Teknologi AI, Jihad Pendidikan Masa Kini

  • Bagikan

Oleh:
Furqan Mawardi
Penulis Akar Rumput

Ketika anak-anak kita hari ini bermain dengan layar sentuh, robot, dan chatbot pintar, sesungguhnya mereka sedang berinteraksi dengan masa depan yang sudah datang. Kita tak bisa lagi memagari mereka dengan kurikulum masa lalu jika kita ingin mereka tumbuh sebagai pemimpin zaman. Maka ketika Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan Pengenalan Coding dan Kecerdasan Buatan (AI) sebagai salah satu program prioritas tahun 2025, ini bukan semata inovasi, tapi keniscayaan.

Sudah saatnya kita berhenti memandang teknologi sebagai ancaman yang merusak generasi. Justru sebaliknya, teknologi adalah amanah yang harus kita arahkan, bukan kita hindari. Coding dan AI bukan sekadar perangkat digital, akan tetapi ia merupakan bahasa baru yang akan menentukan siapa yang menguasai peradaban esok hari.

Mengajarkan coding kepada anak SD bukan berarti membuat mereka jadi programmer dini, tapi membiasakan mereka berpikir sistematis, logis, dan solutif sejak dini. AI bukan musuh, melainkan alat bantu belajar yang jika dimanfaatkan dengan bijak akan mempercepat tumbuhnya literasi digital dan kecakapan hidup abad ke-21.

Dalam perspektif historis, bangsa yang besar selalu menyiapkan generasi pelanjut dengan alat terbaik pada zamannya. Dulu, pena dan buku adalah revolusi. Kini, kode dan algoritma adalah sarana baru untuk menulis masa depan. Maka upaya mengenalkan teknologi di bangku sekolah adalah bagian dari jihad pendidikan.

Kita tidak hanya menyelamatkan anak-anak dari buta aksara digital, tapi juga sedang menjaga kedaulatan bangsa agar tidak selalu menjadi konsumen dalam pusaran revolusi industri 4.0  atau bahkan 5.0 yang sudah di depan mata.

Namun tentu, program ini tidak cukup hanya menjadi wacana dari kementerian. Ia harus menemukan tanah subur di lapangan. Perlu sinergi yang kokoh antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, guru, orang tua, dan komunitas. Setiap pihak perlu memahami bahwa anak-anak kita hari ini adalah manusia hybrid yang hidup di antara dunia nyata dan maya. Maka tidak bisa lagi pembelajaran dilakukan dengan metode satu arah dan monoton.

Evaluasi pun harus disesuaikan, karenanya hadirnya Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari sistem penilaian juga penting untuk memastikan proses belajar berjalan optimal, adil, dan proporsional.

Langkah-langkah strategis Kemendikdasmen harus didukung dengan kehadiran negara yang nyata di ruang-ruang kelas dan komunitas belajar. Infrastruktur digital harus disiapkan.

Pelatihan guru tak bisa ditunda. Perangkat ajar perlu diadaptasi. Jangan sampai semangat digitalisasi hanya mampir di PowerPoint presentasi, tapi tak pernah menyentuh kenyataan kelas di pelosok.

Maka sebagaimana firman Ilahi dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat ini menjadi pengingat bahwa ilmu termasuk ilmu teknologi adalah tangga kenaikan peradaban. Maka bangsa yang enggan mengenalkan ilmu baru kepada generasinya adalah bangsa yang sedang bersiap digilas oleh perubahan.

Kita mesti akui, jalan menuju pendidikan berkualitas untuk semua memang bukan jalan datar. Ada ketimpangan akses, keterbatasan sumber daya, dan disparitas antar wilayah. Tapi di sinilah pentingnya kolaborasi lintas sektor. Pemerintah pusat dan daerah, sekolah negeri dan swasta, masyarakat dan dunia usaha harus satu visi bahwa pendidikan merupakan jalan terbaik untuk mencetak peradaban dan jalan menuju pencerahan.

Jadi, mari kita sambut program prioritas Kemendikdasmen ini bukan dengan skeptisisme, tetapi dengan semangat gotong royong. Coding dan AI bukan barang asing. Mereka adalah bahasa zaman yang harus kita ajarkan agar anak-anak kita tak hanya mampu hidup di masa depan, tapi menjadi pemimpin di dalamnya. Teknologi adalah amanah. Dan amanah hanya bisa dijaga oleh generasi yang dididik dengan cinta, ilmu, dan arah yang benar.

Namun sejatinya, pengenalan coding dan AI di sekolah bukan semata urusan teknis atau keterampilan. Ia adalah pintu masuk untuk membentuk cara berpikir baru, berpikir analitis, kreatif, dan adaptif.

Bayangkan jika sejak usia dini anak-anak kita terbiasa menyusun logika, menyelesaikan masalah kompleks, hingga membuat simulasi. Ini bukan lagi pendidikan yang menjejalkan hafalan, melainkan pendidikan yang memanusiakan manusia di tengah kompleksitas zaman.

Dalam konteks Indonesia, dengan segala keragamannya, program ini harus diberi wajah kebhinekaan. Anak-anak di kota, desa, gunung, dan pesisir, semuanya berhak mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk belajar dan tumbuh dalam dunia digital. Maka distribusi perangkat, jaringan internet, dan pelatihan guru tidak boleh berat sebelah. Jika pendidikan digital hanya jadi milik segelintir kota besar, maka ketimpangan justru akan semakin melebar.

Pada titik inilah nilai-nilai dasar kita sebagai bangsa seperti gotong royong, keadilan sosial, dan inklusivitas harus dihadirkan dalam pelaksanaan program ini. Teknologi boleh modern, tetapi semangat yang mendasarinya harus tetap berakar pada nilai luhur bangsa. Jangan sampai kita mencetak generasi cerdas secara digital, tetapi kosong secara moral.

Maka penting pula mengintegrasikan pendidikan karakter bersamaan dengan teknologi, agar anak-anak kita tumbuh sebagai manusia utuh yang cakap berpikir, namun juga halus nurani.

Tentu kita tidak menutup mata pada tantangan yang akan dihadapi. Akan ada kekhawatiran dari sebagian orang tua, guru yang belum siap, bahkan mungkin resistensi budaya. Tapi sebagaimana setiap perubahan besar, perlu waktu, perlu dialog, dan yang terpenting adalah  perlu keteladanan.

Ketika para pemangku kebijakan memberi teladan dalam keterbukaan, para guru dalam kesungguhan, dan masyarakat dalam dukungan, maka benih perubahan akan tumbuh tanpa dipaksa.

Akhirnya, kita berharap agar program prioritas Kemendikdasmen ini tidak hanya menjadi kebijakan di atas kertas, tetapi menjelma menjadi gerakan bersama untuk membangun masa depan pendidikan Indonesia.

Mari kita pahami bahwa teknologi adalah ladang baru yang harus kita garap bersama-sama. Coding dan AI bukan sekadar alat, tetapi jembatan menuju kemandirian bangsa. Dan jika kita menyiapkannya sejak kini, maka kelak anak-anak kita akan menatap dunia bukan sebagai penonton, melainkan pelaku utama perubahan.

Inilah saatnya menjadikan teknologi bukan ancaman, tetapi amanah untuk pendidikan yang lebih adil, cerdas, dan membebaskan. (*)

  • Bagikan