Hidup dari Sapu Lidi, Kerap Makan Nasi Berlauk Garam

  • Bagikan
Radi, warga Galetto, Dusun Mojopahit, Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, memperlihatkan sapu lidi yang akan ia jual. -- foto: m. danial --

PRIA itu duduk di kursi kayu dekat jendela dengan dada terbuka. Bajunya diselempangkan ke bahu. Keringatnya menetes. Kaki kanannya terjulur seperti berselonjor. Ia terlihat serius. Memisahkan lidi kelapa yang sudah dan yang belum diraut. Perlengkapan kerjanya tergeletak berserakan di lantai. Terlihat dua pisau kecil, salah satunya pisau raut. Ada juga ban dalam mobil bekas, kaos tangan, dan pecahan beling. Selain itu, beberapa potongan kayu menyerupai tongkat.

Catatan:
M Danial (Jurnalis)

Rumahnya di Galetto, Dusun Mojopahit, Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar. Tuan rumah, Radi, 31 tahun, menyambut ramah ketika saya menyambangi rumahnya menjelang sore, beberapa hari lalu.

“Beginilah saya setiap hari. Sudah hampir dua tahun menderita sakit, terpaksa hanya tinggal di rumah,” ujarnya, lirih.

Radi meraih tongkat yang menjadi penopang kekuatan untuk bergeser dari tempatnya. Ia bermaksud beranjak dari kursinya untuk duduk bersama di lantai. Katanya, tidak nyaman sendirian di kursi, sementara tamunya melantai.

Ayah empat anak itu menceritakan hari-harinya dengan segala keterbatasan. Lutut kanannya tidak bisa dibengkokan. Membuatnya kesulitan mencari nafkah untuk istri dan empat anaknya yang masih kecil. Keluarga miskin itu berusaha untuk kebutuhan sehari-hari dengan membuat sapu lidi yang dijual Rp 5.000 empat buah sapu. Dalam sehari, ia menghasilkan tiga sapu lidi.

Hasil yang diperolah, jelas jauh dari cukup. Tapi, Radi mengatakan lebih baik berbuat dari pada pasrah terhadap nasib.

“Hanya itu (membuat sapu lidi) yang bisa dikerja di rumah. Memang hasilnya tidak seberapa, tapi saya bersyukur ada yang bisa dikerja, biarpun hasilnya tidak seberapa,” tuturnya.

Ia bersyukur juga karena istrinya, Masni tidak tinggal diam untuk meringankan beban hidup keluarganya.
Masni bekerja sebagai penenun sarung sutra. Ia memeroleh upah Rp 50.000 setiap satu lembar sarung yang ditenun selama 20 hari.

Penghasilan yang jauh dari cukup, menjadikan Radi dan keluarganya terbiasa hidup prihatin. Akrab dengan segala keterbatasan, termasuk makanan sehari-hari. Malah, sudah terbiasa makan dengan berlauk garam. Kalau berasnya  tidak mencukupi untuk makan bersama enam orang, istrinya mengolah menjadi bubur saja.

“Kami sudah biasa makan tanpa lauk, cukup dengan garam. Biasa juga kalau beras tidak cukup, ya, dibubur saja. Kami sudah terbiasa seperti itu,” ungkap Radi, polos.

Sebelum sakit dan tinggal di rumah, Radi bekerja sebagai buruh bangunan.

Penyakit yang dideritanya sudah diperiksa dokter RSUD Polewali. Difasilitasi kepala desa setempat. Pemulihannya harus melalui operasi.

Radi merasa senang. Karena berharap bisa segera bekerja kembali secara normal. Apalagi, sudah dikabari bahwa biaya operasi ditanggung pemerintah. Yang membuat Radi tetap merasa gundah, karena tidak punya uang untuk biaya sehari-hari keluarganya mendampingi di RS. Belum lagi kebutuhan sehari-hari untuk empat anaknya. (*)

  • Bagikan