Polemik Penunjukan Penjabat Kepala Daerah, Mahfud Klaim Sudah Sesuai Aturan

  • Bagikan
Menko Polhukam Mahfud MD

JAKARTA, SULBAREXPRESS – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD buka suara setelah polemik penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah muncul. Dia menyatakan bahwa perwira TNI dan Polri aktif memiliki landasan untuk menjadi Pj.

Kepada awak media, Mahfud menyatakan bahwa penugasan perwira TNI dan Polri aktif di luar induk institusi mereka telah diatur dalam UU. Mereka diperbolehkan bertugas di 10 kementerian dan lembaga (k/l). Termasuk Kemenko Polhukam dan Badan Intelijen Negara (BIN). “Itu boleh TNI bekerja di sana,” jelas Mahfud kemarin, 25 Mei 2022.

Aturan tersebut lantas diperkuat dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal 20 menyebutkan bahwa anggota TNI dan Polri boleh masuk birokrasi sipil asal diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya. Tidak sampai di situ, pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 11 Tahun 2017. “Di situ disebutkan TNI-Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara,” tambahnya.

Mahfud tidak menampik soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, kata Mahfud, putusan itu sering kali disalahpahami. Menurut dia, putusan MK menyatakan dua hal. Pertama, TNI dan Polri aktif tidak boleh bekerja di institusi sipil, kecuali pada 10 k/l yang telah diatur UU. “Lalu kata MK, sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama, boleh, boleh menjadi penjabat kepala daerah,” tegas dia.

Mantan ketua MK itu meminta semua pihak membaca ulang putusan tersebut. “Coba dibaca putusannya dengan jernih,” imbuhnya.

Karena itu, penunjukan Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra As’adudin sebagai Pj bupati Seram Bagian Barat tidak perlu dipersoalkan.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan, dilantiknya Pj bupati berlatar belakang TNI aktif menambah preseden buruk. Hal tersebut menunjukkan tidak hormatnya pemerintah pada MK. “Kepatuhan penyelenggara negara pada putusan MK lemah,” ujarnya kemarin.

Feri mengakui, putusan MK mungkin tidak memuaskan bagi pemerintah. Namun, semestinya tidak menjadi pembenaran untuk mengakali putusan tersebut. Masyarakat sipil umumnya juga kerap tidak senang dengan putusan MK. Namun, apa pun harus dihormati. Menurut Feri, pembenaran yang disampaikan pemerintah hanya upaya berkilah.

Peneliti Pusako Universitas Andalas itu menegaskan, putusan MK sudah klir bahwa TNI dan Polri aktif bisa duduk di jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri. Syarat itu penting bukan hanya bagian dari supremasi sipil, melainkan juga sesuai UU TNI dan UUD 1945. Yakni, fungsi TNI dan Polri ada di keamanan dan pertahanan.

Kalaupun ada kesempatan ditugaskan di luar institusi TNI, terbatas pada 10 k/l lembaga yang diatur dalam pasal 47 UU TNI. Antara lain, kantor yang membidangi politik dan keamanan, intelijen negara, sandi negara, narkotika nasional, hingga SAR nasional. ”Kalau penjabat kepala daerah tegas benderang dilarang,” tegasnya. (jp)

  • Bagikan