Dari Krisis Literasi Menuju Lompatan Prestasi

  • Bagikan

Oleh: Furqan Mawardi
(Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Mamuju)

Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional, mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang mewariskan nilai luhur: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Sebuah filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya keteladanan, partisipasi, dan dorongan kolektif.

Namun, pada Hardiknas 2025 ini, di tengah semangat peringatan, kita juga dihadapkan pada cermin yang menampakkan luka-luka lama dunia pendidikan: literasi rendah, integritas yang belum mengakar, dan ketimpangan partisipasi yang masih menganga.

Hasil studi PISA 2022 menyajikan fakta getir: Indonesia hanya menempati peringkat 39 dari 41 negara dalam hal literasi membaca. Meskipun naik peringkat, skor literasi justru menurun. Data Survei Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK tahun 2024 menambahkan keprihatinan: indeks integritas pendidikan kita hanya mencapai 69,50,  masih dalam level “korektif”.

Di Buleleng, Bali, ditemukan anak-anak SMP yang belum mampu membaca lancar, namun sangat piawai berselancar di media sosial. Di sisi lain, pemerintah tengah menyusun regulasi pembatasan media sosial bagi anak-anak. Ini menunjukkan bahwa perbaikan pendidikan tidak cukup hanya dengan kurikulum baru atau pembangunan fisik, melainkan butuh keterlibatan penuh semua pihak: negara, masyarakat, keluarga, dan dunia usaha.

Secara yuridis mandat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanah konstitusi yang agung. Hal ini termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama kemerdekaan adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan menegaskan tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan. Dengan demikian, pendidikan adalah hak konstitusional rakyat sekaligus kewajiban mutlak negara yang tak boleh diabaikan.

Secara historis Pendidikan telah menjadi roh dari perjuangan bangsa Indonesia. Selain Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya yang membentuk karakter kebangsaan, KH Ahmad Dahlan adalah pilar pendidikan nasional yang tak terbantahkan. Melalui gerakan Muhammadiyah yang beliau dirikan, pendidikan dijadikan sebagai jalan dakwah dan pencerahan umat.

Ribuan sekolah, madrasah, pesantren, hingga perguruan tinggi Muhammadiyah telah tumbuh menjadi fondasi kuat dalam membentuk generasi berilmu dan berakhlak. Keduanya, Ki Hajar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan telah menjadi simbol bahwa pendidikan bukan sekadar alat perbaikan sosial, tetapi juga perjuangan kultural dan spiritual dalam membangun bangsa.

Secara filosofis Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), membentuk pribadi yang utuh: cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan kokoh secara spiritual.

Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan hanya urusan duniawi, tetapi bagian dari misi ilahiah. Sebagaimana  Allah SWT berfirman di surah al Mujadah ayat 11: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”  Demikian pulan dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan suci menuju keridhaan Ilahi. Maka, pendidikan yang bermutu harus menjadikan Allah sebagai tujuan, ilmu sebagai sarana, dan akhlak sebagai hasilnya. Tanpa ruh keimanan, pendidikan akan kering dan kehilangan arah.

Secara sosiologis pendidikan bermutu tak mungkin tercapai tanpa partisipasi semesta. Negara tak bisa berjalan sendiri, sebab pendidikan berlangsung dalam ruang sosial yang kompleks: keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan digital. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama, guru sebagai pengasuh ilmu, masyarakat sebagai penjaga nilai, dan negara sebagai fasilitator, semuanya harus bersinergi. Dalam masyarakat yang plural dan dinamis, pendidikan harus dibangun di atas kerja sama lintas sektor antara pemerintah pusat dan daerah, ormas, media, dunia usaha, hingga komunitas akar rumput.

Partisipasi ini memerlukan langkah nyata. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi, bukan bersekat kewenangan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota harus membentuk jejaring kerja yang solid dan saling menguatkan. Dunia usaha, ormas, komunitas literasi, media massa, hingga institusi keagamaan punya peran strategis dalam menggerakkan budaya belajar yang bermakna dan menyenangkan.

Gagasan dan Solusi Nyata

Hemat penulis ada beberapa langkah taktis yang dapat ditempu oleh pemerintah dan segenap masyarakat dalam rangka mengakselerasi program mulia untuk segera menuju sadar literasi sehingga menggapai prestasi, langkah-langkah tersebut diantranya adalah :
Pertama, Terkait program Percepatan Program Hasil Terbaik Cepat Pemerintah yang  menegaskan keberpihakan pada mutu, perbaikan infrastruktur, pemberian insentif guru non-ASN, bantuan pendidikan guru yang belum berkualifikasi S-1, dan digitalisasi pembelajaran harus dipastikan menjangkau daerah-daerah tertinggal, terluar, dan terisolasi (3T). Tanpa keadilan distribusi, ketimpangan pendidikan akan terus melebar.

Kedua, Penguatan Literasi dan Numerasi Berbasis Komunitas. Literasi tidak cukup diajarkan di kelas, ia wajib dibangun ruang-ruang publik yang merangsang budaya membaca dan berpikir kritis. Membuka taman baca masyarakat, pojok literasi masjid, bahkan kegiatan storytelling di keluarga. Inisiatif lokal harus diapresiasi dan disokong anggaran.

Ketiga, Kolaborasi Pendidikan. Keluarga sebagai Pilar Utama Keluarga adalah madrasah pertama. Kecakapan hidup dan nilai-nilai integritas bermula dari rumah. Maka pelibatan orang tua dalam pendidikan anak (melalui parenting edukatif, seminar keluarga, pelatihan digital parenting) bukan pelengkap, melainkan inti dari pendidikan bermutu.

Keempat, Regulasi Digital yang Ramah Anak. Peraturan Pemerintah tentang pembatasan media sosial bagi anak-anak harus segera disahkan. Tetapi lebih dari itu, perlu edukasi dan literasi digital di sekolah, agar anak-anak bukan hanya dibatasi, tapi dibimbing menjadi pengguna aktif, bijak, dan produktif di ruang digital.
Kelima, Revitalisasi Peran Guru sebagai Agen Perubahan. Guru bukan sekadar pengajar, tapi pelita peradaban. Maka program pelatihan berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan, serta jaminan karier harus dikawal agar guru tetap menjadi garda depan perubahan pendidikan.

Jika krisis literasi adalah potret buram kita hari ini, maka lompatan prestasi adalah cita-cita yang masih mungkin digapai. Dengan partisipasi semesta, dengan gotong royong pendidikan lintas sektor, dengan keberanian menyusun kebijakan yang berpihak, serta dengan ketulusan membina generasi, kita bisa menyalakan obor harapan.

Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tapi tentang menciptakan manusia-manusia merdeka, bermartabat, dan berintegritas. Inilah saatnya kita semua, baik guru, orang tua, pejabat, aktivis, ulama, dan pemimpin daerah bersatu padu menyambut panggilan sejarah: dari krisis literasi menuju lompatan prestasi. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version