Dilema Gas Melon di Polman: Dari Distribusi tak Merata Hingga Penimbunan

  • Bagikan

GAS LPG 3 Kg dikenal juga sebagai “gas melon” karena bentuknya bulat dan berwarna hijau. Mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2007 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Program Konversi Minyak Tanah ke LPG.

Oleh: Atallah Daffa Jawahir
(Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang)

Program ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada minyak tanah dengan menyediakan LPG sebagai sumber energi alternatif. Sebagai bagian dari upaya tersebut, pemerintah membagikan kompor gas, selang, dan regulator kepada masyarakat.

Selama 18 tahun terakhir, LPG 3 Kg telah menjadi “tulang punggung” bagi keluarga kecil dan usaha mikro di seluruh Indonesia. Tabung ini dipilih karena ukurannya yang kecil, ringan, dan mudah diangkut, serta mendapat subsidi dari pemerintah, membuatnya lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu, tabung gas berukuran 5,5 kg dan 12 kg tidak disubsidi dan diperuntukkan bagi kalangan yang lebih mampu.

Namun, seiring waktu, muncul berbagai masalah seperti distribusi yang tidak merata, kelangkaan, dan penyelewengan subsidi. Kondisi ini semakin sering terjadi belakangan ini, termasuk di Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.

Distribusi tak Merata dan Kendala Logistik
Di daerah-daerah terpencil, distribusi gas melon sering kali terhambat. Keterlambatan pengiriman dari depot ke agen atau pengecer menjadi pemicu kelangkaan sementara.

Beberapa pangkalan di kecamatan Wonomulyo dan Campalagian, misalnya, sering mengalami pengurangan pasokan tanpa penjelasan yang jelas, menyebabkan antrean panjang dan kekurangan di tingkat konsumen. Selain itu, masalah logistik seperti keterlambatan pengiriman dan kendala administratif juga berkontribusi pada kelangkaan.

Pertamina, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas distribusi, kerap dikritik karena kurangnya pengawasan di lapangan dan tidak adanya verifikasi data penerima LPG 3 kg yang akurat. Hal ini mempermudah akses gas subsidi kepada pihak yang tidak berhak.

Penyelewengan dan Penggunaan
Kelangkaan gas LPG 3 Kg di Polman juga diperparah oleh praktik penyelewengan. Beberapa oknum diduga melakukan pengoplosan LPG dari tabung 3 Kg ke tabung 12 Kg untuk dijual dengan harga lebih tinggi.

Selain itu, distribusi gas subsidi ke luar wilayah Polman juga kerap terjadi, yang seharusnya tidak sesuai dengan prosedur.

Yang lebih memprihatinkan, usaha berskala besar menjadi konsumen utama gas melon ini dengan dalih harga yang lebih murah. Penggunaan yang tidak tepat sasaran ini menyebabkan pasokan cepat habis di tingkat rumah tangga yang sebenarnya berhak menerima subsidi.

Efek Pengurangan Kuota
Pengurangan kuota oleh Pertamina tanpa alasan yang jelas juga berkontribusi pada kelangkaan. Beberapa pengecer melaporkan bahwa keterlambatan pengiriman seringkali disebabkan oleh faktor logistik atau administratif. Kondisi ini menunjukkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan permintaan, yang semakin memperburuk situasi.

Menjelang momen-momen penting seperti bulan Ramadan dan hari raya, permintaan gas melon melonjak drastis. Sayangnya, pasokan yang biasanya cukup untuk kebutuhan harian menjadi tidak mencukupi. Fenomena penimbunan gas oleh oknum-oknum tertentu untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi semakin memperburuk kelangkaan di tingkat konsumen.

Untuk menghindari penimbunan perlu segera berlakukan sistem pembatasan di tiap pangkalan, dimana setiap konsumen hanya boleh membeli satu tabung per hari untuk mencegah hal tersebut.

Langkah itu juga diiringi dengan evaluasi kuota dan distribusi terhadap kuota LPG yang diberikan oleh Pertamina dan menyesuaikan dengan kebutuhan Masyarakat di Polman.

Tantangan Pemerintah Daerah
Fenomena ini seharusnya mendorong pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, untuk bertindak cepat dalam mengatasi masalah ini.

Meskipun Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Polman telah melakukan inspeksi mendadak di beberapa titik, pengawasan ini masih bersifat sporadis dan belum merata.

Pengawasan yang berkelanjutan dan sistematis diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan distribusi. Selain itu, pemberian sanksi tegas seperti pencabutan izin usaha kepada oknum-oknum yang terlibat dalam penyelewengan sangat penting untuk menciptakan efek jera. Tanpa langkah-langkah tegas, masalah ini akan terus berulang.

Pemerintah daerah juga harusnya sudah mulai melakukan edukasi kepada Masyarakat untuk menggunakan LPG bersubsidi hanya bagi mereka yang berhak. Selain itu, dorongan kepada Masyarakat mampu untuk beralih ke LPG non-subsidi juga perlu dilakukan.

Pemerintah juga menerapkan system digitalisasi distribusi dengan bekerja sama dengan Pertamina untuk menerapkan sistem distribusi berbasis teknologi seperti pendataan NIK (Nomor Induk Kependudukan) agar memastikan gas melon ini hanya diterima oleh Masyarakat yang berhak.

Dampak Ekonomi dan Sosial
Kelangkaan gas melon ini berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Harga LPG 3 kg yang sebelumnya berkisar antara Rp18.000 – Rp20.000 per tabung melonjak menjadi Rp25.000 – Rp30.000 akibat kelangkaan.

Kenaikan harga ini meningkatkan biaya produksi bagi pelaku usaha kecil seperti penjual makanan, yang akhirnya berdampak pada harga jual produk mereka.

Kelangkaan gas melon di Polman bukanlah masalah sepele, melainkan permasalahan struktural yang memerlukan penanganan komprehensif, mulai dari distribusi hingga pengawasan. Sinergi antara pemerintah daerah, PERTAMINA, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan LPG 3 kg kembali tersedia secara adil dan merata.

Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan kelangkaan ini dapat diatasi, dan masyarakat, terutama mereka yang benar-benar membutuhkan, dapat kembali menikmati manfaat dari subsidi LPG 3 Kg. (*)

  • Bagikan