Oleh:
Kolonel Inf Andik Siswanto, S.I.P, M.Ipol
(Dandim 1418/Mamuju)
Di Sulbar, khususnya di Mamuju, terdapat banyak warung kopi (warkop) yang menjadi tempat populer bagi masyarakat untuk berkumpul dan menikmati kopi. Saat ini kita dapat menemukan warkop di berbagai sudut kota.
Beragam warkop itu menawarkan konsep yang nyaman dengan fasilitas seperti VIP room, meeting room, dan live musik. Selain terdapat berbagai jenis kopi yang bisa dinikmati, mulai dari kopi Arabika, Robusta, hingga kopi gula aren, serta berbagai pilihan makanan dan minuman lainnya.
Selain Mamuju, potensi kopi di Sulbar juga mengalir dari daerah lain seperti Kopi Mamasa dan Kopi Kurra yang banyak tumbuh di Polewali Mandar.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Gubernur Sulbar, “Mandarras adalah cermin peradaban Sulawesi Barat yang kita impikan menjadi daerah yang cerdas, sadar, dan tumbuh melalui kekuatan ilmu dan bacaan.” Istilah dari bahasa Mandar ini bukan sekadar sebutan semata, tetapi akan menjadi sebuah Program Sulbar Mandarras.
Adalah “Si War Kop” akronim dari
Literasi Warung Kopi. Ini jelas lebih dari sekadar minum kopi. Pendekatan literasi ala warung kopi sebuah fenomena yang dapat berkembang di Indonesia, di mana warung kopi tidak hanya berfungsi sebagai tempat minum dan bersosialisasi, tetapi juga sebagai ruang untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan mengembangkan pengetahuan. Mengutip Financial Times dalam Kumparan.com, jumlah kedai kopi di Indonesia meningkat dua kali lipat dari sebelumnya.
Perpaduan unik antara budaya minum kopi yang kuat di Indonesia dengan kebutuhan akan ruang publik yang inklusif untuk pembelajaran dan peningkatan literasi. Tren atau budaya ngopi di Mamuju pun ikut memberi pengaruh pada ruang bertemu yang makin semakin marak.
Saat ini di Mamuju, warung kopi sangat mudah ditemukan di mana-mana, membuatnya mudah dijangkau oleh berbagai kalangan masyarakat. Lingkungan warung kopi yang santai dan tidak formal mendorong diskusi terbuka dan pertukaran ide tanpa tekanan.
Dibandingkan dengan kafe mewah atau perpustakaan formal, warung kopi seringkali lebih ekonomis, memungkinkan lebih banyak orang untuk berpartisipasi. Bagi sebagian orang, warung kopi adalah tempat untuk menghabiskan waktu luang, yang kemudian dimanfaatkan untuk membaca, berdiskusi, atau mengikuti kegiatan literasi.
Kini di Kota Mamuju banyak komunitas tumbuh atau individu yang secara proaktif menyelenggarakan kegiatan literasi di warung kopi, seperti bedah buku, diskusi tematik, lokakarya menulis, atau bahkan perpustakaan mini.
Bagi penulis ini tentunya bisa diimplementasikan dalam Program Sulbar Mandarras yang digagas oleh Gubernur Sulbar, Dr. Suhardi Duka.
“Si War Kop” tak lain sebuah bukti bahwa pembelajaran dan pengembangan diri tidak harus terbatas pada institusi formal. Dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada, kita dapat menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan berkelanjutan.
Warung kopi bukan sekadar warung biasa tetap denyut nadi kultur masyarakat yang selama ini sering dianggap sebagai tempat nongkrong biasa. Sementara dari sanalah kita dapat melihat munculnya ruang-ruang perlawanan intelektual yang nyata. Tempat di mana ide-ide besar lahir, argumen berkembang, dan pemikiran kritis diasah tanpa harus terjebak dalam formalitas pendidikan yang sering mengekang.
Oya, warung kopi sejak lama menjadi arena demokrasi pengetahuan, di mana setiap orang bisa masuk, berbicara, dan didengar, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau pendidikan. Dari warkop kita belajar tentang keberagaman (neyrhiza.com, 2018).
Lebih daripada itu, warung kopi menjadi ruang literasi alternatif atau simbol kebangkitan peradaban yang inklusif di Sulawesi Barat. Tempat ini mematahkan stigma bahwa literasi adalah hak elite atau fasilitas yang mewah. Dengan biaya murah, akses mudah, dan suasana yang mengundang keterbukaan, warung kopi membuka pintu bagi semua orang untuk ikut serta membangun budaya membaca dan berpikir kritis, yang seharusnya menjadi dasar pembangunan masyarakat berdaya dan mandiri.
Dalam perspektif ini, “Si War Kop” bukan hanya program literasi, melainkan sebuah revolusi sosial yang menghadirkan literasi sebagai kekuatan yang merangkul, memberdayakan, dan menginspirasi. Secangkir kopi dapat bersenyawa sebagai saksi dan medium yang menyatukan.
Sebagai ruang ketiga setelah sekolah dan rumah, warkop kini bukan lagi hanya tempat menyeduh bermacam aroma dan rasa. Tetapi warkop tumbuh sebagai pertemuan holistik, dan peluang kerja inklusif bagi siapapun (mubadalah.id).
Dalam konteks inilah Mandarras hadir sebagai inisiatif visioner yang menggarisbawahi literasi sebagai pilar utama pembangunan. Gubernur Sulbar mengibaratkan Mandarras sebagai cermin peradaban Sulbar, yang mengedepankan kecerdasan, kesadaran, dan pertumbuhan melalui kekuatan ilmu dan bacaan.
Mari dukung dan kembangkan warung kopi sebagai ruang literasi yang membumi dan inspiratif. Agar Sulbar tidak hanya maju dari segi ekonomi, tapi juga dari ilmu pengetahuan dan budaya yang mengantarnya pada jenjang lebih tinggi dan beradab.
MajuMutuLaju. Maju Sejahtera! (*)