HGU baru tanpa memperhatikan aturan yang berlaku, maka hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum,” ucap mantan Ketua Komisi I DPRD Pasangkayu ini, Minggu 6 Oktober 2024.

Ia menjelaskan, persyaratan HGU menurut peraturan perundang-undangan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah serta aturan turunannya, menetapkan bahwa HGU hanya dapat diberikan kepada pihak yang memenuhi semua persyaratan, termasuk legalitas penggunaan lahan sebelumnya.

Penerbitan HGU harus melalui proses verifikasi yang ketat, termasuk tidak adanya sengketa tanah. Legalitas penggunaan lahan sebelumnya, artinya tanah tersebut tidak boleh dikelola secara ilegal sebelum diajukan HGU. Kelayakan penggunaan lahan untuk keperluan usaha yang diajukan, seperti perkebunan, peternakan, atau pertanian.

Kemudian, potensi pelanggaran hukum oleh pemerintah daerah jika pemerintah daerah meloloskan permohonan HGU tanpa mematuhi prosedur yang benar, beberapa potensi pelanggaran hukum yang mungkin terjadi adala pelanggaran prosedural jika penerbitan HGU dilakukan tanpa proses verifikasi yang tepat, termasuk memastikan tidak ada sengketa, legalitas penggunaan lahan, dan partisipasi masyarakat, maka ini bisa dianggap melanggar prosedur administrasi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya potensi terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika penerbitan HGU dilakukan dengan cara yang tidak transparan atau terdapat unsur suap, kolusi, atau nepotisme, ini dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dapat juga melanggar hak Mlmasyarakat adat atau lokal. Jika lahan yang diberikan HGU adalah tanah yang diklaim atau digunakan oleh masyarakat adat atau lokal, penerbitan HGU tersebut bisa dianggap melanggar hak-hak mereka.

Hal ini dapat melanggar ketentuan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa atau UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sanksi Administratif

Pejabat yang bertanggung jawab atas penerbitan HGU dapat dikenai sanksi administratif, termasuk pencopotan jabatan atau penundaan hak-hak administratif lainnya.

Gugatan Tata Usaha Negara

Masyarakat atau pihak lain yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan penerbitan HGU tersebut.

Tuntutan Pidana

Jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang atau tindak pidana korupsi, pejabat yang terlibat dapat dikenai tuntutan pidana.

Keterlibatan masyarakat dalam Proses Pengajuan HGUBerdasarkan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, masyarakat yang terdampak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan lahan.

Masyarakat dapat menyampaikan keberatan secara tertulis kepada pemerintah daerah atau BPN jika merasa hak mereka dilanggar atau tidak dilibatkan dalam proses pengajuan HGU.

Pemerintah daerah berkewajiban untuk memastikan bahwa semua proses hukum dan administrasi terkait penerbitan HGU dilakukan dengan transparan, adil, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengabaikan keberatan masyarakat atau meloloskan HGU secara tidak sah dapat merusak kepercayaan publik dan berdampak buruk bagi stabilitas sosial di daerah tersebut.

Kesimpulannya, jika pemerintah daerah meloloskan permintaan perusahaan untuk menerbitkan HGU tanpa memperhatikan aturan yang berlaku, termasuk legalitas penggunaan lahan sebelumnya dan hak-hak masyarakat setempat, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah daerah harus bertanggung jawab secara hukum atas penerbitan HGU yang tidak sah, dan hal ini bisa berujung pada konsekuensi administratif maupun pidana.

Tentang RDP di DPRD

Yani Pepy juga mengungkap beberapa kejadian yang sangat disayangkan saat RDP dan mencoba untuk di kritik. Yang pertama, pada saat RDP, tidak adanya unsur pimpinan yang hadir. Padahal diketahui alat kelengkapan dewan (AKD) belum dibentuk.

“Sifatnya emergensi dan seharusnya unsur pimpinanlah yang pimpin rapat saat itu. Terkecuali, jika AKD sudah dibentuk, yang harus memimpin rapat saat RDP adalah hasil putusan musyawarah antara komisi,” ujar Yani.

Kedua, pernyataan dari pihak BPN, H. Kadir, yang manjawab pertanyaan masyarakat terkait permohonan  PKKPR  (ijin lokasi), yang pertaxaannya apakah jika sudah memiliki HGU masih perlu ijin PKKPR. Lalu dijawab oleh saudara H. Kadir, baik yang sudah memiliki HGU maupun belum, bisa atau dapat bermohon PKKPR.

Menurut Yani, jawaban itu yg keliru. Sebab ijin PKKPR (ijin lokasi) adalah dasar petama yang wajib perusahaan miliki, serta dasar pertama utk pembuatan HGU. Artinya, jika sdh ber HGU, untuk apa dimohonkan ijin PKKPR.

Kemudian, rekomendasi yamg dikeluarkan oleh pimpinan rapat saat RDP di DPRD Pasangkayu, yakni Saefuddin A. Baso sangatlah tidak tepat dan merugikan masyarakat.

“Poin dari recomendasi akan membentuk tim terpadu. Dan kedua, lokasi yang dipermasalahkan tersebut kedua belah pihak dilarang beraktivitas alias tatus quo. Aneh saja, BPN sudah menyatakan lokasi tersebut berada di luar HGU, berarti terbukti PT Letawa melakukan pelanggaran mengelola lokasi di luar HGU  selama kurang lebih 30 tahun lamanya,” ucap Yani.

“Terus Tim Terpadu mau dibentuk untuk apa? Soal status quo itu juga tidak tepat. Yang diikatakan status quo itu dilakukan terhadap kejadian yang belum terang. Dan yang punya hak menetapkan status tersebut adalah pengadilan melalui putusan pengadilan,” paparnya.

“Harapan saya agar segera tim Forum Penataan Ruang mengeluarkan hasil, apakah permohonan tersebut dapat disetujui atau tidak agar permasalahan ini segera selesai,” pinta Yani. (*)

  • Bagikan