MENCEGAH BRAIN ROT DI ERA DIGITAL

  • Bagikan

Furqan Mawardi

Wakil Rektor I Univerrsitas Muhammadiyah Mamuju

Pada era digital yang semakin berkembang pesat ini, teknologi memegang peranan penting dalam hampir setiap aspek kehidupan kita. Di tengah kemudahan dan manfaat yang ditawarkan oleh perangkat digital, terutama media sosial, muncul pula fenomena yang mengkhawatirkan bagi generasi penerus bangsa. Fenomena ini dikenal dengan istilah brain rot, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai “kerusakan otak” akibat konsumsi informasi yang berlebihan dan tidak berkualitas melalui media sosial.

Brain rot, atau pengrusakan otak, merupakan kondisi yang terjadi akibat kebiasaan konsumsi informasi yang tidak bermutu dan berlebihan, terutama melalui platform media sosial seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan Facebook. Konten yang tidak mendidik, penuh hiburan instan, dan bahkan konten yang berpotensi merusak pola pikir, sering kali mengalihkan perhatian individu dari aktivitas produktif dan berakibat pada penurunan daya intelektual. Kondisi ini bukan hanya terjadi pada generasi muda, tetapi juga bisa melanda siapa saja yang terjebak dalam pola konsumsi informasi yang dangkal dan berlebihan.

Penyebab utama dari brain rot ini adalah ketergantungan yang berlebihan terhadap teknologi, khususnya smartphone dan media sosial. Media sosial dirancang untuk memikat pengguna dengan berbagai algoritma terus-menerus memberikan konten yang sesuai dengan minat mereka, meskipun sering kali konten tersebut tidak memberikan nilai tambah atau bahkan berisi informasi yang salah dan berbahaya. Fenomena ini sangat berisiko bagi generasi muda, terutama Generasi Z dan Alpha, yang sangat aktif di dunia maya. Mereka tumbuh di tengah ledakan teknologi, namun terkadang kurang memahami dampak negatif yang bisa ditimbulkan jika penggunaan media sosial tidak dikelola dengan bijak.

Berbagai tokoh dan ahli pendidikan telah mengingatkan kita tentang bahaya penggunaan media sosial secara berlebihan. Salah satunya adalah Profesor Jean Twenge, seorang psikolog yang meneliti dampak media sosial terhadap perkembangan psikologis remaja. Dalam bukunya iGen, Twenge mengungkapkan bahwa remaja yang lebih sering menghabiskan waktu di media sosial cenderung mengalami penurunan kualitas tidur, peningkatan tingkat kecemasan, dan penurunan kemampuan interpersonal. Ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa merusak kesehatan mental dan emosional.

Di Indonesia, tokoh-tokoh penting juga memberikan pandangan terkait dampak penggunaan media sosial yang berlebihan. Guru besar psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Henny M. Kurniawati, pernah mengingatkan bahwa dampak dari terlalu banyak mengonsumsi informasi di media sosial adalah terjadinya penurunan kapasitas berpikir kritis dan kreativitas anak muda. Menurutnya, kita perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif mengenai literasi media, sehingga generasi muda bisa lebih bijak dalam mengonsumsi informasi.

Selain itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (PAUD Dikdasmen), Jumeri, juga menekankan pentingnya mengedukasi siswa dan orang tua untuk lebih selektif dalam memilih konten yang bermanfaat. Hal ini penting, karena anak-anak yang terpapar dengan konten negatif dalam jumlah besar dapat kehilangan keterampilan berpikir kritis dan mudah terpengaruh oleh hoaks atau informasi sesat.

Kerusakan Otak dan Kualitas Hidup

Selain dampak psikologis, brain rot juga berdampak pada kognisi. Menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk menyelami dunia maya yang penuh dengan konten yang sering kali dangkal, misalnya, bisa menyebabkan penurunan daya ingat, kesulitan dalam konsentrasi, dan penurunan kualitas pemahaman yang lebih dalam terhadap berbagai isu. Kualitas berpikir yang tereduksi ini berpotensi membatasi perkembangan pribadi dan profesional seseorang.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Computers in Human Behavior menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mempengaruhi kemampuan otak untuk memproses informasi yang kompleks, bahkan dapat menyebabkan penurunan kemampuan berpikir kritis. Hal ini berimplikasi besar pada kemampuan individu untuk membuat keputusan yang bijaksana dan menganalisis masalah secara mendalam.

Membangun Kesadaran dan Pengelolaan Media Sosial

Sebagai orang tua dan pendidik, kita memiliki tanggung jawab untuk memberikan solusi yang tepat untuk menghindari fenomena brain rot ini. Penulis menawarkan tujuh  solusi solutif yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah ini:

Pertama, Meningkatkan Literasi Media: Edukasi mengenai literasi media harus dimulai dari keluarga dan sekolah. Anak-anak dan remaja harus diajarkan bagaimana cara memilah dan memilih informasi yang bermanfaat dari media sosial. Hal ini akan membantu mereka terhindar dari informasi yang tidak akurat dan berbahaya.

Kedua, Pembatasan Waktu Penggunaan Media Sosial: Orang tua dan pendidik dapat menerapkan aturan waktu terbatas dalam penggunaan media sosial. Misalnya, anak-anak hanya boleh mengakses media sosial selama dua jam per hari. Pembatasan ini membantu mereka menghindari kebiasaan berlama-lama di depan layar dan lebih banyak berinteraksi dengan dunia nyata.

Ketiga, Mendorong Aktivitas Fisik dan Sosial: Alihkan perhatian anak-anak dan remaja dari media sosial dengan mendorong mereka untuk mengikuti kegiatan fisik, seperti olahraga, atau kegiatan sosial, seperti berkumpul dengan teman-teman tanpa perangkat digital. Kegiatan-kegiatan ini akan meningkatkan kualitas hidup mereka dan mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik.

Keempat, Menciptakan Konten Positif dan Edukatif: Berikan contoh yang baik dengan mengonsumsi dan memproduksi konten yang edukatif dan menginspirasi. Anak-anak dan remaja bisa dilibatkan dalam pembuatan konten yang positif, seperti video tutorial, artikel, atau karya seni yang dapat dipublikasikan melalui media sosial.

Kelima, Menggunakan Teknologi dengan Bijak: Gunakan teknologi secara bijaksana untuk memfasilitasi pembelajaran dan kreativitas. Ada banyak aplikasi yang dapat membantu anak-anak belajar dan mengembangkan keterampilan tanpa terjebak dalam konten negatif media sosial. Misalnya, aplikasi pembelajaran bahasa, matematika, atau desain grafis.

Keenam, Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis: Anak-anak dan remaja perlu dibekali dengan keterampilan berpikir kritis untuk menilai informasi yang mereka temui di media sosial. Ini bisa dilakukan melalui diskusi-diskusi keluarga atau kelas, di mana mereka didorong untuk mengajukan pertanyaan, mencari bukti, dan menganalisis berbagai pandangan secara objektif.

Ketujuh, Pemantauan dan Pengawasan Orang Tua: Orang tua harus terlibat aktif dalam pengawasan penggunaan media sosial anak-anak mereka. Menggunakan aplikasi pengawasan atau pemantauan dapat membantu orang tua untuk mengetahui konten yang dikonsumsi oleh anak dan memberikan arahan jika mereka menemukan konten yang merugikan.

Pada akhirnya, kita tidak bisa menafikan kenyataan bahwa media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Namun, penting untuk kita semua sadar bahwa keseimbangan dan penggunaan yang bijak adalah kunci untuk menghindari brain rot. Sebagai orang tua dan pendidik, kita harus lebih proaktif dalam mendidik dan mengarahkan generasi muda agar dapat memanfaatkan teknologi dengan cara yang lebih produktif dan positif, sehingga mereka tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga sehat secara mental dan fisik.

Semoga dengan upaya bersama, kita dapat mengatasi fenomena brain rot ini dan menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, kreatif, dan seimbang dalam menghadapai tantangan era digital.

  • Bagikan