Oleh: Suhardi Duka
Dalam sepekan, saya banyak menghabiskan waktu untuk menemui sejumlah masyarakat di dua kabupaten sebelah utara Sulawesi Barat ini; Pasangkayu dan Mamuju Tengah. Ada sejumlah poin penting yang masuk dalam catatan saya saat bertemu dengan masyarakat di sejumlah wilayah desa dan kecamatan di kedua kabupaten itu.
Lewat tulisan sederhana ini, saya mencoba untuk menarasikan, merunut poin-poin catatan penting tersebut. Paling tidak dapat menjadi jejak sejarah yang penting dalam ikhtiar saya untuk mengabdikan diri di tanah kelahiran saya ini.
Di beberapa pertemuan saya dengan masyarakat dari berbagai wilayah desa di Pasangkayu, begitu jelas dapat saya tangkap besarnya harapan masyarakat akan kehidupan sosial yang lebih baik lagi. Keberpihakan pemerintah provinsi Sulawesi Barat untuk lahirnya layanan pendidikan serta jaminan kesehatan bagi masyarakat adalah dua hal urgen yang menjadi tone utama yang disuarakan masyarakat.
Bagi saya, sumber daya manusia adalah pilar utama atas keberhasilan atau gagalnya proses pembangunan bagi satu daerah. Urgensi pembangunan sumber daya manusia menjadi faktor kunci dalam mengarungi sederet tantangan di masa yang akan datang.
Dari pengalaman yang saya peroleh selama duduk di Komisi IV DPR RI, memaksimalkan kualitas sumber daya manusia adalah opsi terbaik. Bicara sumber daya manusia, sudah pasti tak boleh berjarak dengan kualitas pendidikan. Jika kualitas pendidikan di satu daerah berada di titik yang rendah, jangan sekalipun menyimpan harapan daerah itu bakal bergerak ke arah yang positif.
Di mata saya, sumber daya manusia yang unggul akan beriringan dengan peningkatan produktivitas masyarakat. Dengan kata lain, sumber daya manusia berkontribusi secara relevan pada upaya pembangunan daerah.
Penduduk yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, secara umum mempunyai kesempatan untuk merasakan taraf kehidupan yang lebih baik, pendapatan yang tinggi pula. Dengan sendirinya tingkat kemiskinan pun bisa ditekan.
Dalam catatan BPS, lebih dari 10 Persen masyarakat Sulawesi Barat masuk dalam kategori miskin. Dengan kata lain, di tahun 2023, sebanyak 164,14 Ribu jiwa penduduk di Provinsi Sulawesi hidup di level miskin.
Masih tingginya persentase masyarakat miskin di Sulawesi Barat itu hampir pasti dipengaruhi oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia. Jika mengukurnya dari tingkat pendidikan, mayoritas masyarakat Sulawesi Barat menyelesaikan jenjang pendidikannya hanya sampai di tingkat SD sederajat.
Persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas di Sulawesi Barat menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS tahun 2023 memotret sebanyak 26,22 Persen yang tuntas hanya sampai di jenjang SD sederajat.
23,75 Persen lainnya tamat SMA sederajat, 19,31 Persen yang tidak mempunyai ijazah, serta 18,29 Persen yang SMP sederajat. Sementara yang mengantongi ijazah perguruan tinggi ada di 12,43 Persen alias jadi persentase terendah dari jenjang pendidikan yang ditamatkan.
Fakta di atas harus mendapat perhatian serius dari semua pihak. Bagi saya, tak ada pilihan selain membuat gebrakan lewat berbagai kebijakan strategis untuk menjawab persoalan di atas. Salah satunya, seperti yang telah tertuang dalam komitmen yang telah terucap tegas dari saya adalah dengan alokasi anggaran sebesar Rp 550 Miliar ke masing-masing kabupaten, serta program pendidikan lewat pemberian seribu beasiswa tiap tahunnya.
Diperlukan sosok dengan karakter kepemimpinan yang mumpuni untuk lahirnya kebijakan yang pro terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Figur yang punya pengalaman menurunkan angka kemiskinan lewat berbagai program kerja, yang dengan relasinya mampu membuka banyak ruang pengembangan sumber daya manusia.
Sebagai sentra perkebunan kelapa sawit, Kabupaten Mamuju Tengah jelas punya potensi besar dalam hal menggerakkan roda perekonomian daerah untuk dapat berputar lebih cepat lagi demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Idealnya seperti itu.
Hal yang cukup kontras justru saya dengar dari apa yang dikeluhkan oleh masyarakat di sana. Pada beberpa pertemuan saya dengan masyarakat di beberapa desa yang ada di Mamuju Tengah, petani kelapa sawit justru menyuarakan kurangnya peran pemerintah daerah atas keberpihakannya pada masyarakat petani sawit.
Ada sekian keluhan masyarakat yang begitu jelas sampai ke telinga saya tentang ketimpangan ekonomi yang dirasakan masyarakat Mamuju Tengah. Masih banyak kasus permainan harga komditas kelapa sawit antara petani dengan pihak perusahaan.
Saya melihat, pemerintah daerah sedianya telah melakukan langkah kongkret untuk meretas persoalan itu. Secara periodik, pemerintah daerah terus melakukan agenda mediasi antara petani dengan pihak perusahaan dalam hal menentukan harga jual/beli komuditas kelapa sawit dari petani ke perusahaan.
Sayangnya, setiap keputusan yang disepakati dalam agenda mediasi itu acap kali tak terealisasi di lapangan. Ada saja oknum perusahaan yang ingkar atas kesepakatan yang dimaksud.
Bagi saya, di titik ini leadership dari struktur pemerintah yang kuat amat sangat dibutuhkan. Bagaimana memastikan keseimbangan antara pihak perusahaan dan masyarakat petani sawit itu. Demi kesejahteraan masyarakat, sanksi bagi pihak perusahaan yang ingkar pun tak boleh berhenti di atas kertas saja.
Untuk mewujudkan itu, peran kepala daerah menurut saya amat sangat penting. Sosok kepala daerah tak boleh bertindak selayaknya raja yang mindset utamanya berhenti di frasa ‘dilayani’. Ia harus berpikir sekaligus bertindak nyata dengan mengedepankan kepentingan daerah, kepentingan masyarakatnya. Melayani, bukan dilayani. (*)