Pemilu 2024, Medsos Jadi Ajang Perang Opini

  • Bagikan

JAKARTA, SULBAR EXPRESS – Penggunaan media sosial (medsos) yang tidak bijak akan berbuntut panjang. Terlebih ketika menyambut momentum tahun politik.

Medsos selama ini sudah menjadi ruang untuk bersosialisasi dan berinteraksi.
Ironisnya, banyak pelaku medsos membangun opini yang ke arah permusuhan dan perpecahan.

Sayangnya, ruang ini justru berubah menjadi lingkungan yang seakan tanpa norma dan etika. Ajang eksistensi diri yang berlebihan dari aktivitas pendek berupa gerakan jari. Bahkan, viral pun dianggap tujuan utama walaupun tampak tak bermoral.

Aktivis Medsos Enda Nasution mengungkapkan, krisis kesantunan waragnet di dunia maya kini menjadi fenomena di tengah kemajuan teknologi informasi.

Ia menilai, percepatan literasi digital menjadi salah satu solusi efektif, guna meringankan penyakit kronis netizen yang tak kunjung reda.

“Harus ada program-program yang lebih sistematis dalam rangka mengedukasi masyarakat tentang literasi digital, tentang bijak bermedia sosial dan tentang dampak dari penggunaan media sosial yang kebablasan,” ujar Enda.

Dia melanjutkan, krisis kesantunan sejatinya sudah bukan hal baru di media sosial dalam negeri.

Ia memprediksi, fenomena ini akan terus melekat dan menjadi bagian dari dinamika media sosial.

“Ini memang sesuatu yang tidak akan hilang dari kehidupan kita selamanya. Hal ini sama seperti kehidupan nyata, akan selalu ada peristiwa-peristiwa atau insiden-insiden yang memperlihatkan adanya kekerasan verbal atau kekerasan fisik,” tutur Enda.

Namun demikian, Koordinator Gerakan #BijakBersosmed ini mengatakan, hal tersebut tidak boleh semata-mata membuat seluruh pihak menutup mata bahwa fenomena tersebut memang berbahaya dan perlu diawasi.

“Tetapi tidak menutup mata juga bahwa memang ada insiden-insiden ekstrim lain yang terjadi di media sosial yang barang tentu telah membuat kita khawatir dan harus awas terhadap perkembangan yang terjadi di media sosial,” kata dia.

Enda mengungkapkan, fenomena hoaks dan hate speech sejatinya juga memiliki faktor pemicu.

Terlebih ketika 2014-2016, frekuensinya cukup tinggi, yang sampai hingga saat ini juga belum kunjung hilang.

Itu terjadi dipicu kejadian di dunia nyata terutama ketika ada konsentrasi politik, insiden bencana alam, hingga peristiwa nasional.

Menjelang tahun politik 2024, Enda memprediksi, medsos akan kembali dimanfaatkan menjadi arena peperangan opini.

Sebab, jangkauan medsos dan kemudahan aksesnya dipilih karena efisiensinya dalam penyebaran informasi.

“Efeknya yang luas dan murah dan sudah terlihat dari sekarang bagaimana para politisi, capres, partai politik mulai membangun kanal-kanal komunikasinya di media sosial,”ujarnya.

Ia menekankan, harus ada kesadaran bahwa kontestasi politik bukan berarti permusuhan dan jangan sampai menimbulkan perpecahan.

Sehingga efek kontestasi politik tidak berujung pada perpecahan bangsa, tapi justru seluruh anak bangsa harus saling menghargai.

Setelah kontestasi berakhir maka yang menang adalah semua masyarakat sebagai bangsa Indonesia.

“Semua pengguna media sosial bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya di media sosial.

Ada aturan agama, ada aturan dari pemilik platform yang biasa kita sebut ketentuan layanan dan juga ada aturan hukum yang berlaku,” ujarnya.

Di atas itu semua itu, kata Enda, ada etika dan sanksi sosial atas perilaku yang dilakukan oleh pengguna media sosial.

Semua itu adalah sanksi sosial yang bisa berlaku pada siapapun yang melanggar etika sosial di media sosial. (fin)

  • Bagikan

Exit mobile version