Tambang di Wilayah Konservasi

  • Bagikan
Atallah Daffa Jawahir.

PENCABUTAN izin tambang nikel di Raja Ampat pada awal 2025 sempat dipuji sebagai bentuk kemenangan bagi masyarakat adat dan aktivis lingkungan. Namun di balik kabar baik itu, tersisa satu pertanyaan besar yang seharusnya mengguncang nurani kita sebagai warga negara, Bagaimana mungkin izin tambang bisa terbit di kawasan konservasi kelas dunia seperti Raja Ampat?

Atallah Daffa Jawahir (DPD IMM Sulbar)

Kasus ini bukan hanya soal satu wilayah yang nyaris dieksploitasi, melainkan cermin dari kebijakan negara yang kehilangan rem saat berhadapan dengan hasrat eksploitasi sumber daya alam.

Raja Ampat bukan kawasan biasa. Lautannya menjadi rumah bagi lebih dari 75 persen spesies karang dunia, ribuan spesies ikan, dan merupakan bagian dari Coral Triangle—zona ekologi paling penting di dunia. Fakta ini tidak sulit ditemukan, bahkan bisa diakses dengan pencarian internet sederhana. Lalu mengapa sebuah perusahaan bisa mendapat izin untuk menambang di sana?

Jawabannya terletak pada sistem tata kelola perizinan yang bocor, di mana dokumen AMDAL bisa diproses tanpa pengawasan publik yang memadai, dan izin tambang bisa keluar meski lokasi berada di atas kawasan konservasi dan tanah ulayat masyarakat adat. Celah hukum, lemahnya pengawasan, dan kepentingan politik-ekonomi menjadi kombinasi berbahaya yang memungkinkan eksploitasi berlangsung diam-diam, lalu baru ramai setelah publik menjerit.

DAMPAK YANG SUDAH TERLANJUR
Pencabutan izin, meskipun penting, tidak serta-merta membalikkan kerusakan yang telah terjadi. Aktivitas awal perusahaan tambang—seperti pembukaan lahan, survei eksplorasi, hingga pembangunan akses jalan—bisa meninggalkan jejak ekologis yang dalam.

Belum lagi potensi rusaknya struktur sosial dan ekonomi masyarakat lokal akibat terganggunya harmoni ruang hidup mereka.

Lebih ironis lagi, negara sering tidak punya mekanisme pemulihan yang memadai. Tidak ada jaminan bahwa wilayah yang sempat disentuh aktivitas tambang akan direstorasi.

Pencabutan izin hanyalah peredam krisis, bukan penyelesaian akar masalah.

POLA LAMA YANG BERULANG
Kasus Raja Ampat bukan yang pertama. Di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, cerita serupa terus berulang: kawasan hutan lindung atau konservasi tiba-tiba berubah status, izin tambang terbit, masyarakat lokal menolak, konflik pecah, lalu pemerintah “mengevaluasi.”

Kadang izin dicabut, tapi tidak ada sanksi berarti bagi pejabat yang menerbitkannya atau perusahaan yang sudah melakukan perusakan.

Inilah pola yang menunjukkan bahwa negara tidak memiliki mekanisme rem yang kuat. Alih-alih berfungsi sebagai penjaga sumber daya publik, negara kerap menjadi fasilitator eksploitasi, bahkan di wilayah yang seharusnya paling dijaga.

Pemerintah sering berdalih bahwa izin sudah “sesuai prosedur” atau bahwa investasi tambang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Namun pertanyaannya: prosedur siapa yang dijadikan acuan? Jika prosedur itu mengabaikan suara masyarakat adat, mengorbankan kawasan lindung, dan membahayakan warisan ekologi dunia, maka ada yang sangat salah dalam sistem itu.

Sayangnya, pertanggungjawaban dalam kasus-kasus semacam ini nyaris tidak pernah jelas. Pejabat yang menerbitkan izin tidak ditindak, perusahaan yang merusak lingkungan bisa saja pindah ke lokasi lain, dan masyarakat yang terdampak ditinggalkan dengan trauma serta kerusakan yang sulit dipulihkan.

MEMULIHKAN, BUKAN SEKADAR MENCABUT
Kedepan, pencabutan izin harus disertai dengan mekanisme pemulihan yang tegas dan transparan. Pemerintah harus memastikan bahwa wilayah yang sudah terlanjur “dijamah” direhabilitasi, baik secara ekologi maupun sosial.

Selain itu, harus ada audit menyeluruh terhadap izin-izin tambang yang terbit di wilayah konservasi lain di seluruh Indonesia.

Lebih penting lagi, negara harus mereformasi sistem perizinan dan pengawasan sektor ekstraktif, khususnya tambang, agar masyarakat lokal dilibatkan secara penuh dan bermakna dalam setiap pengambilan keputusan. Konsultasi publik bukan sekadar formalitas, melainkan syarat mutlak.

Pembangunan tidak harus anti-ekonomi, tapi ekonomi tidak bisa menjadi alasan pembenaran atas perusakan yang sistematis. Negara harus belajar untuk menempatkan etika lingkungan sebagai batas moral dalam menyusun kebijakan. Tanpa itu, kita akan terus melihat Raja Ampat-Raja Ampat berikutnya jatuh ke dalam jebakan eksploitasi, dengan atau tanpa izin.

Dengan itu, DPD IMM Sulbar mendesak pemerintah, 1) Mengusut tuntas, penerbitan izin tambang di Raja Ampat, termasuk siapa pejabat yang bertanggung jawab atas kerusakan yang telah dibuat. 2) Melakukan audit nasional terhadap seluruh izin tambang yang berada di kawasan konservasi atau hutan lindung.

3) Memulihkan wilayah yang rusak, baik secara ekologis maupun sosial dengan melibatkan masyarakat adat sebagai subjek utama. 4) Melindungi hak masyarakat adat dan wilayah kelolanya serta memastikan keterlibatan bermakna dalam proses pengambilan keputusan.

Kami percaya bahwa pembangunan tidak harus bertentangan dengan berkelanjutan. Namun selama sistem perizinan tambang tidak dibenahi secara menyeluruh, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus penghancuran atas nama investasi. (*)

  • Bagikan