Kartini Milenial: Perempuan Beriman, Berilmu, dan Berdaya

  • Bagikan

Oleh: Furqan Mawardi
Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Mamuju

Di tengah gemuruh zaman yang semakin cepat bergerak, nama Kartini bukan sekadar catatan sejarah yang usang. Ia adalah ruh perubahan yang terus hidup di dada perempuan Indonesia.

Kartini bukan hanya milik masa lalu, ia adalah inspirasi yang terus menjelma dalam semangat generasi hari ini. Khususnya perempuan milenial yang hidup di era digital, tapi tetap mengakar pada nilai-nilai keimanan, keilmuan, dan keberdayaan.

Kartini milenial bukan hanya perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, bekerja di ruang-ruang strategis, atau tampil di panggung-panggung publik. Ia adalah perempuan yang membawa cahaya, menyinari keluarga, menyejukkan masyarakat, dan memberi arah bagi generasi mendatang. Ia tidak kehilangan jati diri di tengah euforia modernitas. Ia tetap menapaki jalan sunyi iman, menggenggam lentera ilmu, dan menyalakan api perjuangan yang tak pernah padam.

Hemat penulis, ada tiga fondasi utama perempuan hebat masa kini, yakni : beriman, berilmu, dan berdaya yang dapat diaktualisasikan saat ini, sekaligus sebagai pondasi yang kokoh yang untuk menjawab tantangan zaman, yaitu:

Pertama, Perempuan Beriman: Pilar Kehidupan yang Kokoh

Perempuan tanpa iman ibarat rumah tanpa fondasi. Mungkin tampak indah dari luar, tetapi rapuh di dalam. Perempuan beriman adalah tiang kehidupan. Ia adalah pelita yang menerangi sekitarnya di tengah kegelapan zaman. Dalam derasnya arus dunia digital yang sering menyesatkan arah, iman menjadi kompas yang tak pernah salah arah.

Kartini milenial bukan hanya memegang Al-Qur’an sebagai simbol, tapi menjadikannya petunjuk hidup. Ia bukan hanya menjalankan syariat karena warisan, tapi karena kesadaran dan kecintaan. Ia tahu bahwa aurat bukan sekadar kain yang menutup tubuh, tapi juga penjaga kemuliaan dirinya. Ia menolak menjadi objek pandang, tapi memilih menjadi subjek perubahan.

Imannya bukan hanya terlihat saat Ramadhan atau ketika musibah datang. Ia hidup dalam setiap keputusan, dalam setiap interaksi, dalam setiap napas perjuangannya. Ia tidak silau oleh gemerlap dunia yang fana, karena hatinya tertambat pada akhirat yang abadi. Ia mendidik anak-anaknya dengan doa, bukan hanya dengan gadget. Ia mencintai suaminya bukan hanya dengan cinta, tapi dengan takwa. Di sinilah letak keagungan perempuan beriman: kuat dalam doa, lembut dalam kasih, teguh dalam prinsip.

Kedua, Perempuan Berilmu: Melampaui Gelar, Menghidupkan Makna

Ilmu bukan hanya hak laki-laki. Kartini telah membuktikannya. Ia membaca, menulis, dan berpikir melampaui zamannya. Maka perempuan milenial yang sejati adalah mereka yang mencintai ilmu. Ia mengejar ilmu bukan untuk sekadar menyandang gelar akademik, tapi untuk memahami hidup, membela kebenaran, dan menanamkan kebermanfaatan.

Ia tahu bahwa dunia hari ini dipenuhi informasi yang deras mengalir, tapi tidak semua membawa kebenaran. Maka ia menajamkan pikirannya dengan membaca, menajamkan hatinya dengan tafakkur, dan menajamkan langkahnya dengan bimbingan ulama. Ia bisa bicara tentang filsafat dan fiqih, psikologi dan parenting Islami, bahkan menggabungkan teknologi dengan nilai-nilai spiritual.

Perempuan berilmu adalah pengubah peradaban. Ia tidak hanya menyulut diskusi di ruang kuliah, tapi juga menanamkan nilai dalam keluarga dan masyarakat. Ia menulis dengan ketulusan, mengajar dengan cinta, dan berdakwah dengan hikmah. Ilmunya bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk melayani umat. Ia tahu bahwa sebaik-baik ilmu adalah yang diamalkan, dan sebaik-baik amal adalah yang membawa maslahat. Maka ilmunya adalah jalan jihad, bukan jalan kesombongan.

Ketiga, Perempuan Berdaya: Mampu Mengubah Dunia, Tapi Tetap Menjaga Rumahnya

Berdaya bukan berarti kehilangan kelembutan. Kartini milenial tahu betul bahwa menjadi kuat bukan berarti menjadi keras. Ia bisa menggerakkan massa, memimpin lembaga, mendirikan komunitas, namun tetap menjadi pelita dalam keluarganya. Ia mampu menciptakan dampak sosial yang luas, namun tak pernah meninggalkan pelukan anak-anaknya dan genggaman tangan suaminya.

Perempuan berdaya bukan perempuan yang menyaingi laki-laki, tetapi yang menyempurnakan laki-laki dalam rumah tangga, masyarakat, dan peradaban. Ia bukan tandingan, tapi pasangan yang sejajar dalam visi dan misi kehidupan. Ia berdaya bukan untuk membangkang, tapi untuk menegakkan kebaikan. Ia menjadi simbol kekuatan yang tidak menakutkan, tapi menenteramkan.

Keberdayaan perempuan bukan hanya tentang akses terhadap ekonomi atau kekuasaan. Lebih dari itu, ia adalah keberanian untuk mengambil peran. Ia mengadvokasi yang tertindas, membela yang lemah, dan mengangkat martabat yang terpinggirkan. Ia menanam pohon kebaikan di tengah gurun keputusasaan. Dan ia melakukannya tanpa harus kehilangan fitrah: menjadi rahmat bagi sekitarnya.

Membawa Warisan Kartini ke Masa Depan

Hari ini kita tidak sekadar memperingati Hari Kartini dengan bunga dan foto hitam putih. Kita sedang menyalakan kembali api semangat yang dulu dinyalakan dari ruang kecil di Jepara. Api itu kini menyala dalam dada-dada perempuan milenial yang beriman, berilmu, dan berdaya. Perempuan yang tidak sekadar hidup, tapi menghidupkan, Tidak sekadar ada, tapi memberi makna.

Bergerak dengan cita luhur. Mereka bisa berdiri di depan kelas, duduk di meja redaksi, mengabdi di desa terpencil, atau berdakwah lewat TikTok dengan adab dan akhlak. Perempuan-perempuan inilah yang menjadi Kartini masa kini. Kartini yang tidak dikurung keraton, tapi juga tidak larut dalam gemerlap dunia yang kosong.

Kartini masa kini mungkin tidak menulis surat seperti dulu, tapi ia menulis melalui langkahnya, sikapnya, keputusan-keputusannya. Ia mungkin tak dikenal dunia, tapi ia dikenal malaikat karena keikhlasannya. Ia mungkin tidak tampil di media, tapi ia hadir dalam kehidupan yang ia ubah dengan kelembutan, dengan kesabaran, dan dengan keyakinan pada Tuhan yang tak pernah meninggalkan hamba-Nya.

Perempuan-perempuan seperti inilah yang akan melanjutkan estafet peradaban. Mereka adalah ibu dari para pemimpin masa depan, guru bagi generasi penerus, dan penjaga moral bangsa yang tak ternilai. Dari tangan mereka, lahir anak-anak yang shalih, dari lisan mereka mengalir doa yang menembus langit, dari kesabaran mereka berdiri kokoh keluarga dan masyarakat yang damai.

Wahai perempuan milenial, sesungguhnya engkau adalah lentera zaman. Engkau bukan sekadar simbol kemajuan, tapi juga jantung spiritualitas umat. Di tengah dunia yang ramai namun hampa makna, engkau hadir menjadi penjaga nilai dan pelestari akhlak. Engkau adalah suara doa di malam hari, tangan yang membasuh luka, dan pundak yang menanggung beban umat dengan senyuman tulus.

Jangan pernah ragu menjadi dirimu. Jangan malu mencintai agama di tengah arus materialisme. Jangan takut menjadi lembut, karena dari kelembutanmu lahir kekuatan yang menggetarkan bumi. Jangan lelah untuk terus belajar, karena dari ilmulah engkau menapaki jalan-jalan cahaya. Dan jangan berhenti berdaya, karena dunia ini sedang menantikan tangan-tangan yang tulus untuk mengubahnya.

Untuk seluruh perempuan yang menjaga cahaya iman, mengembangkan ilmu, dan membagikan keberdayaan. Semoga dari rahim dan peluhmu lahir generasi Rabbani yang mengubah dunia dengan cinta dan cahaya. Selamat Hari Kartini. (*)

  • Bagikan