APSP Laporkan Grup Astra Agro ke Kejati Sulbar: Dugaan Korupsi, Perambahan Hutan, dan Perampasan Lahan Masyarakat

  • Bagikan
Kuasa Hukum APSP Hasri SH.,MH, menyerahkan laporan dugaan berbagai pelanggaran grup PT. AAL ke Kejati Sulbar.

MAMUJU, SULBAR EXPRESS — Nama besar PT. Astra Agro Lestari (AAL) kembali menjadi sorotan. Raksasa yang selama ini dikenal sebagai pelopor industri sawit ramah lingkungan itu, kini diduga melakukan berbagai pelanggaran serius di Kabupaten Pasangkayu, Sulbar.

Dugaan yang mencuat meliputi penguasaan lahan tanpa HGU, perambahan kawasan hutan, penghindaran pajak, hingga wanprestasi terhadap kewajiban plasma dan tanggung jawab sosial.

Kamis 5 Juni 2025, Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu (APSP) melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum HJ Bintang & Partners, secara resmi melayangkan laporan dugaan tindak pidana korupsi ke Kejati Sulbar.

Laporan lebih dari 40 halaman tersebut memuat bukti awal, peta, dokumentasi lapangan, serta keterangan saksi dari masyarakat yang terdampak langsung oleh operasi empat anak perusahaan PT. AAL di Pasangkayu: PT. Letawa, PT. Mamuang, PT. Pasangkayu, dan PT. Lestari Tani Teladan (LTT).

“Kami menemukan bahwa perusahaan ini telah bertahun-tahun mengeruk keuntungan dari tanah milik rakyat dan negara tanpa dasar hukum yang sah. Negara dirugikan, masyarakat dirampas haknya, lingkungan hancur. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk nyata korupsi yang sistemik,” ujar Hasri, S.H., M.H., kuasa hukum APSP, dalam konferensi pers di Mamuju.

Menguasai Tanpa HGU, Merambah Kawasan Hutan

Dokumen yang dilaporkan ke Kejati mengungkap praktik penguasaan lahan skala besar yang dilakukan tanpa Hak Guna Usaha (HGU) atau dengan melampaui batas HGU yang dimiliki. PT. Letawa misalnya, diduga kuat mengelola 621 hektar lahan di luar izin HGU sejak 1997, termasuk 42 hektar kawasan hutan lindung di Afdeling Mike, yang semestinya dilindungi secara hukum dan tidak boleh dialihfungsikan menjadi kebun sawit.

PT. Mamuang, yang juga merupakan anak usaha AAL, dilaporkan telah membuka dan menguasai sekitar 917 hektar tanah milik masyarakat adat dan transmigran, tanpa adanya pelepasan hak, pembebasan lahan, atau kompensasi yang sah. Keberadaan lahan ini diklaim oleh masyarakat dengan dasar sertifikat hak milik (SHM) dan surat-surat adat lokal, namun tetap digarap oleh perusahaan tanpa proses hukum yang jelas.

PT. Pasangkayu, yang menjadi tulang punggung produksi PT. AAL di wilayah utara Sulbar, diduga telah melakukan pembukaan lahan sawit di 580 hektar kawasan hutan lindung, yang masuk dalam peta indikatif moratorium pemerintah sejak 2011. Aktivitas ini, menurut pelapor, tidak hanya ilegal, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem lokal, terutama daerah tangkapan air dan habitat satwa endemik.

Tanpa Plasma, Tanpa CSR: Masyarakat Ditinggalkan

Salah satu poin paling krusial dalam laporan tersebut adalah kewajiban pembangunan kebun plasma sebesar 20 persen dari luas lahan inti, sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, serta peraturan pelaksanaannya. Namun berdasarkan hasil investigasi dan testimoni warga, keempat anak perusahaan PT. AAL tersebut tidak pernah menyediakan lahan plasma bagi masyarakat sekitar, baik dalam bentuk kebun kemitraan maupun skema pembagian hasil.

Tak hanya itu, kewajiban lain berupa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang semestinya menjadi kontribusi perusahaan terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lokal juga disebut tidak transparan.

“Kami tidak pernah tahu ke mana dana CSR itu pergi. Yang ada justru jalan-jalan desa kami rusak berat, sekolah ambruk, anak-anak harus berjalan kaki ke kebun sawit karena tidak ada akses kendaraan,” tutur salah satu warga Desa Martasari yang lahannya turut dikuasai.

Korupsi Ekologis dan Struktural

Menurut Hasri, praktik semacam ini tak bisa lagi dibiarkan. Ia menyebut bahwa kasus ini bukan hanya tentang pencurian lahan atau pajak, tetapi tentang kejahatan korporasi yang merusak tatanan agraria dan struktur sosial masyarakat lokal.

“Inilah yang kami sebut sebagai korupsi ekologis dan struktural. Ketika perusahaan besar bisa mencaplok lahan negara dan masyarakat secara sewenang-wenang, dan negara membiarkannya, maka yang terjadi adalah pembusukan sistem hukum dari dalam,” tegasnya.

Desakan Tegas: Sita Aset, Blokir Produksi, Usut Pejabat Terlibat

Dalam laporan resminya, Kantor Hukum HJ Bintang & Partners meminta Kejati Sulbar untuk:

1. Segera membuka penyelidikan dan penyidikan terhadap seluruh anak perusahaan PT. AAL yang beroperasi di wilayah Sulbar.

2. Melibatkan Kementerian ATR/BPN, KLHK, BPK, dan Ditjen Pajak dalam menghitung potensi kerugian negara, baik dari aspek perpajakan, kehutanan, maupun agraria.

3. Melakukan penyitaan terhadap aset, alat berat, dan hasil produksi ilegal, yang dihasilkan dari lahan tanpa izin dan hutan lindung.

4. Memanggil dan memeriksa pejabat daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, yang diduga terlibat atau membiarkan pelanggaran ini terus terjadi selama lebih dari dua dekade.

Tegakkan Hukum atau Rakyat Kehilangan Kepercayaan

Kasus ini menjadi babak baru dari panjangnya konflik agraria dan dugaan kejahatan korporasi yang menyelimuti industri sawit di Indonesia. Jika kejaksaan tidak bertindak tegas, maka rakyat akan kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa hukum di negeri ini lebih berpihak kepada modal daripada rakyat.

“Kami tidak akan berhenti. Jika perlu, kami akan membawa laporan ini ke tingkat nasional, ke KPK, KLHK, dan Ombudsman. Kami ingin tunjukkan bahwa masyarakat kecil pun bisa melawan,” pungkas Hasri. (*)

  • Bagikan