SULBAR EXPRESS – Pemilu DPRD sudah diatur dalam Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 agar dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Jika dikosongkan, maka hal itu akan melanggar Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang mengharuskan pemerintah daerah memiliki DPRD.
“Anggota DPRD itu dipilihnya harus melalui pemilu, tidak ada jalan lain,” ungkap Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Taufik Basari saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat. Rapat ini membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait lemisahan Pemilu daerah dan Pemilu Nasional.
Olehnya kata dia, masa jabatan DPRD tidak bisa diperpanjang atau dikosongkan selama dua tahun untuk menjalankan putusan tersebut. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut merupakan putusan yang dilematis karena dapat mengakibatkan krisis konsitusional dan constitutional deadlock yang mengunci.
Namun begitu, dia juga mengatakan bahwa putusan MK itu bersifat final dan harus ada pelaksanaan tindak lanjut. Nah, kalau putusan MK itu dilaksanakan oleh pembuat undang-undang maka justru akan melanggar UUD 1945 tersebut terkait pemilu.
“Kenapa jadi melanggar? Kalau dilaksanakan, negara tidak melaksanakan perintah konstitusi yaitu untuk melaksanakan Pemilu untuk memilih Anggota DPRD,” imbuh dia.
Dijelaskan, Pemilu nasional yang terdiri dari pemilu Presiden, DPR, DPD, tidak akan bermasalah karena dilaksanakan lima tahun sekali. Sedang Pemilu DPRD masuk ke pemilu lokal yang harus dijeda selama 2 tahun sesuai putusan MK.
Maka dari itu, dia mengatakan bahwa setiap lembaga negara perlu memahami peran masing-masing sesuai posisinya. Dia menilai bahwa dalam putusan tersebut, MK mengambil peran sebagai positive legislator yang merupakan tugas DPR RI.
“Sejatinya MK adalah negative legislator, yang berarti menyatakan suatu permohonan melanggar atau tidak, itu saja. Setelah dinyatakan melanggar, bagaimana jalan keluar, itu diserahkan ke pembuat undang-undang,” tandasnya. (ant/*)