PASANGKAYU, SULBAR EXPRESS — Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu (APSP) melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum HJ Bintang & Partners menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan aparat penegak hukum (APH), khususnya Polres Pasangkayu dan Brimob Polda Sulbar.
Aparat dinilai bertindak represif dan tidak berpihak pada keadilan dalam menangani konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit Grup PT. Astra Agro Lestari (AAL), termasuk PT. Letawa, PT. Mamuang, dan PT. Pasangkayu.
Dalam berbagai surat resmi yang dilayangkan kepada institusi kepolisian, termasuk SP2HP dari Polda Sulbar, kuasa hukum APSP menyoroti penyimpangan prosedural dalam proses laporan oleh perusahaan terhadap masyarakat.
Salah satu poin penting yang disampaikan adalah bahwa penyidik tidak boleh memproses laporan dugaan tindak pidana dalam konflik agraria tanpa memastikan lebih dulu status hukum dan alas hak tanah yang disengketakan.
Apalagi, laporan yang sudah berulang kali dilakukan. Ini fatal tindakan aparat Polri di Polres Pasangkayu. “Masa laporan di Polda saja baru-baru ini dihentikan, kok malah Polres yang sangat afgesif?” ujar Hasri, SH.,MH, selaku tim kuasa hukum APSP, Sabtu 5 Juli 2025.
“Polri adalah pengayom masyarakat, bukan alat untuk melindungi kepentingan korporasi. Kami minta Kapolres Pasangkayu menghentikan praktik kriminalisasi terhadap warga. Jika tidak, kami akan ambil langkah hukum lebih tegas,” tegas Hasri.
Hasri mengungkapkan, situasi makin memanas setelah pada 4 Juli 2025, sejumlah warga yang tengah memanen buah sawit ditindak secara intimidatif oleh aparat Brimob Polda Sulbar. Aparat bersenjata menghadang truk hasil panen, menyita barang, hingga menangkap warga tanpa menunjukkan surat perintah resmi. Padahal, hasil panen tersebut berasal dari lahan yang dikuasai masyarakat, meskipun masih dalam sengketa klaim oleh pihak perusahaan.
Dalam surat resmi bernomor 039/HJ-B&P/VII/2025 yang ditujukan kepada Komandan Korps Brimob, APSP menyampaikan bahwa tindakan tersebut melanggar tugas pokok Brimob sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 dan Perkap No. 10 Tahun 2020 tentang Tata Kerja Satuan Brimob.
“Brimob bukan satpam perusahaan! Mengapa aparat bersenjata turun tangan hanya karena warga memanen buah sawit dari kebun yang disengketakan? Ini mencoreng institusi Polri secara serius,” kritik kuasa hukum APSP.
Lebih lanjut, APSP meminta Komandan Korps Brimob menarik seluruh pasukan dari wilayah konflik agraria di Pasangkayu, dan mendesak Kapolri, Irwasum, serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat di lapangan.
Untuk itu, APSP dan kuasa hukumnya menuntut beberapa hal terkait kejadian tersebut:
1. Kapolres Pasangkayu wajib menghentikan penerimaan laporan pidana yang tidak dilandasi kejelasan alas hak atas tanah.
2. Brimob Polda Sulbar harus ditarik dari konflik agraria di Pasangkayu.
3. Kapolri dan Komandan Korps Brimob harus menindak oknum yang melakukan intimidasi terhadap rakyat.
4. Laporan warga yang dikriminalisasi harus dihentikan dan dibersihkan secara hukum.
5. Negara harus hadir melindungi petani kecil, bukan tunduk pada kekuasaan modal korporasi.
“Kami tidak akan tinggal diam. Bila intimidasi ini terus dibiarkan, kami akan mengambil langkah hukum ke Propam Mabes Polri, Komnas HAM, bahkan ke Komisi III DPRP RI. Hentikan kriminalisasi rakyat. Jangan sampai Polri yang baru saja merayakan ukang tahun ke 79 dengan slogan yang negitu mesra (Polri Untuk Masyarakat) dicedarai dengan kelakuan oknum-oknum,” tutup kuasa hukum APSP. (*)