Semakin PT Letawa Mengklaim Tanaman Sawit di Luar HGU, Maka Semakin Terbukti Melanggar UU Perkebunan

  • Bagikan
Hasri SH.,MH, kuasa hukum Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu.

MAMUJU, SULBAR EXPRESS – Sengketa agraria antara masyarakat petani dengan PT Letawa, anak perusahaan dari grup raksasa PT Astra Agro Lestari (AAL), memunculkan sorotan hukum yang tajam.

Salah satu isu utama yang mencuat adalah klaim perusahaan atas tanaman sawit yang ditanam di luar area Hak Guna Usaha (HGU). Namun justru, semakin PT Letawa mengklaim kepemilikan atas tanaman sawit di luar HGU, maka semakin nyata pelanggaran mereka terhadap Undang-undang Perkebunan.

Menurut kuasa hukum Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu (APSP) Hasri SH.,MH, dalam banyak kasus, perusahaan berupaya mengkriminalisasi masyarakat dengan tuduhan perusakan sawit menggunakan pasal-pasal pidana seperti Pasal 406 KUHP atau Pasal 107 huruf d UU No. 39/2014 tentang Perkebunan. Namun pendekatan ini dinilai menyesatkan secara hukum dan melanggar asas keadilan.

“Jika sawit itu berada di luar HGU, maka perusahaan tidak memiliki dasar hukum atas penguasaan tanah maupun tanaman tersebut. Justru merekalah yang melanggar hukum, karena menggarap tanah tanpa hak,” tegas Hasri, Rabu 21 Mei 2025.

Catatan hukum menunjukkan bahwa PT Letawa sudah pernah melaporkan masyarakat ke kepolisian dengan tuduhan perusakan atau pencurian buah sawit. Namun, tidak satu pun laporan tersebut yang terbukti secara hukum, bahkan beberapa di antaranya dihentikan karena tidak cukup bukti dan dinilai mengandung unsur kriminalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa narasi pidana yang digunakan perusahaan kerap tidak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Ia juga menegaskan bahwa keberadaan tanaman sawit di luar HGU merupakan indikasi kuat bahwa perusahaan telah melanggar Pasal 26 dan Pasal 42 UU Perkebunan, yang mengharuskan setiap pelaku usaha memiliki legalitas atas tanah yang diusahakan.

“Tanpa HGU, maka tidak ada izin sah untuk menanam. Klaim mereka justru menjadi bukti pelanggaran,” tambahnya.

Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010 dan MK No. 138/PUU-XIII/2015) sudah menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa serta merta dikriminalisasi jika mereka berkonflik di atas tanah yang belum memiliki kejelasan hak (terutama tanah adat, tanah negara, atau klaim warisan). Penegakan hukum pidana harus memperhatikan aspek keperdataan dan agraria lebih dulu.

“Mereka menanam tanpa hak, lalu menuduh rakyat merusak. Ini adalah pembalikan logika hukum. Masyarakat justru sedang memperjuangkan haknya, sementara perusahaan melanggar batas,” tegas Hasri.

APSP dan kuasa hukumnya mendesak aparat penegak hukum untuk tidak terjebak pada narasi sepihak dari perusahaan, dan meminta Kementerian ATR/BPN, pemerintah terkait untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap keberadaan kebun-kebun sawit PT Astra Agro Lestari di luar HGU. (*)

  • Bagikan