SULBAR EXPRESS – Tragedi ledakan Garut yang menyebabkan 13 korban meninggal telah ditelusuri oleh jajaran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pemantauan insiden ledakan amunisi kadaluarsa berlangsung di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat (Jabar).
Menurut Anggota Komnas HAM Uli Parulian Sihombing, warga diberi upah Rp 150 ribu per hari. Sayangnya yang terlibat dalam proses pemusnahan, tidak memiliki sertifikasi atas tugas yang mereka emban. Total ada 21 warga sipil didalamnya.
“Para pekerja terkoordinir di bawah saudara Rustiawan yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja dalam proses pemusnahan amunisi, baik dengan pihak TNI maupun Polri,” beber Uli.
Warga sipil tersebut diajarkan dan belajar secara otodidak selama bertahun-tahun. Mereka tidak melalui proses pendidikan, pelatihan, maupun sertifikasi.
Selain itu, Uli menyatakan bahwa para tenaga harian lepas tersebut juga tidak dibekali dengan peralatan khusus atau alat pelindung diri selama melaksanakan pekerjaan mereka di lokasi pemusnahan amunisi.
“Pekerja sipil atau pekerja harian lepas memiliki peran dan tugas masing-masing di antaranya sebagai sopir truk, penggali lubang, hingga pembongkar amunisi, dan juru masak. Beberapa orang pekerja senior bahkan pernah melakukan pekerjaan tersebut hingga ke berbagai daerah di Indonesia seperti Makassar dan Maluku,” jelasnya.
Uli menyebutkan bahwa pedoman PBB terkait keterlibatan sipil dalam urusan penanganan dan pemusnahan amunisi memang memberikan ruang pelibatan pihak lain dalam kegiatan sejenis pemusnahan amunisi.
Namun demikian, mereka menetapkan syarat keahlian spesifik dan kepemilikan kompetensi tertentu bagi setiap pihak yang terlibat.
KRONOLOGI KEJADIAN
Pemantauan dilaksanakan setelah insiden ledakan yang menyebabkan 13 korban meninggal dunia itu terjadi pada 12 Mei lalu. Pihak Komnas HAM ke lokasi ledakan dan meminta keterangan dari sejumlah pihak.
Uli pun membeber kronologi pemusnahan amunisi kadaluarsa milik Pusat Peralatan Angkatan Darat (Puspalad) tersebut. Dia menyatakan bahwa pada April dan Mei 2025, dijadwalkan pemusnahan amunisi dalam 2 tahapan. Pertama berlangsung mulai 17 April-5 Mei 2025. Kedua mulai 29 April-15 Mei 2025.
“Dalam proses pemusnahan amunisi tersebut, biasanya akan melibatkan sekurangnya 1 pleton prajurit TNI AD terdiri atas 30-50 prajurit dan kemudian mendirikan sejumlah tenda untuk menginap prajurit, tenda untuk penyimpanan amunisi yang akan dimusnahkan dan bahan pendukung lainnya termasuk dapur umum,” urai dia.
Adapula 21 warga sipil turut dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas selama pemusnahan amunisi berlangsung. Saat insiden ledakan terjadi, total ada 9 warga sipil di lokasi kejadian. Seluruhnya menjadi korban meninggal dunia.
“Ledakan yang memicu jatuhnya korban jiwa terjadi sekitar pukul 09.30 WIB, yang diduga disebabkan oleh ledakan sisa detonator yang akan dimusnahkan dengan cara ditimbun setelah selesainya proses pemusnahan amunisi,” ungkap Uli.
Akibat ledakan tersebut, 9 warga sipil meninggal dunia. Demikian pula 4 orang prajurit TNI AD. Mereka gugur di lokasi pemusnahan amunisi kadaluarsa tersebut. Insiden tersebut menjadi perhatian banyak pihak. Termasuk diantaranya Mabes TNI AD dan Mabes TNI yang hingga kini masih melakukan investigasi. (jpg/*)